Bertransmigrasi kedalam tubuh Tuan Muda di dalam novel.
Sebuah Novel Fantasy terbaik yang pernah ada di dalam sejarah.
Namun kasus terbaik disini hanyalah jika menjadi pembaca, akan menjadi sebaliknya jika harus terjebak di dalam novel tersebut.
Ini adalah kisah tentang seseorang yang terjebak di dalam novel terbaik, tetapi terburuk bagi dirinya karena harus terjebak di dalam novel tersebut.
Yang mau liat ilustrasi bisa ke IG : n1.merena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedikit Hambatan.
Kereta terus berjalan dengan tenang, meninggalkan jejak roda di atas tanah basah, dan satu malam telah berlalu tanpa gangguan. Setelah selesai merapikan tenda tempat kami beristirahat, kami kembali naik ke dalam kereta kuda dan melanjutkan perjalanan melalui hutan-hutan lebat yang semakin terasa sunyi, seakan semua makhluk di sekitarnya tahu bahwa sesuatu yang berbahaya sedang mendekat.
"Apakah Kekaisaran masih jauh?" tanyaku kepada Lucian, berusaha mencairkan keheningan yang mulai menyesakkan.
"Tidak terlalu jauh," jawabnya sambil menyeringai santai. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, kita akan sampai besok."
Aku melongok keluar jendela kereta, memperhatikan barisan pohon yang menjulang tinggi dengan dedaunan yang lebat, menciptakan bayang-bayang gelap di sepanjang jalan. Hawa terasa semakin berat, seolah menandakan adanya sesuatu yang mengintai. "Supir kuda itu, apakah dia dapat dipercaya?" tanyaku, kali ini nada suaraku lebih rendah, mengikuti insting yang terus memberiku peringatan akan bahaya.
Lucian mengangkat bahu, senyum tak pernah hilang dari wajahnya. "Dia orang bayaran. Bekerja untuk siapa saja yang membayar cukup banyak."
Aku mengangguk pelan. Tentu saja, orang seperti Lucian sudah pasti menyadari situasi yang sedang kami hadapi. Saat ini, aku bisa merasakan bahwa ada puluhan pasang mata yang mengintai kami dari kegelapan di balik pepohonan, namun Lucian tampak terlalu tenang untuk seseorang yang sedang berada di ambang serangan.
Tiba-tiba, kereta berguncang keras. Dalam sekejap, sekelompok orang bertopeng muncul dari bayang-bayang pohon, masing-masing membawa senjata yang berkilauan dalam cahaya samar. Mereka mengelilingi kereta dengan cepat, menciptakan lingkaran maut.
"Sepertinya ada tamu," ujar Lucian dengan nada yang sama santainya, seolah-olah ini hanyalah gangguan kecil dalam perjalanan santai kami.
"Apa yang harus dilakukan?" tanyaku. Aku bisa saja mengatasi ini sendiri, tapi Lucian adalah tuanku untuk saat ini. Aku ingin mendengar keputusannya.
Lucian melirik ke arahku, senyuman tipis muncul di bibirnya. "Bunuh saja."
Aku menatap wajahnya sejenak, mencari tanda-tanda keseriusan, lalu bertanya, "Mayatnya?"
"Dimakan oleh binatang buas," jawabnya sambil terkekeh ringan. Tidak ada sedikit pun kekhawatiran di suaranya, seakan kematian hanyalah formalitas kecil yang harus kami lalui.
Aku mengangguk, lalu membuka pintu kereta. Begitu kakiku menginjak tanah, sebuah pisau melesat cepat ke arah leherku. Aku bergerak refleks, menghindari serangan itu dengan mudah. Dalam satu gerakan cepat, aku meraih lengan penyerang dan memelintirnya hingga terdengar bunyi patah, pisau terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah. Aku mengambil pisau itu, menatap tajam ke arah penyerang lainnya yang mulai mengepung.
"Satu... dua... tiga... empat... lima... sekitar sepuluh orang," gumamku sambil menghitung mereka satu per satu, mataku mengamati setiap pergerakan mereka.
"Berhati-hatilah," suara Lucian terdengar dari belakangku, nadanya ringan tapi tegas. "Sepertinya mereka bukan orang biasa."
"Aku akan waspada," jawabku, mengangguk pelan. Tanpa membuang waktu, aku melesat menyerang salah satu dari mereka, membuat kejutan dengan satu tikaman cepat yang langsung melumpuhkan satu lawan. Tubuhnya terhempas ke tanah, namun yang lainnya tidak akan jatuh semudah itu. Mereka bereaksi cepat, senjata terhunus dan siap menyerang.
Aku melangkah mundur, mencari celah dan strategi untuk menghadapi mereka. Lawanku tersisa sembilan orang, dan mereka tampak terlatih. Tapi, takut? Tidak. Aku dilatih oleh yang terbaik.
Ingatan tentang ayahku kembali terngiang. "Kau sudah dilatih langsung olehku. Asal lawanmu tidak berada di atas levelku, kau akan menang dengan mudah. Jangan pernah takut." Suara ayah terasa seolah berdengung di dalam kepalaku, memberikan dorongan kekuatan.
Senyumku melebar, tapi kali ini bukan senyum biasa—ini senyum gila, senyum yang mencerminkan tekad untuk menghancurkan siapa saja yang berani menghalangi jalanku. "Baiklah, Ayah. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat," gumamku pelan.
Dengan secepat kilat, aku mengaktifkan sihirku. Pisau di tanganku bersinar dengan api yang membara, dan tubuhku didorong oleh sihir angin yang melesatkan gerakanku seperti bayangan yang menyelinap di antara mereka. Aku mulai menyerang tanpa henti, tikaman demi tikaman menghujani lawanku. Satu jatuh, yang lain terluka parah. Jika satu tikaman tidak cukup, aku akan memberikan dua. Jika dua tidak cukup, maka tiga. Tidak ada ruang untuk belas kasihan.
Suasana hutan yang sunyi kini penuh dengan suara jeritan dan rintihan kematian. Teriakan-teriakan mereka yang sekarat bergema seperti sebuah simfoni kelam, berirama dengan detak jantungku yang semakin cepat. Rasa dingin dalam diriku bercampur dengan euforia, kekuatan yang mengalir dalam setiap tikaman membuatku merasa seolah-olah aku sedang menari di tengah kekacauan ini.
Ini bukan sekadar pertarungan. Ini adalah pertunjukan.
Aku menoleh sejenak ke arah Lucian, yang masih dengan tenang menghadapi lebih banyak lawan. Senyum santainya tidak berubah, seperti menikmati setiap detik pertarungan ini. "Bagus sekali, Ronan," ujarnya dari kejauhan, seakan memberiku pujian kecil di tengah hiruk pikuk kematian ini.
the darkest mana
shadow mana
masih ada lagi tapi 2 itu aja cukup