Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan Besar
Khalifah Taimiyah telah memberikan titah kepada Jenderal Umar untuk mengambil alih posisi Panglima, setelah terbunuhnya Jenderal Asrul di Medan Perang.
"Jenderal Umar, negeri akhirat ini sangat membutuhkan seorang pemimpin untuk menumpas pergerakan pengikut Iblis. Jenderal Asrul telah mengorbankan dirinya untuk menyegel kekuatan Iblis. Namun bukan berarti negeri akhirat telah aman, masih banyak pengikut Iblis dipenjuru dunia."
Jenderal Umar bersujud kepada Khalifah Taimiyah.
"Saya terima tanggung jawab ini, tuan. Saya akan mengerahkan seluruh pasukan untuk menghapus pergerakan pengikut Iblis dari hal yang sekecil apapun hingga ke akar-akarnya."
Seribu tahun yang lalu, ratusan pasukan negeri akhirat telah terhipnotis pengaruh Iblis, membuat Jenderal Asrul menghadapi sebuah dilema. Akhirnya Asrul mau tak mau harus membunuh seluruh anak buahnya sendiri.
Namun, dalam usahanya menyegel kekuatan Iblis, Asrul harus mengorbankan dirinya dan Asrul kehilangan kemampuannya.
Terlihat ada seorang bayi yang terbalut kain di depan pintu goa.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki Asrul, Asrul berusaha meraih bayi tersebut. Namun, ketika Asrul telah berhasil meraih bayi itu, tiba-tiba asap hitam menyerbu ke tubuh bayi itu.
Asrul berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan asap hitam dari tubuh bayi itu, seperti yang telah Asrul ketahui bahwa asap hitam itulah yang membuat seluruh pasukannya kehilangan kesadaran dan terkendali pengaruh Iblis.
"Bayi siapa ini?...Li.. Liontin?.. Mungkin liontin ini satu-satunya petunjuk jatidiri bayi ini.."
Diakhir nafasnya, Asrul masih memegang liontin berwarna hijau dari bayi tersebut.
Dari kejauhan, ada seorang pria paruh baya berlarian menuju pusat terjadinya peperangan.
"Waduh.. Aku telah terlambat. Tidak ada yang bisa aku bantu untuk menyelamatkan pasukan negeri akhirat dari pengaruh Iblis."
Pria paruh baya itu bernama Jena. Beliau adalah tabib negeri akhirat yang diberi titah oleh Khalifah Taimiyah untuk membantu Panglima Jenderal Asrul.
"Panglima... Apa yang telah terjadi? Hmph.. Aku sungguh terlambat. Panglima Asrul sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Ba.. Bayi siapa ini.. Malang sekali nasib bayi ini."
Jena menyeret tubuh Asrul kedalam goa, dan tubuh Asrul disandarkan pada sebuah batu besar.
"Panglima Asrul, posisimu sebagai panglima sangat penting. Engkau tidak boleh mati. Beristirahatlah disini sambil berkholwat. Jika memang takdirmu, engkau akan kembali memimpin pasukan negeri akhirat."
Setelah Jena memindahkan Asrul kedalam goa, Jena menyelamatkan bayi tersebut dan dibawanya pulang untuk dirawat.
Bayi itu diasuh oleh Jena di tempat tinggalnya, di lembah taman seribu bunga. Bayi itu diberi nama oleh Jena dengan nama Siti Adawiyah.
Puluhan tahun Siti Adawiyah tinggal bersama Jena. Mereka tidak tinggal disana hanya berdua, ada dua orang lagi yang tinggal bersama mereka, yaitu Wildan dan Maelin.
Sebagai tabib negeri akhirat, Jena sering mengunjungi negeri akhirat untuk mengantarkan obat yang dibutuhkan Khalifah Taimiyah dan seluruh penghuni negeri akhirat.
Maelin, Wildan, dan Siti Adawiyah juga mahir dalam ilmu pengobatan, karena selalu diajari oleh Jena.
Selama tinggal di lembah taman seribu bunga, Siti Adawiyah tidak pernah diizinkan untuk keluar wilayah lembah taman seribu bunga, bahkan perbatasan wilayah tersebut telah dibuat pagar ilusi oleh Jena, agar yang diluar tidak bisa masuk.
Keseharian Siti Adawiyah selalu bersantai sambil membaca buku milik Jena. Salah satu buku yang dibacanya adalah buku biografi panglima negeri akhirat, Panglima Jenderal Asrul.
Siti Adawiyah tertidur dibawah pohon apel, setelah dia jenuh membaca buku. Didalam tidurnya, Siti Adawiyah bermimpi melihat peperangan antara pasukan negeri akhirat dengan pasukan bangsa iblis.
Terlihat didalam pertempuran, Panglima Jenderal Asrul membasmi pasukan bangsa Iblis dengan sangat terampil. Namun, betapa terkejutnya Siti Adawiyah melihat didalam mimpinya bahwa Panglima Jenderal Asrul tidak hanya membunuh pasukan bangsa Iblis, melainkan juga membunuh anak buahnya sendiri, namun setelah itu Panglima Jenderal Asrul terkena serangan dari raja Iblis.
"Kenapa.. Kenapa begini?"
Siti Adawiyah tersentak hingga akhirnya terbangun dari tidurnya.
Keringat dingin mengucur deras dari tubuh Siti Adawiyah. Siti Adawiyah segera mencari ayahnya untuk menanyakan takwil mimpi yang baru dialaminya.
"Ayah.. Ayah.. Ayah dimana?"
Siti Adawiyah berlarian kesana kemari mencari Jena. Akhirnya Siti Adawiyah melihat ayahnya ada di gubuk belakang rumah sedang berkholwat.
"Ayah.. Apakah saya boleh mengganggu ayah? Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan."
Siti Adawiyah bertekuk lutut menghadap Jena.
"Ada apa sayang? Katakan saja. Kapan ayah menolak berbicara dengan anak ayah tersayang?"
Jena segera bangkit dan menyuruh Siti Adawiyah berdiri.
Lalu Siti Adawiyah mengatakan apa yang dilihatnya didalam mimpinya.
"Ayah, kenapa aku selalu bermimpi melihat Panglima Jenderal Asrul berperang melawan ribuan pasukan berjubah hitam? Bagaimana keadaan Panglima Jenderal Asrul sekarang? Apakah beliau selamat?"
Jena menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Seharusnya dia sekarang sedang berkholwat di dalam sebuah goa. Sudahlah.. Kenapa engkau selalu bertanya soal mimpimu, dan engkau menggagalkan mimpi indah ayah."
Siti Adawiyah tertunduk, sedangkan Jena tersadar dengan tugasnya.
"Walah.. Ayah hampir lupa. Ayah sedang mematangkan pil pesanan Jenderal Umar."
Jena berlarian menuju tungku obat dan mengeluarkan sebuah pil.
"Siti Adawiyah, cepat berikan pil ini kepada Wildan. Katakan padanya untuk segera mengantarnya ke negeri akhirat untuk diberikan kepada Jenderal Umar. Harus segera diberikan, kalau tidak maka khasiatnya akan berkurang."
Siti Adawiyah memasang muka cemberut.
"Kenapa tidak aku saja yang mengantarnya? Bukannya akan lebih cepat sampai?"
"Jangan! Ayah sudah ribuan kali mengatakan bahwa engkau tidak boleh keluar dari wilayah lembah taman seribu bunga ini!"
Jena terlihat sangat khawatir.
"Baiklah ayah, jangan marah-marah begitu dong.." Siti Adawiyah segera meninggalkan Jena untuk mencari Wildan.
"Wildan... Wildan.. Dimana engkau.."
Siti Adawiyah berlari kesana kemari mencari Wildan namun Wildan tidak terlihat batang hidungnya.
"Dimana sih nih orang?.. Pasti dia sedang berkelahi lagi.. Tidak ada kapoknya nih orang, gemar berkelahi tapi nggak pernah menang. Dasar lelaki lemah.."
"Hmm.. Bukankah pil ini tidak ada gunanya jika terlalu lama tidak digunakan? Daripada nanti tidak ada manfaatnya, sebaiknya aku antar sendiri saja ke negeri akhirat. Lagipula aku butuh kebebasan untuk melihat dunia luar yang luas."
Akhirnya Siti Adawiyah memutuskan untuk mengantarkan sendiri pil tersebut ke negeri akhirat.
Dalam perjalanan, Siti Adawiyah bersembunyi didalam gerobak yang bermuatan jerami. Kebetulan gerobak tersebut menuju negeri akhirat.
Dalam perjalanan, Siti Adawiyah mendengar percakapan dari kedua warga negeri akhirat.
"Kita harus segera sampai di lumbung, setelah berkemas kita masih ada waktu untuk menghadiri upacara pelantikan Panglima yang baru, Panglima Jenderal Umar."
"Ya, benar. Walaupun Jenderal Umar tidak setangguh Panglima Jenderal Asrul, setidaknya kita memiliki sosok pelindung negeri. Bukankah belakangan ini sedang viral menyebarnya asap hitam yang konon merupakan aura Iblis."