Hujan kristal misterius tiba-tiba menghujam dari langit bak ribuan peluru. Sebuah desa yang menyendiri. Jauh dari mana pun. Terletak di ujung hutan dekat tebing tak berdasar. Tak pernah ada orang dari luar desa yang pernah berkunjung sejak desa tersebut ada. Asing dari mana pun. Jauh dari mana pun. Sebuah desa sederhana yang dihuni ratusan orang. Dipimpin oleh ketua suku turun temurun. Walaupun begitu, mereka hidup rukun dan damai.
Sampai pada akhirnya fenomena dahsyat itu terjadi. Langit biru berubah menjadi warna-warni berkilau. Menciptakan silau yang indah. Indah yang berujung petaka. Seperti halnya mendung penanda hujan air, maka langit warna-warni berkilau itu penanda datangnya hujan aneh mematikan. Ribuan pecahan kristal menghujam dari langit. Membentuk hujan peluru. Seketika meluluhlantakkan seluruh bangunan desa berserta penghuninya. Anehnya, area luar desa tidak terkena dampak hujan kristal tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Kembali
"Yang benar saja. Kamu sudah tinggal di sini selama seratus tahun? Memangnya kamu tidak bosan?" Finley bertanya.
"Jika hanya berdiam di sini tentu akan bosan. Tapi aku selalu berkeliling. Ke mana pun. Ya, tempat ini sudah seperti rumah seperti tempat persembunyian," Agler menjawab.
Malam itu, mereka akan menginap di ruang bawah tanah milik Agler. Selain karena mereka tentu sudah kelelahan dan trauma dengan kejadian tadi, Agler juga memberi peringatan bahwa di depan sana terdapat goa besar yang merupakan sarang ahool.
Cashel dan Nixie telah tertidur pulas. Menyisakan Finley dengan segudang tanda tanyanya.
"Artinya, kau sudah mengunjungi banyak desa?"
"Tentu saja. Tak terhitung saking banyaknya. Andai aku tahu ada desa di ujung sana seperti desamu, pasti akan aku kunjungi. Kau pasti tidak akan menyangka bahwa jumlah manusia sebanyak itu."
Mata Finley berbinar. Satu tujuan mereka telah tercapai. Yakni bertemu dengan manusia lain. Walaupun Finley baru bertemu Nixie, juga Agler yang merupakan ras lain. Lain halnya dengan Cashel yang telah bertemu banyak orang di suatu desa.
Sesaat, binar mata itu padam. Teringat akan sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya.
"Agler, apakah kau tahu tentang hujan aneh seperti kristal yang mematikan itu? Sejak awal kau tak pernah menanggapi bagian itu."
"Maaf, Finley. Itu karena aku juga tidak mengetahui apa-apa soal hujan itu. Aku mendengar cerita tentang desamu yang hancur karena itu. Juga desa Nixie. Aku tak menyaksikannya keduanya. Di tempat lain, tak pernah ada fenomena semacam itu."
"Aku khawatir. Bagaimana jika hujan itu datang lagi. Semakin banyak desa yang akan hancur. Semakin banyak umat manusia yang mati. Anehnya, mengapa aku dan Cashel tidak bisa mati oleh hujan itu. Hei, bukankah kau memiliki sihir? Seharusnya kau tahu, Agler!"
Ruang bawah tanah yang hampa. Finley mengeluh dengan begitu banyak tanya. Sesekali ia menarik kerah baju Agler. Memaksa elf itu untuk menjawab semua pertanyaan.
Suara mendengkur terdengar dari Cashel. Nixie mengigau, menyebutkan nama-nama yang tidak mereka kenali.
"Memiliki kekuatan sihir, bukan berarti aku mengetahui semuanya, Finley. Tapi, aku yakin bahwa hujan kristal itu juga bagian dari sihir. Sihir yang dahsyat. Tidak semua orang bisa menguasainya. Jika pemiliknya adalah orang jahat, berarti itu pertanda bahaya."
"Sudah jelas pemiliknya itu orang jahat, Agler. Hujan itu sudah memusnahkan desaku berserta seluruh penduduknya!"
Finley melayangkan pandang ke arah Nixie. Gadis itu masih saja mengigau.
"Juga desa gadis baik hati seperti Nixie."
Waktu-waktu berikutnya. Berlalu lagi. Finley tak mendapatkan banyak informasi. Bahkan dari seorang elf yang sudah berusia ratusan tahun itu. Hingga ia menguap berkali-kali. Namun, tetap memaksakan diri untuk bertanya ini-itu. Tentang kota, kue, teknologi, mesin, apa saja yang sangat asing di telinga Finley. Ternyata, dia benar-benar jauh tertinggal dari kemajuan zaman.
Lain halnya dengan Agler, elf itu masih saja terlihat segar-bugar. Menguap pun tidak. Entah karena ras elf memang begitu atau karena Agler yang terbiasa.
Tak lama setelah itu, Finley mulai memejamkan matanya. Kalah oleh rasa kantuk yang berkuasa.
"HEI!" Suara Cashel memecah keheningan.
Nixie yang sejak tadi mengigau langsung bangun. Begitu pun Finley, ia baru saja sampai pada bingkai pintu mimpi juga terbangun lagi. Agler yang masih terjaga juga terkejut. Suara Cashel benar-benar berisik.
"Kalian, kita harus bergegas melanjutkan perjalanan!" tegas Cashel.
"Eh?"
"Jangan banyak bertanya dulu Finley. Cepat, kita harus bergegas," ucap Agler dengan napas tersengal.
Cashel terlihat menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ruang bawah tanah. Mencari pintu keluar. Namun, tidak terlihat jalan keluar seperti apa pun di ruangan itu.
Agler yang langsung memahami tanpa perlu bertanya dulu, mengacungkan tangannya ke depan. Lalu, muncullah lubang sebesar lubang yang mereka masuki waktu menuju ruangan itu. Bercahaya seperti rambatan cahaya rembulan.
Cashel berlari ke sana tanpa aba-aba. Yang lain mengikuti walaupun masih terkantuk-kantuk. Dapat ditebak bahwa Cashel telah memimpikan sesuatu.
Kini mereka telah berada di luar. Dini hari. Gelap sekali. Langit mendung. Tak terlihat lagi aksesorisnya. Finley menguap lebar, disusul Nixie. Agler menatap Cashel, menunggu kalimat berikutnya.
"Bawa aku ke desa dengan pohon-pohon cemara yang mengitari! Secepatnya!" seru Cashel sambil menarik kerah baju Agler, wajahnya benar-benar tegang sekali.
Agler mengangguk. Tak perlu bertanya lagi. Ia tahu desa yang dimaksudkan Cashel. Sebah ia pernah ke sana.
"Apa yang kau impikan, Cashel?" Finley bertanya, bersama rasa kantuk.
"Teman-teman, berpeganglah padaku. Finley dan Cashel memang lenganku, Nixie yang paling ringan naiklah ke punggungku," potong Agler melintasi pertanyaan Finley yang belum sempat terjawab.
Agler melompat tinggi ke dahan pohon. Dari sana, ia melompat lagi dari dahan ke dahan. Tubuhnya bercahaya, membuat kegelapan tak berarti apa-apa. Finley, Cashel dan Nixie memegang Agler erat-erat.
kaca warna-warni raksasa terlihat begitu mereka sampai di depan desa dengan pohon cemara yang mengitari itu. Sama seperti Finley, Cashel dan pasa penduduk Desa Hyacinth lainnya. Di sana pun mereka terlihat memenuhi halaman desa. Menatap langit dengan bingung bersanding takjub.
"KELUAR DARI DESA SEMUANYA!" seru Cashel dengan suara paling keras yang ia bisa.
Orang-orang yang mendengar menoleh. Cashel dan teman-temannya berada di depan desa. Di luar daerah yang terjangkau kaca raksasa warna-warni itu.
"Cashel!" seru beberapa orang yang melihatnya.
Beberapa lagi terlihat melambai.
"Ke mana saja kamu?" Seorang pria dengan janggut panjang itu menyapa.
"Benda di langit itu berbahaya! Tidak akan ada yang selamat jika para penduduk masih ada di bawahnya. Sekarang semua keluar!" Cashel berseru panik.
Beberapa orang lainnya mendekat.
Sementara Agler tak tinggal diam. Ia mengarahkan tangan ke langit. Cahaya putih besar terlihat menutupi bagian kaca warna-warni raksasa. Sudah mulai pecah.
"TAK ADA WAKTU LAGI! SEMUA KELUAR DARI DESA! BENDA ITU AKAN MEMBUNUH KALIAN SEMUA!" Kali ini Agler yang berteriak dengan suara berkali-kali lipat lebih keras dibanding Cashel. Pastinya dengan bantuan sihir elf.
Seketika, seluruh penduduk desa berhamburan keluar. Pecahan kristal mulai terlihat siap menghujam. Namun sihir Agler bisa memperlambatnya.
Beberapa menit kemudian. Akhirnya Seluruh penduduk berhasil keluar.
Cashel dan teman-temannya siap untuk menghela napas. Namun, belum. Sempat itu terjadi, tiba-tiba pecahan kaca tersebut berpindah ke tempat di mana penduduk desa berada. Tak ada lagi kesempatan. Hujan kristal mematikan itu langsung menghujam bak ribuan peluru. Mengenai seluruh penduduk desa. Tak ada yang sempat berteriak. Tak ada yang sempat menyaksikan apa yang terjadi. Semua lenyap dalam sekejap.
Cashel dan Finley bersimpuh lemas. Disusul Nixie. Mereka menyaksikan kembali pemandangan mengenaskan itu. Agler menatap tak percaya. Terpantau tak berkedip dengan mata membulat. Sihirnya gagal menyelamatkan satu orang pun. Anehnya, mereka tak terkena hujan kristal itu.
"Apa lagi itu? Kenapa benda itu bisa berpindah?" Finley bertanya tak percaya.
Tatapan mata Cashel kosong. Padahal ia sudah diperlakukan baik sekali oleh penduduk-penduduk. itu. Belum terlalu lama. Belum sempat ia menjelaskan alasan ia kabur. Kini tak ada lagi yang bisa mendengarkan pernyataan Cashel itu. Sebab yang tersisa hanyalah tubuh-tubuh yang bergelimpang kaku tak bernyawa.