Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Siasat Licik
Miranti telah bertekad untuk pura-pura hamil. Tentu saja sambil mengusahakan dirinya untuk hamil sesungguhnya. Hanya itu satu-satunya cara menjerat Bernard agar mau mengawininya.
Jika ia berhasil hamil sungguhan setelah mengaku hamil, ketika melahirkan sebelum sembilan bulan, ia hanya perlu mengatakan bahwa kelahirannya prematur.
Karena itu, tanpa tahu malu ia naik ke tempat tidur majikannya itu siang dan malam. Setiap kali, ia membiarkan Bernard menyemburkan benihnya di dalam, dengan alasan itu terasa lebih enak.
Ia bahkan menahannya di dalam lebih lama, tidak dengan segera membersihkan diri.
Entah Bernard menyadari atau tidak tentang risiko dirinya hamil. Atau menyadari tapi tidak peduli.
Toh, dia tidak pernah memaksa Miranti.
Gadis itu melebarkan paha padanya dengan suka rela.
Gadis itu separuh usianya, tapi tampak sangat menikmati permainannya. Selalu menggeliat dan mendesah dengan liar. Bahkan meminta di siang hari dan menagih di malam hari.
Bernard tidak pernah menolak. Sebagai laki-laki, tentu saja egonya dilambungkan. Apalagi, libidonya memang masih tinggi. Karena itu, dia selalu menyambut keagresifan Miranti dengan senang hati.
Namun, setelah enam bulan bercinta siang malam tanpa henti, tanpa pengaman, tamu bulanan Miranti tetap datang berkunjung.
Miranti tidak sabar lagi menanti. Suatu malam, ketika mengempaskan tubuh penuh peluh dengan napas hampir habis, Miranti merasa sudah saatnya menjalankan siasatnya.
Ia mengangkat setengah tubuh dan menyandarkan dadanya yang penuh di dada Bernard yang masih kencang, meskipun usianya telah setengah abad.
"Tuan. Apakah masih aman bercinta seperti ini kalau aku hamil?" Ia mengelus bulu-bulu halus di dada Bernard.
Bernard mengelus rambutnya, "Kalau kamu hamil? Bulan-bulan awal aku harus agak mengerem. Makanya kamu jangan nakal-nakal!"
"Kalau begitu..." Miranti menjeda, membiarkan kalimatnya tidak selesai.
"Kenapa?" Bernard meliriknya.
"Kita harus agak mengerem," Miranti mengenyahkan keraguan, dan memantapkan tekad untuk memasang perangkap.
Masa bodoh kelanjutannya nanti. Itu dipikirkan belakangan saja.
"Maksud kamu?" Bernard mengernyitkan kening tak mengerti.
"Aku... terlambat, Tuan. Bulan ini, sudah lewat dua minggu dari tanggal haidku." Miranti tertunduk, pura-pura merasa cemas.
"Kamu... hamil?" Bernard sudah duduk sekarang. Menjauhkan tubuh Miranti dan menatap wajahnya lekat-lekat.
"Kamu hamil?" Bernard menegaskan sekali lagi.
"Apakah... Tuan... marah? Apakah... Tuan ingin aku... membuang..."
Belum sempat kata terakhirnya terucap, Bernard telah melumat bibirnya lagi. Miranti agak terkesiap. Ini sungguh di luar dugaannya.
"Kamu hamil? Hahaha... semoga anaknya perempuan." Mata Bernard berbinar. Tampak jelas dia sangat berharap.
"Jadi... Tuan... tidak marah?" Miranti takjub. Bersyukur atas keberuntungannya. Bersyukur atas keputusannya untuk nekad naik ke atas tempat tidur Bernard waktu itu.
"Kenapa harus marah? Aku mau anak perempuan. Kasih aku anak perempuan." Bernard memeluknya.
"Tapi... kita belum menikah. Nanti anak ini adalah anak haram." Miranti mengelus perutnya, seolah ada janin yang sedang tumbuh di dalam sana, padahal sebenarnya tidak berisi apa-apa.
"Tenang saja, sayang. Aku akan menjadikan kamu nyonyaku."
Miranti tersenyum puas, dan sekali lagi membiarkan Bernard menyapa 'calon putrinya'. Kali ini, mereka melakukannya dengan lembut.
Namun, sepertinya Tuhan tidak merestui siasat liciknya. Gelar nyonya memang ia dapatkan setelah Bernard menikahinya secara sah.
Tetapi dua bulan berturut-turut ketika melihat bercak darah yang menandakan dirinya tidak hamil, Miranti berdecak kesal.
Jika mengaku kelahiran prematur, paling lambat bulan depan ia sudah harus berhasil hamil, sehingga ia bisa mengaku melahirkan di usia kandungan tujuh bulan.
Ia mulai pusing memikirkan cara. Apalagi, wanita hamil pasti mengalami perubahan fisik. Karena itu, Miranti makan lebih banyak, agar tubuhnya lebih gemuk. Ia juga banyak duduk, supaya perutnya menjadi buncit.
'Padahal Tuan memiliki tujuh anak dari dua istri. Berarti dia subur. Apakah masalahnya ada padaku?' Miranti bertanya-tanya dalam hati.
Ia mulai memiliki ide yang lebih gila. Ia harus melakukannya dengan lelaki lain. Biarlah lelaki itu membuatnya hamil dan ia akui itu sebagai anak Bernard.
Lelaki yang bisa ia mintai 'tolong' tentu saja Wiratama. Selain dia yang paling bersih, Miranti juga masih menyimpan rasa padanya.
'Mungkin dia mau diajak kerjasama, masa iya dikasih yang enak-enak tanpa perlu bertanggung jawab gak mau.' Pikir Miranti.
Apalagi ia tahu, Wiratama masih perjaka. Ia belum pernah melihatnya dekat dengan gadis mana pun.
"Wir," Suatu sore yang sepi, Miranti mendatangi Wiratama di rumahnya.
"Ya, Nyonya?" Sejak Miranti dinikahi Tuan, sebagai karyawan, Wiratama wajib memanggil Miranti dengan panggilan hormat.
"Gua mau ngomong penting sama lo. Ada siapa di dalam?" Miranti melongokkan kepala ke bagian dalam rumah Wiratama.
"Gak ada siapa-siapa. Emang apa yang penting sampai harus ngomong di sini, Nyonya? Gak bisa bicara besok aja di kantor?" Wiratama memandangnya bingung.
"Kita bicara di dalam," tanpa permisi, Miranti melangkahkan kaki masuk ke rumah Wiratama yang memang ditinggalinya seorang diri.
Tadi Miranti bertanya, karena para pekerja belut terkadang berkumpul untuk main gaple sambil merokok dan ngopi-ngopi di sini.
Wiratama mengikuti Miranti ke dalam.
"Tutup pintunya," perintah Miranti.
"Wah, Tuan lagi gak ada. Nyonya sama gua berdua di dalam, kalau ada yang lihat nanti bisa jadi fitnah, Nyonya." Wiratama agak keberatan.
"Bentar doang, gua cuma mau ngomong. Tapi ini cuma buat kuping lo." Miranti bersikukuh, membuat Wiratama tergelitik rasa penasaran.
Apa yang ingin dibicarakan nyonyanya yang hanya diperuntukkan bagi telinganya saja?
Akhirnya Wiratama menurut. Menutup pintu, tapi tidak menguncinya.
"Duduk," Miranti, sang tamu, malah memberi perintah pada tuan rumah. Memberi isyarat dengan mengarahkan dagu ke kursi di sebelahnya.
Karena terdorong rasa ingin tahu, Wiratama tidak protes. Dia segera mengempaskan bokongnya di kursi sebelah kiri Miranti.
"Gini... yang akan gua omongin, jangan bocor ke orang lain..."
"Nyonya yakin gua gak akan ngomong ke orang lain?" Wiratama memotong kalimat Miranti. "Percaya banget Nyonya sama gua?"
"Karena gua tahu lo orang baik. Wir... ini gua minta tolong, minta tolong banget. Masa lo gak mau nolongin gua?" Miranti menatapnya dengan serius.
"Nolongin apa?"
"Tuan pengen banget punya anak perempuan. Gua kasihan. Jadi gua ngaku udah hamil."
"Syukur deh. Semoga bener anaknya cewek," kata Wira. "Terus apa masalahnya?"
"Masalahnya, Wir. Gua gak hamil. Gua udah berusaha dalam dua bulan ini, biar gua ngaku lahiran prematur aja nanti. Tapi ini udah mau masuk bulan ketiga, dan sepertinya gua bakalan dapat mens lagi."
"Terus?" Wiratama masih belum menangkap maksud Miranti.
"Gua heran, karena Tuan kan sebetulnya subur. Buktinya dia punya tujuh anak. Apa gua yang bermasalah?"
Wiratama tidak menjawab, sebab menurut dia seharusnya Miranti tidak bertanya padanya.
"Gua sama Tuan aktif banget, Wir. Dan gak pernah pake pengaman. Masa gak jadi-jadi?!"
"Ya gak tau... jangan tanya gua, Nya. Gua mah gak ngerti." Wiratama agak ketus.
"Gua bukan tanya lo. Cuma lagi curhat."
Miranti agak terdiam sejenak.
"Karena itu gua mau minta lo tolongin gua."
"Gimana nolonginnya?" Wiratama mengerutkan kening. Benar-benar bingung.
"Lo... tidur sama gua, Wir. Bikin gua hamil."
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author