Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah di Wajahnya
Seperti pacar terakhir gue yang sudah lebih dari setahun, dia ingin gue tetap di rumah sedangkan gue ingin banget mengejar karier. Jadi sekarang gue di sini. Mengejar gelar S2 keperawatan dan kini gue lebih menghindari hubungan dengan siapa pun. Karena untuk saat ini pacaran hanya akan menjauhkan gue dari cita-cita dan kemandirian gue. Mungkin dengan tinggal bersama abang gue saat ini, setidaknya melatih gue untuk tetap setia dengan status single ini.
Gue kembali ke ruang tamu untuk mematikan lampu, tetapi ketika gue membelokkan kepala, gue langsung berhenti.
Bukan hanya Tama yang sudah bangkit dari lantai, tapi dia juga berada di dapur, dengan kepala masih menempel di lengannya dan lengannya terlipat di atas meja dapur.
Dia duduk di tepi kursi, dan terlihat seperti akan jatuh sampai gue enggak bisa memastikan apakah dia lagi tidur atau hanya mencoba pulih.
“Eh.... Ta—Tama.” Gue memberanikan diri memanggil namanya, tapi dia masih enggak bergerak. Gue jalan mendekatinya dan perlahan meletakkan tangan di bahunya untuk membangunkannya. Begitu jari gue menekan bahunya, dia terkejut dan duduk tegak seolah gue baru saja mengusik mimpinya.
Mimpi buruk.
Dia sontak berdiri dengan kaki yang tidak stabil. Mulai goyang, jadi gue lempar lengannya di atas pundak gue dan coba membawanya keluar dari dapur.
“Yuk ke sofa,” kata gue.
Dia tempelkan dahinya ke samping kepala gue dan terhuyung-huyung bersama, membuat gue semakin sulit untuk menahannya. “Nama gue bukan Tony,” katanya dengan cadel. “Nama gue Tama,”
Kami sampai di depan sofa, dan gue mulai mencoba melepaskannya dari pelukan.
“Oke. Siapa pun lo. Lo harus tidur di sini.”
Dia jatuh di sofa, tetapi enggak melepaskan bahu gue. Gue juga jatuh bersamanya dan segera mencoba untuk menarik diri.
“Yesica, jangan,” pintanya, mencoba menarik gue ke sofa bersamanya.
“Nama gue bukan Yesica,” sahut gue, melepaskan diri dari cengkeramannya yang begitu kuat. “Sintia, nama gue.” Gue enggak tahu kenapa gue sebut nama, karena kemungkinan besar dia enggak akan mengingat percakapan ini besok.
Gue berjalan menuju bantal yang tergeletak di lantai lalu mengambilnya. Berhenti sejenak sebelum memberikan kembali padanya, karena dia sudah berbaring miring, dan wajahnya menempel di bantal sofa. Dia memegang sofa dengan erat. Seolah-olah kalau dia melepasnya, dia bakal jatuh ke dalam jurang.
Gue berdiri di sana sejenak, memperhatikan dia. "Yesica, please... jangan pergi," ucapnya sedih.
Siapa Yesica?
Kenapa dia panggil gue begitu?
Gue jadi penasaran siapa sebenarnya cewek ini, sampai-sampai namanya keluar waktu dia mabuk berat kayak begini.
Gue enggak bisa tahan diri buat enggak merasa kasihan sama dia. Meski gue enggak kenal sama Tama, jelas ada sesuatu yang berat banget di dalam hidupnya sampai-sampai dia mabuk seperti ini dan mengira gue adalah seseorang yang ada di dalam kepalanya.
Gue ambil bantal kecil itu dan meletakannya di bawah kepalanya, berharap dia bisa tidur dengan lebih nyaman. Setelah itu, gue mau mematikan lampu di ruang tamu lalu jalan balik ke kamar. Karena gue benar-benar harus tidur sekarang.
Gue capek.
"Mungkin tinggal bareng Amio enggak bakal seburuk itu," gumam gue ke diri sendiri.
Gue enggak tahu apa yang bakal gue hadapi ke depannya, tapi yang jelas, hidup gue mungkin enggak bakal membosankan selama tinggal di sini.
Setidaknya untuk malam ini, gue masih punya tempat yang aman untuk tidur, walau sedikit terganggu dengan sosok pria ini. Besok adalah hari baru, dan gue bakal siap buat apa pun yang terjadi nanti.
Jari-jari Tama menggenggam tangan gue begitu erat sampai bergetar-getar. Awalnya gue pikir dia bakal muntah, tapi ternyata gue salah besar. Dia enggak sakit. Dia lagi menangis. Menangis keras sampai enggak ada suaranya yang keluar. Gue bahkan enggak kenal dia, tapi melihatnya bikin gue enggak nyaman.
Gue melirik jalan menuju kamar, bimbang, apakah gue harus meninggalkannya buat kasih dia waktu untuk sendiri. Yang paling enggak mau gue lakukan sekarang adalah terlibat dalam masalah orang lain. Gue sudah sukses menghindari drama yang ada di hidup gue selama ini, dan gue jelas-jelas enggak mau itu terjadi lagi mulai sekarang.
Insting pertama gue adalah kabur ke kamar lalu kunci pintu, tapi entah kenapa, ada perasaan aneh muncul dalam diri gue.
Rasa sakitnya kelihatan nyata, bukan karena dia mabuk.
Gue duduk berlutut di depan dia dan sentuh pundaknya. "Tama?"
Dia tarik napas panjang, lalu perlahan-lahan mengangkat wajahnya buat melihat gue. Matanya nyaris tertutup dan merah banget.
Gue enggak yakin itu karena menangis atau alkohol.
"Maaf, Yesica," katanya sambil mengangkat tangan dan meraih bagian belakang leher gue, menarik gue ke arahnya. Wajahnya terkubur di antara leher dan bahu gue. "Maafin gue."
Gue enggak tahu siapa yang lagi dia bahas atau apa yang sudah dia lakukan, tapi kalau dia sesakit ini, gue enggak bisa bayangkan bagaimana rasanya berada di posisi cewek itu.
Gue sempat berpikir buat mencari-cari HP-nya dan menghubungi Yesica agar dia bisa datang dan menyelesaikan semua masalah ini.
Tapi, gue malah pelan-pelan mendorong Tama balik ke sofa. Meletakan bantal di bawah kepalanya dan menyuruh dia untuk tidur lagi.
"Tidur aja," kata gue pelan. Matanya penuh dengan rasa sakit waktu dia jatuh ke atas bantal. "Lo udah benci banget, kan, sama gue, Yesica," ucapnya sambil memegang tangan gue. Matanya tertutup lagi, dan dia mengeluarkan napas berat.
Gue diam, membiarkan dia tetap memegang tangan gue sampai akhirnya dia tenang dan enggak ada lagi air mata yang keluar dari matanya. Gue tarik tangan gue pelan-pelan, tapi gue tetap duduk di samping dia untuk beberapa menit lagi.
Meskipun dia sudah tidur, raut wajahnya masih memberikan kesan kalau dia lagi ada di dalam dunia yang penuh dengan rasa sakit. Alisnya mengerut, dan napasnya enggak teratur.
Untuk pertama kalinya, gue lihat ada bekas luka samar yang panjangnya sekitar empat inci, membentang mulus di sepanjang sisi kanan rahangnya. Luka itu berhenti sekitar dua inci dari bibirnya.
Ada dorongan aneh dalam diri gue buat menyentuhnya dan merasakannya dengan jari gue, tapi sebaliknya, tangan gue malah bergerak ke rambutnya.
Rambutnya pendek di samping, sedikit lebih panjang di bagian atas, dan warnanya campuran antara coklat dan pirang. Gue belai rambutnya, mencoba menenangkan dia, meskipun mungkin dia enggak pantas mendapatkannya.
Cowok ini mungkin layak merasakannya, sebagai balasan untuk apa yang telah dia lakukan kepada Yesica. Tapi apa pun yang telah dia perbuat ke Yesica, setidaknya dia cukup sayang sama cewek itu sampai-sampai dia menyesal, sampai gila seperti ini.