Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia kelam
Pak Markus tiba di apartemen Belle dengan membawa beberapa kantong berisi camilan dan tas pakaian bermerek. Ia mengetuk pintu pelan, dan setelah beberapa detik, Belle membukakan pintu dengan ekspresi datar.
"Untuk apa ayah ke sini?" tanya Belle dengan nada sinis, matanya menatap kantong-kantong belanjaan di tangan ayahnya tanpa rasa antusias.
Pak Markus tersenyum kecil, meskipun jelas terlihat bahwa ia berusaha tetap sabar menghadapi sikap dingin anaknya. "Ayah cuma ingin berkunjung sebentar, Belle. Membawakan camilan dan beberapa pakaian untukmu. Bagaimana sekolahmu?" Pak Markus bertanya sambil meletakkan belanjaannya di meja dekat pintu.
Belle berjalan menjauh, meninggalkan ayahnya berdiri sendirian di dekat pintu. "Sekolahku baik-baik saja," jawab Belle tanpa banyak emosi, sebelum duduk di sofa.
"Bagus kalau begitu," Pak Markus berusaha terdengar ceria, meski ia tahu ada banyak hal yang belum terselesaikan antara mereka. Ia lalu duduk di kursi seberang Belle. "Apa kau mengenali saudaramu di sekolah?" tanyanya hati-hati, mencoba memancing percakapan lebih lanjut.
Belle mendongak, tatapannya dingin dan tajam. "Aku tidak peduli dengan mereka," jawabnya tegas. "Bahkan aku tidak ingin mengenal mereka," lanjutnya dengan nada lebih tajam dari sebelumnya.
Pak Markus menundukkan kepala sejenak, menerima respons keras Belle tanpa membalas dengan nada yang sama. Ia mengerti bahwa situasi ini tidak mudah bagi Belle—anak dari istri kedua yang selalu terpinggirkan dari kehidupan "resmi" keluarganya. Tapi, sebagai ayah, ia merasa harus tetap mencoba.
"Belle, ayah hanya ingin memastikan kau baik-baik saja di sini," ujar Pak Markus dengan suara lembut, berharap bisa menenangkan suasana. "Ayah tahu ini semua sulit bagimu. Tapi mereka tetap keluargamu."
Belle tertawa kecil, namun bukan karena lelucon. "Keluarga? Ayah ingin bicara soal keluarga?" Belle menatap ayahnya dengan penuh kekecewaan. "Ayah sudah punya keluarga sendiri. Aku dan Mama hanyalah rahasia yang disembunyikan. Ayah hanya muncul ketika merasa perlu menenangkan perasaan bersalah, bukan?"
Pak Markus menahan napas, kata-kata Belle seperti pukulan telak. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang dikatakan Belle memang benar. Kehidupan mereka selalu terpisah, seolah-olah Belle hanyalah bagian bayangan dari hidupnya. "Aku minta maaf, Belle," ucap Pak Markus pelan, tak tahu lagi harus mengatakan apa.
Namun Belle hanya menggelengkan kepala dan memalingkan wajah, tak ingin mendengar permintaan maaf lagi.
"Terima kasih atas camilannya," katanya, mencoba mengakhiri pembicaraan. "Tapi kalau tidak ada hal lain, Ayah bisa pergi sekarang."
Pak Markus berdiri perlahan, merasa bahwa kali ini ia tidak bisa mengubah hati Belle. "Baiklah, Belle. Tapi kalau kau butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi Ayah, ya?"
Belle tidak merespons, tetap diam dan menatap ke luar jendela. Pak Markus menatap anaknya sekali lagi sebelum berjalan keluar dari apartemen itu dengan perasaan yang bercampur aduk antara rasa bersalah dan cinta yang tak terucapkan.
Setelah pintu tertutup, Belle menghela napas panjang. Hatinya dipenuhi kebingungan dan kemarahan, namun di balik semua itu, ada rasa sakit yang selama ini ia pendam. Ayahnya, meski berusaha menunjukkan perhatian, tetap saja tidak bisa menghapus kenyataan pahit hidup yang harus dijalani Belle.
***
Saat Pak Markus keluar dari apartemen Belle, langkah kakinya terasa berat. Ia berhenti sejenak di koridor, menghela napas panjang, mencoba mengusir perasaan bersalah yang terus menghantuinya. Di dalam hatinya, ia berbisik pelan, "Aku menyembunyikanmu, Belle, karena aku ingin melindungimu..." Suara itu tenggelam di antara gema kesunyian gedung apartemen.
Ada begitu banyak rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh Pak Markus, rahasia yang belum pernah ia ungkapkan kepada Belle. Sebagai seorang ayah, ia merasa dirinya terjebak di antara dua dunia yang bertolak belakang—dunia keluarga "resmi" yang dikenali semua orang, dan dunia tersembunyi di mana Belle dan ibunya berada. Bukan karena ia tidak mencintai Belle, tapi karena ia tahu bahwa mengungkap semua ini bisa menghancurkan hati putrinya lebih dalam lagi.
"Satu kesalahan..." bisiknya pada dirinya sendiri. "Satu langkah keliru, dan aku takut menghancurkan hidupnya."
Pak Markus tahu bahwa hubungannya dengan Belle sudah renggang, dan ia bertanya-tanya apakah waktunya semakin menipis untuk memperbaiki semua itu. Belle semakin dewasa, semakin menyadari betapa pelik situasi keluarganya. Namun, Pak Markus merasa bahwa Belle belum siap mengetahui seluruh kebenaran—kebenaran tentang siapa dia sebenarnya, dan mengapa ia terpaksa harus hidup di balik bayang-bayang keluarga resminya.
"Saatnya belum tepat," Pak Markus meyakinkan dirinya sendiri. "Aku harus melindunginya, meskipun dia membenciku sekarang."
Dengan langkah perlahan, Pak Markus meninggalkan apartemen, membawa beban yang terus menekan hatinya.
Di sisi lain, Belle masih duduk di apartemen dengan perasaan bercampur aduk. Dia merasa marah, kecewa, tapi juga lelah menghadapi semua kebohongan dan kebingungan yang selalu menyelimuti hidupnya. Dia tahu ada sesuatu yang lebih dari apa yang selama ini dia ketahui, namun setiap kali dia mencoba mencari tahu, jawabannya selalu menjauh.
Belle menghela napas panjang, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, sambil bergumam pada dirinya sendiri, "Kapan semua ini akan berakhir?"
***
Keesokan paginya, Belle sengaja datang ke sekolah lebih awal, jauh sebelum murid-murid lain tiba. Dia berharap bisa menghindari pertemuan dengan seseorang yang terus membuatnya gelisah—Draven. Namun, begitu Belle memasuki kelas, ia terkejut melihat Draven sudah duduk di bangkunya.
"Belle," ujar Draven dengan nada penuh keseriusan, "akhirnya aku bisa bertemu denganmu. Aku ingin berbicara, tapi pesanku tak pernah kau balas."
Belle terdiam sejenak, mencoba meredam kekesalan yang sudah lama ia pendam. Dia tidak ingin terjebak dalam percakapan panjang dengan Draven, apalagi di saat yang seperti ini.
"Apa yang ingin kau bicarakan, Draven?" jawab Belle, suaranya dingin dan menjaga jarak. "Kurasa kita sudah sepakat untuk tidak membahas apa pun lagi."
Draven menatapnya dengan mata yang penuh kesungguhan. "Aku hanya ingin tahu... kenapa kau menghindariku? Aku tidak mengerti. Di Manchester, semuanya terasa berbeda. Tapi di sini, kau seperti menghilang dan menjauh dariku."
Belle menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Draven, yang terjadi di Manchester sudah selesai. Itu hanya bagian dari masa lalu, dan aku ingin fokus pada hidupku sekarang. Kamu punya tunangan, dan aku tidak mau terlibat dalam hal itu."
Draven tampak gelisah, seolah mencoba memahami situasi yang semakin rumit. "Aku tahu aku sudah bertunangan dengan Paula, tapi... entah kenapa, aku merasa berbeda setiap kali bersamamu. Aku merasa aku punya pilihan, Belle. Aku tak ingin hidup seperti ini—seperti wayang yang hanya mengikuti perintah orang lain."
Belle menatap Draven dengan tatapan penuh rasa frustasi. "Itu bukan urusanku, Draven. Kamu harus bertanggung jawab pada hidupmu sendiri, bukan mencampurkan masalahmu dengan hidupku. Aku hanya ingin sekolah dengan tenang, tanpa drama. Jadi, tolong, jangan libatkan aku lagi dalam masalahmu."
Draven hanya terdiam, tidak mampu membalas kata-kata Belle yang penuh ketegasan. Ia merasakan beban berat dari perasaan yang ia pendam terlalu lama, tapi jelas bahwa Belle tidak ingin melanjutkan percakapan itu.
"Baiklah..." ujar Draven akhirnya, sambil berdiri dari bangku Belle. "Aku akan mencoba menghormati keputusanmu. Tapi aku harap suatu hari nanti kau bisa memahami perasaanku."
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus