Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan
Kondisi ibu Belle semakin memburuk dengan cepat. Napasnya semakin pendek dan wajahnya semakin pucat. Belle duduk di sisi ranjang ibunya, menatap dengan cemas setiap gerakan kecil yang dibuat oleh wanita yang sangat dicintainya itu. Tak lama, Mbok Siti masuk dengan tergesa-gesa setelah melihat kondisi yang semakin genting.
“Nona Belle, saya rasa kita harus membawa Ibu ke rumah sakit,” ujar Mbok Siti dengan suara penuh kekhawatiran.
Belle menoleh, matanya dipenuhi ketakutan yang berusaha ia tahan. "Ya... sepertinya kita harus segera membawanya."
Dengan cepat, mereka bersiap. Belle berusaha tetap tenang, namun hatinya berdegup kencang. Ambulans yang dipanggil akhirnya tiba, dan dengan hati yang berat, Belle melihat ibunya dibawa ke dalam kendaraan tersebut. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Belle menggenggam erat tangan ibunya, berusaha menenangkan diri meski perasaannya berantakan.
Setibanya di rumah sakit, ibunya segera dibawa ke ruang gawat darurat. Belle duduk di ruang tunggu dengan perasaan tak menentu, hatinya diliputi kecemasan. Waktu terasa berjalan lambat, dan rasa putus asa mulai menyelimutinya. Belle menyadari bahwa ia tidak bisa menghadapi ini sendirian.
Ia merogoh ponselnya dengan tangan gemetar, mencari nomor ayahnya. Belle ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara dering di ujung sana membuat jantungnya semakin berdebar.
Setelah beberapa kali dering, suara ayahnya terdengar, berat dan formal seperti biasa. “Belle? Ada apa menelepon malam-malam begini?”
“Ayah… Ibu… Ibu sakit parah,” suara Belle bergetar, hampir pecah. Ia berusaha menahan tangisnya, tetapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan ketakutannya.
Hening sejenak di ujung telepon. Ayah Belle terdiam sebelum akhirnya bertanya, suaranya terdengar lebih serius. “Apa yang terjadi? Seberapa parah sakitnya?”
“Ibu sudah beberapa hari ini sakit, tapi sekarang semakin parah. Dokter sedang memeriksanya di rumah sakit. Aku… aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Ayah.” Belle mulai menangis, tangisnya tertahan namun penuh keputusasaan.
Ayahnya menarik napas panjang. “Baiklah, Belle. Aku akan mengurus semuanya. Jangan khawatir, Ayah akan mengirimkan seseorang untuk memastikan ibu mendapatkan perawatan terbaik.”
Namun, Belle tahu, dalam nada suara ayahnya, tidak ada kesan kehangatan. Seolah ini hanyalah urusan yang harus diselesaikan, bukan tanggung jawab dari seseorang yang benar-benar peduli. Meskipun begitu, Belle hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari betapa rapuhnya ia dalam situasi ini.
“Ayah… bisakah kau datang? Ibu… dia mungkin ingin bertemu denganmu,” kata Belle penuh harap.
Lagi-lagi ada jeda panjang di ujung sana, lalu suara ayahnya terdengar lagi, kali ini lebih dingin. “Belle, kau tahu ini sulit bagiku. Situasi keluarga kita… rumit. Tapi aku akan pastikan semuanya baik-baik saja.”
Percakapan itu berakhir tanpa janji pertemuan. Belle menggenggam ponselnya erat, kecewa dengan jawaban ayahnya. Ia tahu betul bagaimana posisi dirinya dan ibunya dalam kehidupan pria itu hanya bayang-bayang di pinggiran kehidupannya yang sempurna.
Belle memejamkan mata, mencoba meredakan gejolak emosinya. Namun, kepedihan itu terus menghantui.
Belle menatap layar ponselnya dengan penuh kebencian, kemarahan yang sudah lama terpendam mulai mendidih dalam dirinya. Kekecewaan yang ia rasakan pada ayahnya kini semakin nyata. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok jauh, dingin, dan tak peduli, kini justru menunjukkan ketidakpeduliannya di saat ibunya membutuhkan bantuan paling mendesak.
Matanya berkaca-kaca, dipenuhi kemarahan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa lagi menahan semua ini. Dalam sekejap, kemarahannya meledak. Belle, tanpa berpikir panjang, menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar, lalu melemparkannya dengan keras ke dinding rumah sakit. Ponsel itu terhempas, pecah berantakan di lantai. Suara benda yang hancur memenuhi ruangan, tapi itu tidak menenangkan amarah yang bergejolak di dalam dadanya.
"Ayah!" Belle berteriak, meski ia tahu tak ada siapa pun yang bisa mendengarnya. "Kenapa kau selalu seperti ini?! Ibu sekarat dan kau... kau bahkan tidak peduli!" Isakannya mulai terdengar lebih jelas, dan air mata yang sudah lama ia tahan akhirnya tumpah.
Ia jatuh terduduk di lantai, tangannya gemetar dan hatinya dipenuhi rasa sakit yang tak tertahankan. Ponsel yang sudah hancur di lantai adalah simbol dari semua kebisuan dan ketidakpedulian ayahnya, dan Belle merasa sendirian, lagi.
Beberapa orang yang berada di sekitar ruang tunggu menoleh, bingung dan prihatin melihat Belle yang begitu emosional. Tapi tidak ada yang cukup berani mendekat atau bertanya. Mereka hanya menyaksikan dari kejauhan, membiarkan Belle menangis dalam kesendiriannya.
Waktu terasa melambat, dan Belle tak bisa berpikir jernih. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran buruk tentang ibunya yang semakin parah, tentang ayahnya yang tak pernah hadir, dan tentang dirinya sendiri yang terjebak di antara dua dunia yang tidak pernah benar-benar bisa ia miliki.
"Aku tak sanggup lagi," Belle berbisik pada dirinya sendiri, merasakan betapa terpuruknya dirinya saat itu.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Belle mencoba menarik napas panjang, meski dadanya masih sesak. Ia menyeka air matanya, mencoba merapikan dirinya. Namun, emosi yang ia rasakan terlalu besar untuk bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Ia menatap ponselnya yang hancur, dan rasa kosong mulai merayap ke dalam dirinya. Seolah-olah tidak ada yang tersisa untuk diperjuangkan. Ia meraih ponselnya yang terpecah dan mengumpulkan serpihannya satu per satu, meski tidak ada harapan untuk memperbaikinya.
Belle tahu bahwa tak ada jalan keluar mudah dari situasi ini. Tetapi, meski dengan perasaan hancur dan amarah yang belum mereda, ia masih harus kuat. Demi ibunya.
Belle duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, matanya merah dan bengkak akibat menangis tanpa henti. Hatinya diliputi kecemasan yang semakin mencekik setiap detiknya. Ia menatap pintu ruang ICU, berharap akan ada kabar baik tentang kondisi ibunya, tapi tidak ada yang keluar. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan, membuat Belle semakin merasa sendirian.
"Apa yang akan terjadi jika Ibu..." pikirannya terputus oleh kesedihan yang terlalu berat untuk diterima. Belle menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang kembali menyeruak.
Ia menundukkan kepala, memeluk lututnya dengan erat, berusaha memberikan sedikit rasa nyaman pada dirinya sendiri. Belle tahu betul, tidak ada yang bisa diandalkannya saat ini. Bukan ayahnya, bukan siapa pun.
"Dia datang atau tidak, itu tidak berpengaruh apapun untuk hidupku," Belle berbisik pelan, suaranya lirih dan lelah. "Aku dan Ibu sudah terbiasa hidup berdua." Kalimat itu keluar dengan rasa pahit, seperti sebuah kenyataan yang tak pernah ia inginkan tapi sudah lama ia terima. Ayahnya, sosok yang seharusnya menjadi tempat bergantung, tidak pernah benar-benar ada. Hanya bayang-bayang seorang pria yang lebih memilih untuk menjauh dari tanggung jawabnya sebagai ayah.
Berkali-kali Belle mencoba mengabaikan kenyataan itu, mencoba bertahan dengan pikiran bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi malam ini, di tengah ketidakpastian tentang kondisi ibunya, rasa sakit yang selama ini ia pendam terkuak dengan jelas. Ia benar-benar sendiri. Dan kenyataan itu menghantamnya lebih keras dari sebelumnya.
"Kenapa harus seperti ini?" gumamnya, suaranya pecah di tengah isakan. "Kenapa hidup kami selalu seperti ini?"
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus