Irene Jocelyn harus kehilangan masa depannya ketika ia terpaksa dijual oleh ibu tiri untuk melunasi hutang mendiang sang ayah. Dijual kepada laki-laki gendut yang merupakan suruhan seorang pria kaya raya, dan Irene harus bertemu dengan Lewis Maddison yang sedang dalam pengaruh obat kuat.
Malam panjang yang terjadi membuat hidup Irene berubah total, ia mengandung benih dari Lewis namun tidak ada yang mengetahui hal itu sama sekali.
hingga lima tahun berlalu, Lewis bertemu kembali dengan Irene dan memaksa gadis itu untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi lima tahun lalu.
Perempuan murahan yang sudah berani masuk ke dalam kamarnya.
"Aku akan menyiksamu, gadis murahan!" pekik Lewis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mereka Anak Saya!
Ketegangan terlihat dengan jelas ketika waktu makan malam tiba. Lewis menatap tajam ke arah Devon dan Diego, begitu juga sebaliknya.
Meja makan yang hanya bisa di isi enam orang itu terasa sempit karena persaingan antar ayah dan anak.
Irene hanya menggeleng dan menghela napas melihat kelakuan mereka. Namun ia tidak bisa berbohong, jika jantungnya berdetak kencang dan rasa cemas yang tengah menguasainya.
Setelah berapa lama, mereka masih saja memasang wajah permusuhan satu sama lain.
"Apa kalian akan tetap seperti ini?" tanya Irene yang sudah kelaparan.
Mereka menatap wanita cantik itu dengan lekat dan membalikkan piring masing-masing.
Irene mengambilkan mereka makanan bergantian. Wajah Lewis masih terlihat masam ketika Irene lebih memperhatikan anak-anak nakal itu dibandingkan dirinya.
"Ibu, masakan ibu tidak pernah gagal!" puji Diego dengan manis dan membuat Irene mengusap kepalanya.
"Iya, Ayam goreng ini selalu menjadi favoritku. Apa besok aku boleh makan ayam ini lagi, bu?" tanya Devon membuat Irene terkekeh.
"Tentu, Sayang. Makanlah!" ucapnya.
Devon dan Diego menatap remeh ke arah Lewis, seolah berkata 'lihat kan? Ibu lebih sayang kami wlee!'.
Rahang Lewis mulai mengeras. Ia terbatuk sebentar dan menatap Irene. "Aku lebih menyukai Daging panggang yang kamu buat kemarin. Terasa lembut dan begitu nikmat," ucapnya dengan bangga.
"Besok saya buatkan lagi! Sekarang ayo makan dulu, jangan berantem terus!" ucap Irene tegas.
Tidak ada yang berbicara setelah itu. Mereka makan dengan tenang, namun tidak dengan aura permusuhan yang terasa begitu pekat.
Setelah makan malam, Diego dan Devon duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi dan bersandar kepada sembari bermanja Irene. Sementara Lewis menatap mereka semakin tidak suka.
"Cih, laki-laki apa yang begitu manja! Sudah besar tapi masih menempel seperti bayi," ketus Lewis membuat wajah Devon berubah datar.
"Kenapa memangnya? Apa om juga ingin seperti kami? Sana telpon nenek jahat tadi, bukankah dia ibunya om?" Diego menatap Lewis dengan marah.
Ia semakin memeluk Irene dengan erat dan menjulurkan lidahnya. Namun tubuh Diego langsung bergetar ketika melihat wajah Lewis yg semakin datar dan dingin.
"Sudah! Kenapa kalian selalu berdebat seperti ini?" hardik Irene membuat mereka bungkam.
"Ibu, aku menyayangimu!" ucap Diego tersenyum manis sambil menggosokkan wajahnya ke punggung Irene.
"Ibu juga menyayangi kalian!" ucap wanita cantik itu.
Ia menatap Lewis yang sudah tidak nyaman dengan kehadiran dua pria kecil itu. Sehingga Irene mengambil inisiatif meminta mereka untuk beristirahat agar bisa pulih total.
"Ibu, dia orang jahat! Ibu tidur di sini saja ya!" pinta Devon cemas.
Irene hanya tersenyum dan mengelus kepalanya dengan lembut.
"Tuan Lewis itu orang yang baik, Nak. Jangan memusuhinya. Kalau bukan dia yang mengizinkan ibu untuk membawa kalian, mungkin kita belum bertemu sampai sekarang," jelas Irene.
"Tapi dia yang memusuhi kami, Bu! Apa ibu tidak lihat persaingannya sangat tidak sehat!" keluh Diego.
"Sudah! Jangan bahas lagi, pokoknya kalian harus jadi anak ibu yang baik hati!" titah Irene dengan tegas sehingga membuat dua pria kecil itu mengangguk patuh.
Irene keluar dari kamar setelah memastikan mereka tidur dengan baik. Ia menatap Lewis yang masih duduk di sofa dengan wajah datar.
"Tuan? Apa anda ingin beristirahat?" tanya Irene.
Lewis hanya terdiam tanpa menoleh, hingga membuat jantung Irene bedetak kencang.
Hingga beberapa saat, Lewis berdiri dan menggendong Irene menuju kamar mereka. Ia mengukung tubuh ramping wanita cantik itu dan menatapnya dengan lekat.
"Kau yakin tidak tau siapa ayah mereka?" tanya Lewis dengan tegas.
Deg!
Irene berusaha menelan ludah dengan kasar. Pertanyaan Lewis membuat pikirannya terganggu.
Ia hanya mengangguk tanpa berani menatap wajah Lewis. Ia bahkan tidak berani bergerak sedikitpun.
"Saya akan mencari taunya lebih dalam lagi! Rumah sakit tempat kah melahirkan, bukankah milik keluarga laki-laki yang kau sembunyikan itu?" tanya Lewis.
Irene semakin tersedak dengan perasaan takut yang mulai menguasai dirinya.
"Sa-saya tidak tau, Tuan!" ucap Irene membuat Lewis kembali memegang lehernya dengan kasar.
"Jangan membohongi saya, Irene!" Tegas Lewis.
Irene berusaha untuk melepaskan tangan besar Lewis dari lehernya. "kau menyakitiku!" pekiknya tertahan.
Lewis segera melepaskannya dan menatap Irene dengan lekat. "Wajah mereka terlihat begitu familiar! Saya akan mencari tau siapa ayahnya dan setelah itu, dia akan saya habisi saat itu juga!" tegas Lewis.
Irene menatapnya dengan lekat. "Anda tidak akan berani, Tuan!"ucapnya lirih.
Lew hanya tersenyum sinis dan berdiri. "Kenapa? Bukankah kau tidak tau siapa dia, kenapa sekarang kau takut?" tukasnya.
Irene hanya terdiam. 'Anda ayah mereka, Tuan! Anda tidak akan berani membunuh diri sendiri!'. batinnya.
Hening, Lewis berdiri didekat jendela dan menatap langit malam dengan lekat.
Kenapa aku terlalu yakin jika mereka memang anakku. Mereka hanya terpaut satu bulan setelah kejadian itu. Batin Lewis.
Irene hanya terbaring sambil menetralkan pernafasan. Ia yakin jika Lewis mulai menyadari sesuatu dengan anak-anaknya.
Sedikit, ia menyesal telah membawa mereka ke sini. Namun ia juga tidak ingin menyesal jika Diego dan Devon mengalami demam parah dan kehilangan mereka.
"Apa sudah ada tanda-tanda anakku hadir?" tanya Lewis memecah keheningan.
Irene terdiam, harusnya hari ini ia sudah haid, namun tidak ada tanda-tanda kehamilan yang ia rasakan.
"Belum, Tuan! Tunggu satu minggu ini, kalau haid saya tidak datang, ada kemungkinan saya sudah hamil," jelas Irene.
"Kenapa harus menunggu satu minggu? Besok ikut saya ke rumah sakit!" titah Lewis.
"Kita harus memastikan jika saya memang hamil, baru ke rumah sakit!" jelas Irene dengan tenang.
"Tidak mau!" tegas Lewis membuat Irene segera duduk dan menghela napas berat.
"Apa nanti kalau ananya lahir, anda akan mengambilnya dan mengusir saya dan kembar?" tanya Irene dengan ragu.
"Tergantung sikap kalian! Yang jelas, anak itu sudah menjadi milik saya!" tukas Lewis.
Ia menatap Irene dengan lekat. "Apa kau akan kabur lagi?" sambungnya.
"Saya tidak pernah kabur, anda yang mengusir saya!" tegas Irene membuat Lewis bungkam. "Apa anda yakin akan memisahkan ibu dan anak?" sambungnya semakin membuat Lewis bungkam.
Ia menatap Irene dengan lekat, entah kenapa pertanyaan Irene tadi membuatnya memikirkan hal yang mustahil. Namun ia merasa yakin dengan pertanyaan yang muncul dalam otaknya.
"Saya tau! Saya paham sekarang! Irene, kau telah menyembunyikan mereka begitu lama dari saya!" pekik Lewis membuat Irene terkejut.
"A-apa maksud anda?" tanya Irene merasa semakin takut.
Lewis kembali mendekati Irene dan memegang dagu wanita cantik itu dengan kuat.
"Mereka anak saya kan? Jujur saja atau kalian akan saya pisahkan selamanya!" ancaman Lewis.
Bola mata Irene membulat sempurna. Ia tidak tau harus berbuat apa dihadapan laki-laki ini.
"Sudah jelas sekarang! Teganya kau mengatakan kepada mereka jika saya sudah mati! Irene, kau harus membayar semua ini!" tegas Lewis sambil menghempaskan istrinya itu.
"Apa? Apa yang harus saya bayar?" pekik Irene dengan mata yang memerah.
Lewis menatapnya dengan tajam sambil mengepalkan tangan.
"Ayah mereka memang sudah mati! Anda mau apa? Mau membunuh ibunya juga?" sambungnya dengan air mata yang mengalir.
Lewis terdiam. "Katakan yang sebenarnya Irene! Mereka anak saya atau bukan!" suara rendah itu menggetarkan hati Irene.
"Hah!" ia hanya tersenyum sinis. "Mereka tidak memiliki ayah! Bahkan jika ada sekalipun, saya tidak pernah berharap jika anda adalah ayah mereka!" ucap Irene tegas.
Mereka saling memandang satu sama lain dengan tajam. Lewis hanya mengepalkan tangan menahan diri untuk tidak menyakiti gadis ini.
Tanpa mereka sadari ada dua pria kecil yang tengah mendengar pertengkaran itu di depan pintu.
"Kak!" panggil Diego dengan mata yang berkaca-kaca.
Devon langsung menariknya dan kembali ke kamar sebelum ada yang menyadari kehadiran mereka.
semangat kak☺
gila ya lewis nyari irene cuma pengen tubuh dia doang , ayo kasih karma lewis seenggaknya biar dia ga seenaknya lagi sama irene