Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di Tengah Kehancuran
15.1. Penemuan Harapan di Tengah Kekalutan
Di seluruh dunia, rasa lapar dan haus yang terus mendera tubuh orang-orang yang selamat semakin sulit diabaikan. Meski sinar matahari mulai menembus kegelapan, tanda-tanda kehidupan masih sangat minim. Orang-orang yang selamat tersebar di berbagai penjuru, berjuang mencari makanan dan minuman untuk bertahan hidup.
Di sebuah kawasan yang dulunya padat dengan bangunan dan toko-toko, sekelompok orang berjalan perlahan, lemah, dan penuh dengan frustasi. Mereka sudah berhari-hari tidak menemukan apapun yang layak dikonsumsi. Sarah, James, dan beberapa orang lainnya, termasuk Jack yang sudah lanjut usia, terus mencari dengan harapan yang semakin memudar.
"Apakah kita akan mati kelaparan di sini?" tanya Sarah dengan suara yang lemah, matanya sudah tampak sayu.
"Kita tidak bisa menyerah," James menjawab dengan nada tegas, meskipun tubuhnya juga mulai goyah. "Ada sesuatu di luar sana, kita hanya harus menemukannya."
Mereka menyusuri jalan yang penuh debu, sisa-sisa bencana masih tampak di setiap sudut. Gedung-gedung runtuh, puing-puing berserakan, dan asap tipis masih terlihat di beberapa tempat. Langit yang mulai cerah sedikit memberikan rasa lega, namun perut yang kosong terus memaksa mereka bergerak.
Tiba-tiba, salah seorang dari kelompok itu, seorang pria muda bernama Ben, berhenti mendadak. "Lihat!" serunya dengan suara serak. "Ada bangunan yang masih berdiri di sana!"
Semua orang langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Ben. Di antara reruntuhan, tampak sebuah bangunan yang, meskipun rusak, masih berdiri kokoh. Bagian depan bangunan itu tertutup oleh debu dan puing-puing kecil, namun jelas bahwa bangunan itu pernah menjadi sebuah toko. Di bagian depan masih samar-samar terlihat tulisan yang tertutup debu, “Toko Sembako”.
"Hidup kita mungkin tergantung pada bangunan itu," ujar Jack dengan suara pelan, matanya yang lelah dipenuhi sedikit harapan.
Tanpa berpikir panjang, mereka semua bergerak cepat menuju bangunan tersebut. Pintu toko sudah terkunci, namun tidak ada yang bisa menghentikan mereka sekarang. James dengan sekuat tenaga mencoba membuka pintu, sementara yang lain membantu mendorong dan menarik, meski tubuh mereka sudah lemas.
Setelah beberapa usaha, pintu itu akhirnya terbuka dengan suara berderak. Mereka semua segera masuk ke dalam toko dengan wajah penuh harapan. Di dalam toko, meskipun suasananya gelap dan berdebu, mereka melihat rak-rak yang masih penuh dengan aneka makanan ringan dan barang-barang yang tampaknya masih dalam kondisi baik.
"Astaga... ini seperti keajaiban!" teriak Sarah dengan suara yang bercampur antara tawa dan tangis.
Mereka semua segera bergerak, mengambil makanan apa saja yang mereka temui. Biskuit, mie instan, kaleng-kaleng makanan, dan bahkan beberapa botol air minum yang masih tersegel. Ben yang pertama kali menemukan toko itu, langsung mengambil sebuah galon besar berisi air mineral. Matanya berbinar-binar saat ia melihat tulisan "Aqua" di sisi galon itu.
"Air... Kita punya air!" serunya dengan penuh emosi.
Mendengar itu, yang lain langsung mendekat. Mereka berebutan membuka tutup galon, dan tanpa berpikir panjang, meneguk air itu dengan rakus. Beberapa bahkan membuka mulut mereka lebar-lebar, membiarkan air tumpah ke wajah mereka saking hausnya.
Jack, yang usianya sudah tua, dengan tangan gemetar meneguk air dari sebuah botol kecil. Air itu terasa begitu segar di tenggorokannya yang kering. "Aku tidak pernah membayangkan... air bisa terasa begitu enak..." katanya dengan air mata mengalir di pipinya.
Sarah, setelah meminum air, mengambil sebungkus biskuit dan memakannya perlahan. "Kita selamat... kita benar-benar selamat," gumamnya pelan, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka temukan.
"Ini... ini lebih dari sekadar makanan atau air," tambah James, sambil memakan sepotong roti yang ia temukan. "Ini adalah harapan. Kita masih bisa bertahan. Mungkin... dunia belum sepenuhnya hancur."
Orang-orang di dalam toko itu, meskipun lemah dan kelelahan, kini dipenuhi rasa syukur yang luar biasa. Beberapa dari mereka bahkan berlutut, memanjatkan doa, bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bertahan hidup di tengah kehancuran yang melanda dunia.
Ben, yang berdiri di dekat jendela toko yang kotor, menatap ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya... tapi setidaknya untuk sekarang, kita bisa bernapas lega."
Sarah mendekatinya, masih memegang sepotong roti di tangannya. "Ya, kita masih punya jalan panjang. Tapi dengan ini... kita punya harapan."
Mereka semua, meskipun lelah, mulai memikirkan langkah selanjutnya. Toko ini mungkin hanya satu dari banyak bangunan yang masih berdiri, dan mungkin di luar sana masih ada lebih banyak tempat yang bisa mereka manfaatkan untuk bertahan hidup.
"Kita harus tetap bergerak," James akhirnya berkata. "Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya. Kita harus mencari tempat yang lebih aman, di mana kita bisa mulai membangun kembali."
Yang lain mengangguk setuju. Meski masih menikmati makanan dan minuman yang mereka temukan, pikiran mereka kini mulai memikirkan masa depan. Mereka tahu, meski dunia di luar masih dalam kekacauan, mereka punya kesempatan untuk bertahan.
Dengan semangat baru, mereka mulai mengumpulkan apa saja yang bisa mereka bawa. Galon-galon air, makanan kaleng, dan apa pun yang bisa membantu mereka bertahan beberapa hari ke depan. Meskipun perjalanan mereka masih jauh dari selesai, untuk pertama kalinya sejak bencana terjadi, mereka merasa punya peluang untuk melawan keadaan.
"Kita akan bertahan," ujar Sarah dengan penuh keyakinan, melihat ke arah langit yang kini semakin cerah. "Apapun yang terjadi, kita akan bertahan."
15.2. Kabar Harapan
Setelah menemukan makanan dan air di bangunan yang masih berdiri, sekelompok orang itu segera kembali untuk mengabarkan berita gembira kepada kelompok mereka yang juga sudah keluar dari bunker. Dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh kebahagiaan, mereka bergegas menuju tempat berkumpul.
“Teman-teman!” teriak Amin, sambil mengangkat beberapa bungkus makanan ringan dan galon air yang baru mereka temukan. “Kami menemukan makanan! Ada sebuah toko sembako yang masih utuh!”
Orang-orang yang sedang berkumpul di luar, yang sebelumnya tampak lesu dan putus asa, seketika berdiri tegak. Ekspresi wajah mereka berubah dari keputusasaan menjadi rasa ingin tahu yang mendalam. Beberapa dari mereka mendekat, berharap kabar itu benar.
“Di mana? Apa benar?” tanya seorang pria bernama Rahmat, matanya berbinar-binar.
“Ya, semua ini masih bisa dimakan! Dan ada galon-galon air yang masih segar!” kata Amin, semangat menggebu-gebu.
Ulama yang memimpin mereka di bunker, mendekat dengan tatapan tenang namun penuh syukur. “Alhamdulillah, ini adalah pertolongan dari Allah. Mari kita berbagi dengan bijak. Kita tidak boleh serakah.”
Kabar itu menyebar cepat, dan seketika suasana di antara mereka menjadi lebih hidup. “Bagaimana kita bisa mendapatkan lebih banyak?” tanya seorang wanita, nada suaranya penuh harapan.
“Kita harus pergi bersama-sama, ambil sebanyak mungkin. Tetapi kita harus hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah,” jawab Amin.
Mereka pun mulai berdiskusi. Ulama itu menyarankan, “Lebih baik kita pergi dalam kelompok. Kita tidak tahu apa yang ada di luar sana. Tetap waspada dan saling menjaga.”
“Setuju!” teriak beberapa orang, semangat baru menggebu di antara mereka.
Beberapa orang yang tampak lebih kuat langsung bersiap-siap. “Aku akan pergi juga,” kata Rahmat, menyiapkan diri untuk bergabung. “Kita harus memastikan semua orang mendapatkan bagian.”
“Ya, kita harus bergerak cepat. Siapa tahu ini kesempatan yang tidak datang dua kali,” tambah seorang pemuda bernama Joko.
Akhirnya, kelompok kecil itu dibentuk. Mereka bergegas menuju toko sembako yang disebut Amin, mengikuti jejak yang telah mereka buat sebelumnya. Di perjalanan, mereka saling bertukar cerita tentang kondisi mereka dan rasa lapar yang hampir tidak tertahankan.
“Bayangkan jika kita bisa mendapatkan makanan cukup untuk bertahan hidup beberapa hari ke depan,” kata Rahmat, berharap.
“Tapi kita juga harus memikirkan cara untuk mendapatkan air bersih. Air keruh itu tidak bisa kita konsumsi,” jawab Amin.
Setelah melewati reruntuhan dan debu, mereka akhirnya tiba di depan toko sembako yang masih berdiri. Suasana di sekelilingnya masih terlihat hancur, tetapi pintu toko itu tidak rusak.
“Bismillah, semoga kita beruntung,” bisik Amin sebelum mendorong pintu dan masuk. Di dalam, aroma makanan yang sedikit basi menyambut mereka, tetapi tetap jauh lebih baik daripada yang mereka alami selama ini.
“Lihat! Ada snack dan galon air!” teriak Joko, wajahnya bersinar melihat aneka makanan.
“Mari kita ambil secukupnya dan cepat kembali,” ujar Ulama. Mereka bekerja sama mengambil sebanyak mungkin makanan dan air, berbagi tugas untuk mengumpulkan persediaan.
Saat mereka mulai mengisi tas mereka, suasana penuh kebahagiaan dan harapan mengisi ruangan itu. Masing-masing saling tersenyum, saling berbagi cerita tentang betapa sulitnya hidup di bawah kegelapan.
“Kalau kita bisa bertahan melalui ini, kita pasti bisa bertahan dari apa pun,” kata Rahmat optimis, sambil memasukkan beberapa makanan ke dalam tasnya.
“Amin! Kita harus percaya bahwa Allah selalu menyediakan jalan bagi hamba-Nya yang bersabar,” sahut Ulama.
Setelah mengumpulkan persediaan yang cukup, mereka memutuskan untuk kembali ke kelompok lain. Dengan langkah yang lebih ringan, mereka keluar dari toko sembako, siap menghadapi dunia yang baru dengan semangat dan harapan.
15.3. Penjarahan di Seluruh Dunia
Setelah hujan turun dan debu menghilang, keadaan di berbagai belahan dunia mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru. Namun, di balik harapan itu, masalah baru muncul. Di setiap kota dan desa, orang-orang yang kelaparan dan kehausan mulai melakukan penjarahan demi bertahan hidup.
Di Amerika Utara, di antara reruntuhan gedung-gedung pencakar langit, suara gaduh terdengar. Sejumlah orang berlari memasuki supermarket yang sudah hancur, meneriakkan seruan untuk berbagi makanan. “Cepat! Ambil apa yang bisa kita bawa!” teriak seorang pria dengan wajah penuh kecemasan.
Di sudut lain, beberapa orang berkelahi memperebutkan makanan kaleng. “Itu milikku!” teriak seorang wanita, sementara pria di hadapannya berusaha merebut kaleng dari tangannya.
“Stop! Kita harus berbagi!” teriak seseorang dari belakang, tetapi tidak ada yang mendengarkan. Keadaan semakin memanas.
Di Eropa, di tengah hutan yang sepi, kelompok kecil juga mencari makanan. Mereka menemukan peternakan yang ditinggalkan. “Mari kita ambil apa yang bisa kita temukan!” seru salah satu anggota kelompok. Suara ternak yang terkurung di kandang memberikan harapan, tetapi saat mereka mencoba memasuki peternakan, mereka disambut oleh orang-orang lain yang juga berusaha mendapatkan makanan.
“Mari kita bagi!” teriak seorang wanita, berusaha menenangkan suasana. Namun, ketegangan sudah terlalu tinggi. Dalam sekejap, orang-orang berkelahi untuk mengamankan makanan.
Di Asia, situasi tidak jauh berbeda. Di tengah kota yang biasanya ramai, sekarang menjadi lautan orang-orang yang kelaparan. Mereka menyerbu toko-toko, merusak pintu, dan mengacak-acak rak-rak untuk menemukan makanan. “Ambil semua yang bisa kalian bawa!” teriak seorang pemuda, mendorong orang lain untuk terus maju.
“Jangan sampai ketinggalan!” teriak seseorang yang terpisah dari kelompoknya, menyalakan semangat juang di antara mereka. Tetapi, semakin banyak orang datang, semakin sulit untuk mengatur kekacauan.
Di Afrika, tanah yang kering dan tandus menyaksikan kerumunan orang-orang yang tidak berdaya berusaha mendapatkan sisa-sisa makanan dari truk bantuan yang baru tiba. “Ini kesempatan kita!” teriak seorang pemimpin lokal. “Jangan biarkan makanan ini terbuang percuma!”
Ketika truk dibuka, semua orang bergegas maju, berjuang untuk mendapatkan bagian mereka. Suasana semakin kacau, dan suara jeritan serta teriakan mengisi udara.
“Bagi-bagi! Kita harus berbagi!” seorang perempuan berusaha menarik perhatian orang-orang, tetapi suaranya tertenggelam oleh hiruk-pikuk kerumunan. Keinginan untuk bertahan hidup lebih kuat daripada rasa empati yang tersisa.
Sementara itu, di tempat lain, sekelompok orang yang pernah berada di bunker merasa terkejut melihat berita dari seluruh dunia tentang penjarahan dan kekacauan. “Apa yang terjadi dengan umat manusia?” tanya Amin, menggelengkan kepala.
“Rasa lapar bisa mengubah orang,” jawab Ulama. “Kita harus ingat untuk tidak menjadi seperti itu. Kita harus tetap berpegang pada iman dan saling membantu.”
Mereka berusaha membangun kembali harapan di antara mereka, berfokus pada kebersamaan dan saling dukung. “Kita bisa berbagi makanan yang kita temukan dengan orang lain yang juga membutuhkan,” kata Joko.
“Betul, kita harus jadi contoh yang baik,” tambah Ulama. “Hanya dengan cara itulah kita bisa membangun kembali masyarakat yang lebih baik setelah bencana ini.”
Di saat yang sama, mereka memutuskan untuk pergi ke tempat-tempat di mana penjarahan terjadi, dengan harapan bisa membantu orang-orang yang terjebak dalam kekacauan itu. “Mari kita tunjukkan bahwa kita masih bisa berbuat baik,” ujar Rahmat, semangat untuk berbagi.
Dan dengan tekad itu, mereka berangkat menuju pusat kerumunan, berharap dapat memberikan secercah harapan di tengah situasi yang kacau ini.
15.4. Kembali ke Rumah Ibadah
Di tengah kekacauan penjarahan yang melanda dunia, sekelompok orang beriman, termasuk ulama, merasa panggilan untuk kembali ke rumah ibadah mereka. Mereka ingin melakukan sholat, mencari ketenangan di tengah badai yang melanda. Dengan semangat yang membara, mereka melangkah menuju masjid setempat yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan beribadah.
Saat mereka sampai di depan masjid, pandangan mereka tertuju pada bangunan yang penuh debu dan kerusakan. Pintu-pintu kayu yang dulunya kokoh kini berderit ketika mereka membukanya. Masjid itu tampak sepi, tetapi harapan mengalir dalam hati mereka.
“Lihat, meskipun dalam keadaan ini, kita masih bisa sholat di sini,” kata ulama dengan nada optimis. Namun, saat mereka melangkah lebih dalam, perasaan campur aduk muncul. Debu tebal menempel di karpet masjid, dan aroma tidak sedap menguar dari sudut-sudut ruangan.
Air wudhu yang mengalir dari toren penampung juga tampak keruh. “Bagaimana kita bisa wudhu dengan air ini?” tanya Amin, menatap penuh ragu.
Ulama itu mengangguk, menyadari kesulitan yang dihadapi. “Tetaplah bersyukur, kita masih memiliki tempat ini untuk beribadah. Jika terpaksa, kita bisa menggunakan air yang ada dan berusaha bersih sebaik mungkin.”
“Ya, kita tidak boleh membiarkan keadaan membuat kita putus asa,” kata Rahmat, berusaha memberikan semangat kepada yang lain. “Yang terpenting adalah niat kita untuk menghadap Allah.”
Dengan tekad yang kuat, mereka mulai melakukan wudhu meskipun dengan air keruh. Beberapa dari mereka menggosokkan tangan dan wajah, mencoba mengabaikan ketidaknyamanan. “Semoga Allah menerima ibadah kita,” ujar seorang wanita, suaranya bergetar namun penuh harapan.
Setelah selesai berwudhu, mereka berbaris di saf sholat. Masing-masing terlihat khusyuk, meskipun debu masih menyelimuti pakaian mereka. Wajah-wajah yang tadinya penuh kecemasan kini mulai tenang saat ulama memimpin sholat.
Ketika sholat dimulai, suara takbir menggema di dalam masjid yang sunyi. “Allahu Akbar,” ucap mereka serentak, menyatukan hati di tengah badai kehidupan. Rasa syukur dan harapan mulai menggantikan frustasi yang mengganggu.
Setelah selesai, ulama menatap wajah-wajah mereka, melihat semangat dan keteguhan yang kembali muncul. “Kita telah melakukan yang terbaik yang kita bisa, dan Allah melihat usaha kita,” ujarnya, suaranya penuh ketenangan. “Mari kita berdoa untuk keselamatan kita semua.”
Mereka berdoa dengan penuh keyakinan, memohon agar Allah memberi mereka petunjuk dan kekuatan dalam masa-masa sulit ini. Momen itu mengingatkan mereka bahwa meskipun dunia di luar penuh kekacauan, mereka masih memiliki iman yang dapat menguatkan satu sama lain.
“Semoga Allah memberi kita makanan dan minuman yang bersih, agar kita bisa melanjutkan hidup dengan baik,” doa seorang lelaki, suara penuh harap.
Ketika mereka meninggalkan masjid, meskipun masih dengan debu dan keruhnya air wudhu, ada rasa optimis yang tumbuh dalam hati mereka. Mereka tahu bahwa bersama-sama, dengan iman dan ketulusan, mereka bisa menghadapi apa pun yang terjadi di depan.
15.5. Kegelapan Malam
Saat malam tiba, sekelompok orang yang telah berjuang seharian merasakan keletihan yang mendalam. Mereka berkumpul di dalam bangunan yang sempat menjadi toko sembako, berharap dapat menghidupkan lampu dan merasakan sedikit kenyamanan setelah hari yang penuh tantangan. Namun, saat saklar lampu ditekan, kegelapan tetap menyelimuti mereka.
“Kenapa lampunya tidak menyala?” tanya Siti, suara penuh kekhawatiran.
“Coba coba lagi!” seru Rahmat, berusaha optimis meski jari-jarinya sudah lelah.
Namun, usaha mereka sia-sia. Lampu tak kunjung menyala. Di tengah kebingungan, seorang ahli fisika yang sebelumnya berdiam di antara mereka mulai berbicara. “Ini semua akibat hantaman meteor,” ujarnya, matanya serius. “Pergesekan meteor dengan bumi menimbulkan elektromagnetika yang sangat tinggi. Semua sinyal dan listrik berhenti total.”
“Jadi, apa maksudmu?” tanya Amin, berusaha memahami situasi yang semakin rumit.
“Teknologi berbahan besi tidak dapat digunakan lagi. Meteor yang mengandung besi menginduksi medan magnet bumi, sehingga semua alat yang berbahan besi seperti motor, mobil, dan komputer tidak dapat berfungsi,” jelasnya lebih lanjut.
Kata-kata itu bagaikan tamparan bagi mereka. Frustasi dan kecemasan merayapi setiap sudut pikiran. “Jadi kita benar-benar terjebak di sini tanpa bantuan teknologi?” tanya Rahmat, suaranya semakin lemah.
Ulama yang mendengarkan menjawab dengan tenang, “Iya, dalam hadits sudah dijelaskan bahwa di akhir zaman kelak seluruh manusia akan kembali ke zaman batu. Ini adalah bagian dari ujian Allah untuk kita.”
“Jadi kita harus hidup seperti nenek moyang kita?” Siti bertanya dengan nada skeptis. “Tanpa listrik, tanpa alat modern?”
Ulama itu mengangguk, “Kita harus bersiap menghadapi kenyataan ini. Sungguh berat, namun Allah memberikan kita akal dan iman untuk bertahan.”
Semua wajah menatap kosong ke arah dinding yang gelap, pikiran mereka dipenuhi kecemasan. Mereka merasa terasing dari dunia yang pernah mereka kenal. “Bagaimana kita bisa bertahan?” tanya seorang pemuda, nada suaranya penuh keraguan.
“Dengan iman dan kerja sama,” jawab ulama tegas. “Kita harus saling membantu dan mengandalkan satu sama lain. Kita bisa berburu, berkebun, mencari sumber makanan, dan membangun kembali kehidupan kita dari awal.”
Mendengar kata-kata ulama, semangat kecil mulai muncul kembali. “Jadi kita benar-benar harus mulai dari nol?” tanya Siti.
“Benar,” jawab ulama. “Namun ingatlah, kita tidak sendirian. Kita punya satu sama lain.”
Mereka saling berpandangan, saling memberi semangat. Meskipun situasinya sangat sulit, mereka tahu bahwa dengan saling mendukung, mereka bisa menghadapi tantangan yang ada. Kegelapan malam terasa lebih ringan ketika ada harapan yang bersinar dalam hati mereka.
“Bagaimana kalau kita buat rencana untuk mencari makanan dan sumber air bersih besok?” usul Amin. “Kita perlu bergerak cepat.”
“Setuju!” seru beberapa orang bersamaan, wajah mereka mulai cerah.
Mereka mulai berdiskusi tentang strategi dan rencana. Meskipun malam semakin gelap, di dalam hati mereka ada sinar harapan yang tak akan padam. Mereka bertekad untuk bertahan dan memulai kehidupan baru di dunia yang penuh tantangan ini.
15.6. Dalam Kegelapan
Di kegelapan malam, suasana di dalam bangunan itu terasa semakin mencekam. Setelah menyusun rencana untuk keesokan harinya, salah satu dari mereka, Dika, merasa tidak nyaman dengan kegelapan yang meliputi ruangan. Dengan hati-hati, ia meraba-raba menuju dapur, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantu mengusir kegelapan.
Tangannya menjelajahi meja dan rak-rak, mencari-cari benda yang mungkin berguna. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang keras dan dingin. “Ah, ini dia!” serunya dalam hati, menyadari bahwa ia telah menemukan lilin yang sudah usang.
Namun, kegembiraannya segera sirna ketika ia mulai mencari korek api. Ia mengacak-acak laci dan mencari di seluruh sudut dapur, tetapi tidak ada tanda-tanda korek api atau benda lain yang bisa menghasilkan api. “Sial, di mana korek apinya?” gerutunya.
Kembali ke ruang utama, ia memberi tahu yang lain. “Aku menemukan lilin, tapi kita tidak punya korek api untuk menyalakannya!” suaranya penuh frustrasi.
“Bagaimana bisa tidak ada satu pun yang tersisa?” tanya Rahmat, menggelengkan kepala. “Semua hal kecil itu pasti penting.”
“Kalau begitu, kita harus berusaha lebih keras lagi,” kata ulama. “Mungkin ada cara lain untuk mendapatkan api. Kita bisa mencoba menggosok dua batu atau mencari benda lain yang bisa menyala.”
Mendengar ini, beberapa orang mulai bergerak mencari batu. “Kita harus bekerja sama,” tambah Siti. “Jika kita bisa menciptakan api, kita bisa menyalakan lilin dan mendapatkan sedikit cahaya.”
Dika dan Rahmat segera mencari batu, sementara yang lain tetap bersiaga, siap membantu. Mereka menggosokkan batu-batu itu dengan penuh harapan, berharap ada percikan api yang muncul.
Setelah beberapa percobaan, suara gesekan batu mulai menghasilkan suara yang menggembirakan. “Coba lagi! Kita hampir berhasil!” teriak Rahmat penuh semangat.
Akhirnya, setelah beberapa kali mencoba, mereka melihat percikan kecil yang menyala. Dengan hati-hati, mereka memfokuskan perhatian pada percikan itu. Dika segera menempelkan lilin ke arah api kecil tersebut.
“Jangan padam!” seru Siti, matanya lekat menatap.
Dengan penuh kesabaran, lilin mulai menyala, dan cahaya lembut menerangi ruangan. Mereka semua bersorak kegirangan, merasakan kehangatan yang menyebar di antara mereka.
“Lihat, kita berhasil!” seru Dika, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Sekarang kita bisa melihat satu sama lain!”
Ulama itu mengangguk, matanya berbinar melihat cahaya lilin. “Cahaya ini adalah simbol harapan. Kita harus terus berjuang meski dalam kegelapan.”
Mereka berkumpul di sekitar lilin, merasakan kebersamaan yang hangat. Momen kecil itu memberi mereka kekuatan untuk terus maju, meskipun tantangan di depan masih besar. Dengan cahaya yang menyala, mereka merasa lebih siap menghadapi apa pun yang datang.