Hyacinth
Asap mengepul, beradu dengan debu-debu. Dedaunan kering kecoklatan berubah menjadi hitam rapuh. Dengan sisa hawa panas bekas api. Postur tegas dua pengembara itu berhiaskan peluh di sekujur tubuh. Deru napas terdengar berat. Jantung berdegup kencang bekas ketegangan, bersanding embus napas lega sebab semua telah usai. Berbagai macam jenis luka, gores, tikam, cakar, gigitan, cucuran darah menjadi saksi. Betapa tangguhnya mereka. Berusaha bertahan hidup. Sebab hampir setiap hari ancaman tiada henti. Silih berganti, memaksa mereka kuat. Melangkah tanpa arah. Ke mana pun. Sebab tak ada lagi tempat pulang. Rumah, sudah lama menjadi istilah yang dihilangkan dalam kamus kehidupan.
"Kita sungguh masih hidup, Cashel?"
Pemuda bermata tajam seperti mata kucing itu mengangguk. Sebilah tomhak pada genggamannya sempurna merah. Tak tersisa warna aslinya. Poni panjangnya yang lepek oleh keringat menutupi sebelah mata. Seorang gadis yang bertanya padanya meringkuk. Rasa sakit yang ke sekian kalinya.
Sama halnya dengan tombak si pemuda, tombak gadis tersebut juga sempurna merah oleh darah. dibiarkan terlantar di tanah. Di antara dedaunan kering yang telah terbakar.
Rambut gadis yang sebelumnya terkepang rapi, kini sudah hilang bentuknya. Acak-acakkan. Mengalahkan rambut si raja hutan, singa.
"Aku sudah lelah, Cashel! Untuk apa perjalanan panjang kita selama ini? Banyak hal telah kita lalui. Tapi semua nihil! Tak ada petunjuk apa-apa. Ini hanya perjalanan sia-sia. Seharusnya kita tak pernah pergi dari desa. Sekalipun tempat itu sudah tidak tersisa apa-apa selain pecahan kristal sialan itu, juga kerangka manusia. Setidaknya, di sana aku bisa memeluk kenangan, bersama ingatan dengan ibu dan adik-adikku. Lantas mencari arwah mereka. Hingga suatu hari, mati di dekat kerangka mereka. Itu tidaklah jauh lebih buruk dibanding perjalanan tak berujung ini," keluh si gadis penuh sesak.
Sebagai dua orang yang sama-sama membenci satu sama lain. Kebersamaan mereka terjadi karena tak ada satu pun penduduk yang selamat. Tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup. Dari bekas desa yang hancur. Selain saling membantu satu sama lain. Sekali pun sebelum bencana itu terjadi, mereka tak pernah sudi untuk menjadi teman.
Fenomena mengerikan itu merenggut semuanya, namun mendatangkan ikatan baru. kekuatan baru. Ambisi baru. Berkat bertahun-tahun mengembara, mereka melatih kekuatan bertahan hidup. Sampai saat ini, mereka mendapatkan postur kokoh itu.
Berkat segala marabahaya yang menerjang selama ini. Sekali pun mental kerap kali merongrong tak sanggup. Terutama bagi si gadis. Si lelaki menguatkan dengan caranya sendiri. Bukan dengan rangkulan, apalagi pelukan. Terlalu enggan dilakukan bagi yang lekat dengan gengsi.
"Enak saja kau mengatakan ini sia-sia. Kau pikir, berapa lama waktu kita untuk membentuk tubuh ini? Cara menggunakan tombak, bertahan, tempat-tempat baru. Semuanya. Dari mana lagi itu berasal kalau bukan karena petualangan panjang ini. Diam di desa yang telah musnah itu? Enak saja. Sudah jelas kristal aneh itu membuat tanah retak. Aku yakin sekarang tempat itu telah jatuh ke dalam tebing tak berdasar. Jika kita tak pernah pergi, tak ada bedanya bahkan lebih buruk dari di sini. Untuk apa kau ingin menjadi lebih kuat? Tubuhmu kuat, tapi jiwamu rapuh. Dasar cengeng!" ketus Cashel.
Lelaki itu mengendus tombak yang berdarah, lantas memetik daun lebar untuk mengelap. Mata tajam bak mata kucing itu tak sedikit pun melihat si gadis. Sejak mendengar keluhan itu, ia hanya fokus melihat sekeliling yang dihiasi mayat-mayat ahool. Sekilas, ia juga menyimpan keluh. Tentu saja ia juga mengerti berapa sulitnya masalah yang dihadapi si gadis. Bagaimana pun, nasib mereka sama persis.
"Dasar mata kucing bermulut kasar. Lihat saja, jika aku sudah menemukan orang lain. Aku akan membunuhmu!"
"Memang harusnya begitu, bukan? Kita bersama hanya karena sama-sama tak ingin hidup sendirian. Jika salah satu dari kita telah menemukan orang lain, maka kau atau aku akan saling melepaskan."
Padahal, seharusnya mereka merayakan kemenangan atas keberhasilan mereka melawat ahool-ahool. Namun, mereka justru bertengkar. Seperti itu seterusnya. Sejak dulu. Ketika desa masih ada. Sampai sekarang, tatkala mereka telah lama bersama menjadi dua orang pengembara di tempat antah-berantah. Lelaki yang bernama Cashel dan gadis yang bersama Finley itu, masih konsisten dengan kegengsian Masing-masing.
Tujuan perjalanan mereka adalah mencari pemukiman lain, berserta orang lain. Sebab desa mereka terletak di tempat yang jauh dari mana pun. Tak pernah ada pengunjung yang mengetahui tempat tersebut. Seperti sebuah desa yang mengasingkan diri. Terletak di ujung hutan. Dekat dengan tebing tak berdasar. Semua rumah terbuat dari kayu dan di bawahnya dibuatkan kaki. Mirip rumah panggung.
Di sana, penduduknya berjumlah ratusan orang. Tidak terlalu banyak namun tidak terbilang sedikit pula. Dipimipin oleh seorang kepala suku secara turun temurun. Mereka hidup rukun satu sama lain. Desa yang damai.
Ada pun untuk menjaga keamanan desa, ada pelatihan wajib bagi pemuda berusia 17 tahun dan dipakai untuk keamanan di usia 20 tahun. Sedangkan untuk perempuan, sukarela. Pelatihan tersebut ialah penggunaan tombak. Berfungsi untuk berjaga dan berburu.
Sampai pada suatu hari, terjadi bencana tak terduga. Sebuah fenomena yang tidak dapat diatasi dengan tombak tertajam, juga penjaga terkuat desa. Itu bukan tandingan untuk fenomena dahsyat yang meluluhlantakkan semua hal yang ada di desa. Menyisakan Finley dan Cashel yang entah bagaimana mereka bisa selamat.
Ada kejanggalan dari fenomena mematikan itu, yakni bagian luar desa yang tidak terkena dampak hujaman hujan kristal. Itulah tujuan utama Finley dan Cashel. Walaupun dikatakan tujuan mereka adalah mencari pemukiman beserta orang lain yang sekiranya bisa ditemukan di luaran sana, namun tujuan sebenarnya adalah karena kecurigaan terhadap kejanggalan hujaman hujan kristal. Begitu dahsyat menghancurkan desa namun tidak merambat sampai luar wilayah desa.
Akhirnya, dua orang dari desa terasing itu menjadi mengembara. Sekali pun tidak mengetahui arah dan jalur. Melangkah ke mana pun. Sampai mana pun. Lambat laun, usia mereka bertambah, tubuh mereka menguat. Sebab perjalanan mereka tidaklah selalu menyenangkan. Ada banyak sekali marabahaya yang mengitari.
Finley perlahan bangkit, lalu memungut tombaknya. Lantas memetik daun yang sama seperti Cashel untuk mengelap darah pada tombak. Matanya menatap Cashel tajam.
"Tombak ini sudah tua," keluh Finley.
"Jadi, bergegaslah. Lanjutkan perjalanan hingga menemukan orang lain. Dengan begitu, kau dapat meninggalkanku atau aku dapat meninggalkanmu. Semoga ada senjata yang lebih hebat di luar sana. Agar aku lebih jarang mendengar keluhan dari gadis cengeng sepertimu," ujar Cashel.
"Apa kau yakin kita akan menemukan orang lain atau desa lain?" tanya Finley, kini ia sudah meredakan kejengkelannya.
"Yakin. Seperi cerita turun temurun. Dua nenek moyang kita menyusuri hutan lebat sejauh mungkin. Demi menjalin cinta yang tidak direstui. Dari sanalah desa kita tercipta. Artinya, mereka menjauhi keramaian. Jauh entah di mana. Ada banyak manusia di luar bayangan kita."
"Aku sudah bosan mendengar kisah itu dari ibu dan nenekku. Kau tak perlu menceritakannya lagi," Finley berseru ketus.
"Tentu saja aku mengetahui kau yang sudah mengetahui. Aku hanya sedang memantapkan tebakanku."
"Apa?"
"Hujan kristal itu adalah buatan manusia sebagai hukuman sebab nenek moyang kita."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Sungoesdown
Menariik
2024-10-04
0
mochamad ribut
lanjut
2024-06-07
0
adie_izzati
Permulaan yang baik👍👍
2024-03-03
1