Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 ~
“Mas Dirga!” panggil Ikbal sambil melambaikan tangan.
Dirga menghampiri dengan ransel di punggungnya, bersalaman ala anak-anak muda dengan kepalan tangan mereka. Dirga menghubungi Ikbal karena Gita tidak menjawab panggilan dan membalas pesannya.
Ikbal menjemput Dirga di terminal, menaiki bus terakhir tiba hampir pukul sebelas malam. meski dari kampus ke desa Barungan hanya tiga jam perjalanan, tapi kendaraan umum tidak dua puluh empat jam. bahkan dari terminal masih hampir satu jam ke dusun tempat mereka tinggal.
“Sudah makan belum, kalau sudah sampai sana jarang ada warung buka malam begini.”
“Sudah, tadi di kosan aku makan dulu.”
“Nanti ke rumahku dulu ya mas, Gita mungkin sudah tidur.”
“Oke.”
Dirga dan Ikbal sudah berada di atas motor. Dalam perjalanan Ikbal dan Dirga tetap berbincang, sampai akhirnya mereka memasuki kampung Barungan.
“Di sini sepi Mas, apalagi habis ada musibah. Kematian seperti ketakutan sendiri untuk warga sini, alasannya kenapa nanti aku ceritakan di rumah.”
Mobil berhenti di sebuah rumah yang cukup besar dengan bendera kuning masih terpasang di pagar.
“Ini rumah Gita. Kita langsung ke rumahku, ya.”
“Tunggu!” Dirga menepuk bahu Ikbal dan turun dari motor.
“Mau apa Mas, Gita pasti sudah tidur.”
Ikbal bukan hanya takut pada Yuda yang agak tegas pada teman pria Gita, ia juga takut karena suasana kampung itu cukup menyeramkan. Sunyi, sepi, gelap sudah pasti. Sempat menatap sekeliling karena Ikbal merasakan merinding.
“Ikbal,” panggil Dirga pelan dan sudah berdiri di depan pagar.
“Aduh Mas, jangan maksa.”
“Sini dulu, kamu turunlah!”
Ikbal pun mematikan mesin motornya lalu menghampiri Dirga. Suasana rumah itu sepi seperti tidak berpenghuni, padahal baru saja berduka. Seharusnya masih ada kerabat dan mengadakan pengajian agar suasana tetap hangat.
“Lihat itu!” tunjuk Dirga ke arah dalam.
Ikbal menatap arah yang ditunjuk.
“Ya ampun, Mas. Itu ‘kan … pocong,” sahut Ikbal lirih. “Apa bude Asih jadi pocong ya? Kita cabut dari sini Mas, takut aku.”
“Lihat itu!”
Ikbal kembali menunjuk ke arah lain, bukan hanya satu ada sosok lain yang melompat menabrakan dirinya ke jendela.
“Ayo mas,” Ikbal menarik tangan Dirga.
“Lo nggak kasihan sama Gita, dia pasti takut diganggu ….”
“Aku juga takut, ayo kita cabut dulu.” Ikbal sudah berada di atas motor dan sudah siap melaju. “Gita kita selamatkan besok saja.”
Motor melaju cepat tidak sampai sepuluh menit sudah memasuki pekarangan rumah Ikbal. Pria itu langsung turun dan menutup pagar rumah mengajak Dirga masuk. Kebetulan kamarnya berada di samping terhubung sebuah pintu ke rumah utama, tidak mengganggu penghuni lain dengan kedatangan mereka.
“Kita tidur, Mas. Parah banget rumah si Gita itu, udah banyak omongan.”
“Omongan apa?”
“BEsok saja aku ceritakan, sekarang pamali. Takut mengundang makhluk yang dibicarakan. Mas Digra ini, indigo?”
“Bukan, tapi entahlah. Kakek buyutku dulu paranormal, mungkin ada ilmu yang turun.”
“Mas Dirga bisa bantu Gita?” tanya Ikbal semakin antusias.
Dirga sudah berbaring di kasur tanpa ranjang, sepertinya ia sudah lelah juga.
“Bantu jadi pacarnya, ya maulah. Siapa yang nggak mau,” jawab Dirga kemudian terkekeh.
“Kalau bisa dapat izin dari pakde Yuda, ya monggo.”
***
Gita geram dengan aturan Bapaknya yang aneh. Tidak ada tahlil untuk mendoakan ibunya, keluarga besar pun diminta meninggalkan rumah dengan segera. Alasannya karena sedang berduka. Obrolan pada pekerja di rumahnya semakin menguatkan kalau ada sesuatu di rumah itu, entah ritual apa yang dilakukan orang tuanya.
Bahkan Minah dan Nani tidak diperbolehkan masuk ke rumah utama, tanpa diminta. Menyapu dan membersihkan rumah ditunggui oleh Yuda. Ruang kerja Bapak masih terkunci, malah tercium aroma tidak enak dari dalam. Bau bangkai, kemenyan dan kembang.
Membawa kapak besar, Gita mengarahkan ke pintu tepatnya ke arah gembok. Dua kali dan belum membuat gembok tersebut lepas.
“Gita!” teriak Yuda langsung meraih kapak dari tangan putrinya.
“Berikan, aku harus buka ruangan ini.”
“Jangan ngaco kamu. Sana pergi dengan Ikbal atau kembali saja ke kosan. Fokus dengan kuliahmu.”
“Semua karena Bapak, Ibu meninggal juga karena ulah bapak ‘kan? Ada hubungannya dengan ruangan ini!”
Yuda pergi ke belakang menyimpan kapak di tempat perkakas, lalu menarik tangan Gita dan membawa ke kamarnya.
“Cukup diam disini atau pergilah keluar. Jangan urus yang bukan masalahmu.”
“Pesugihan. Bapak lakukan itu ‘kan? Ada hubungannya dengan ruangan yang terus dikunci, ada ritual apa disana?” cecar Gita. “Ibu sudah jadi korban, Bapak mau korbankan siapa lagi. Aku?”
Plak
“Tahu apa kamu. Semua yang aku lakukan untuk membahagiakan Asih dan kamu.”
Gita memegang pipinya yang baru saja mendapatkan tamparan. Ia mendorong Yuda dan berlari keluar dari kamar, tepatnya keluar dari rumah. Berlari sambil terisak.
Sedangkan di tempat berbeda, Ikbal dan Digra baru selesai sarapan. Sambil merokok, Dirga mendengarkan cerita Ikbal tentang keluarga Gita.
“Aku ingat betul, mas. Waktu kami kecil, mereka melarat dan sering dihina. Termasuk juga ibuku, tapi lihat sekarang! Mereka kaya raya. Anehnya, setelah Gita lulus SD sudah dikirim untuk sekolah dan tinggal di asrama jauh dari rumah.”
“Omongan tetangga, maksudnya gimana?”
“Ada yang bilang Pakde Yuda itu melakukan pesugihan karena kekayaannya tidak biasa. Gita juga mulai merasakan keanehan di rumah juga teror pocong yang dialaminya. Rencananya kami akan cari tahu ruangan yang selalu terkunci dan tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali Pakde Yuda.”
“Banyak yang bilang melihat pocong di sekitar rumah Pakde, entah benar atau tidak. Nyatanya semalam aku lihat sendiri,” tutur Ikbal. “Pantesan Gita sampai sakit dapat gangguan kayak gitu, serem banget.”
“Ikbal!” terdengar teriakan.
“Gita, Mas.”
Ikbal dan Dirga keluar dari kamarnya, mendapati Gita menangis pelukan Ibu Ikbal.
“Bapak jahat, Ibu pergi pasti ulah Bapak,” ujar Gita dalam tangisan. Ibu Ikbal mengusap punggung dan mencoba menenangkannya sambil menatap bergantian Ikbal dan Dirga.
“Bal, Gita dalam bahaya,” ungkap Dirga.