Seulbi dan Rain terpaksa menjalani pernikahan yang tak ada cinta di dalamnya. Keduanya harus bertahan sampai selama satu tahun, sesuai isi perjanjian kontrak yang dibuat kedua orang tua Rain. Namun dalam kurun waktu itu, banyak hal terjadi hingga mereka menjadi saling terikat dan membutuhkan. Sayangnya perasaan yang sudah sama-sama kuat itu tetap jua harus terputus oleh perceraian dengan alasan yang sama kuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
"Aku tidak menghindarimu," aku Seulbi. Mengangkat wajah untuk menangkap raut tinggi Rain yang berada dua puluh senti di atasnya. Tingginya sendiri berhenti di angka 165.
"Jika bukan menghindar, lalu apa?" Rain bertanya, merunduk menatap balik.
Seulbi bingung memilih jawaban, hanya bermain melalui sirat pandangan bermakna sulit.
"Kau mulai menyukai Joon?"
Pertanyaan Rain yang tak diduga langsung melebarkan mata Seulbi. Semakin dalam dia menatap, semakin tidak mengerti ke mana arahnya.
Merasa bukan saatnya membahas yang tak jelas, Seulbi menegakkan diri.
"Jika kau memanggilku kemari hanya untuk bermain-main hal yang tak penting seperti ini, lebih baik aku kembali. Pekerjaanku masih menumpuk." Itu yang benar menurutnya.
"Tidak penting?" Rain skeptis, lebih kepada dirinya sendiri. Benarkah seperti itu?
"Ya!" jawab cepat Seulbi. "Ini kantor dan ini masih jam kerja. Jadi Pak CEO ... tolong ... jangan menghamburkan waktu saya yang masih belajar, terlebih waktu Anda yang seperti emas."
Rain terperangah sendiri. Cara bicara dan sikap wanita itu ... Seulbi sungguh sedang berontak, pikirnya. Tapi berontak dari apa? Dia bahkan tak pernah mengurung atau menggencetnya selama ini.
Diam memandangi wajah istrinya seraya menggali pikir. Apakah yang dia lakukan ini salah? Berlebihan? Atau memang wajar dan seharusnya?
Seulbi menjauhkan diri dari lelaki itu dengan memundurkan dua langkah kakinya ke belakang, setelah beberapa saat tak ada tanggapan yang berarti. "Baiklah, jika tidak ada yang ingin kau sampaikan lagi, aku permisi." Dia membungkuk tipis memberi hormat, lalu melenggang pergi menuju pintu untuk keluar, namun ....
GREB!
Rain menarik cepat tangannya hingga berakhir dalam pelukan. Mempertemukan pasang mata yang saling bersitatap.
"Rain!" Seulbi terkejut, segera menarik diri untuk menjauh.
Namun Rain kukuh menguncinya dalam dekapan yang bertenaga.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan?!" tanya Seulbi. Merasa dipermainkan, dia jadi meradang. Terus menggeliatkan tubuh ingin terbebas dari kuncian lelaki itu.
Rain masih diam. Namun semakin lama, pandangannya semakin lain. Seulbi menemukan mata itu berubah kelam, dan mulai merasa terintimidasi.
"Rain ...."
"Aku bertanya dan aku tidak sedang bercanda atau bermain-main, Lee Seulbi," kata Rain setelah diam beberapa saat, terdengar di menekan. "Aku sungguh ingin tahu, apa alasanmu seperti ini."
Seulbi menelan ludahnya sendiri, merasakan keadaan ini mulai mengarah pada hal yang [mungkin] akan tak baik selanjutnya.
"Kau menghindariku, menghindari tatapanku, tapi kau tak pernah pergi dan menjauh dariku," lanjut Rain, mengingat selama Seulbi masih mengekor, namun bersikap seolah tak saling kenal. "Apa tujuanmu sebenarnya?"
Seulbi terhenyak, lalu merasakan jantungnya mulai berdentam keras.
Jika itu yang ingin Rain ketahui, dia merasa lebih dipermainkan lagi.
Rain merasa ada yang salah? Kenapa terus diam dan bukan bertindak sejak awal. Sekarang dia melakukan ini, tapi setelah Seulbi mulai terbiasa dengan apa yang dilakukannya.
"Jawab aku, Lee Seulbi!" desak Rain.
Seulbi kembali mengerjapkan mata dan menelan ludah. Namun jeda selanjutnya dia menegaskan diri. Sorot matanya melahirkan kekuatan lagi.
"Lepaskan aku dulu, akan aku jelaskan semua yang ingin kau ketahui."
Mendengar kalimat itu, sejenak Rain terdiam untuk berpikir, kemudian ....
"Baiklah."
Dekapan itu melonggar, dia melepas Seulbi.
Wanita itu langsung mengambil jarak, kemudian kembali menegakkan diri.
"Jelaskan!" tuntut Rain tak sabar.
Seulbi memaut napas lalu mengembuskannya perlahan, menyiapkan segalanya untuk memberi jelas, juga menguatkan mental agar tak goncang.
"Alasan kenapa aku masih terus bertahan di sisimu, tak lain hanya sebatas memenuhi tanggung jawab kontrak yang dibuat kedua orang tuamu." Tapi dia tak mengatakan perkara perjanjian rumah. "Walaupun alasan mereka terbilang konyol, tapi mereka sudah berjasa banyak padaku. Aku mendapat pekerjaan dan bisa menghidupi keluargaku."
Itu Rain bisa memahami dengan sangat cepat bahkan tanpa mencerna. "Lalu bagaimana dengan alasan kenapa kau menghindariku?"
Untuk pertanyaan itu, jujur saja Seulbi bingung bagaimana harus menjawab. Apakah dia harus berterus terang, atau tetap menyimpan rapi sebagaimana yang selalu dia lakukan.
Banyak sekali pertimbangan, tapi yang pada akhir diputuskannya ....
"Aku hanya berusaha menyelamatkan hatiku."
Mata Rain sontak melotot lebar. Seketika berubah muka santainya menjadi tegang, namun belum terlalu. "Menyelamatkan hatimu? ... Dari apa?" tanyanya ingin tahu.
"Darimu!" jawab cepat Seulbi, jujur, tidak dibuat-buat.
"Dariku?"
"Ya!"
Rain kembali tercenung sekian saat, menatap ke dalam bening mata Seulbi yang sama teguh dengan ucapannya.
"Aku tidak ingin hatiku jatuh dengan mudah padamu seperti dulu," tukas Seulbi, menyerobot kediaman Rain dengan penjelasannya. "Aku ingin menjadi Seulbi yang kuat, tidak memalukan sampai orang-orang puas menginjak-injak harga diriku."
Dua bingkai mata Rain melebar lagi setelah meredup sesaat. Orang-orang yang dimaksud Seulbi, salah satu tentu adalah dirinya. Ada kilatan benda tajam menggores hati, sedikit perih namun berdampak tak sederhana.
"Kau ingat bagaimana dulu aku diperlakukan, bukan?"
Pertanyaan itu langsung menyeret pikiran Rain kembali ke masa itu. Masa dimana Seulbi habis dibully dan dijadikan bahan olokan.
"Tentu," jawabnya kemudian, namun hanya di hati.
"Tapi kau tak memperlihatkan kesakitan apa pun saat itu. Kau seperti tak peduli mereka. Bahkan sering kubentak pun, kau selalu kembali dengan keceriaanmu yang menyebalkan. Bahkan terkadang aku iri dengan sikapmu yang seperti itu, kau kuat. Tapi sekarang aku baru tahu, ternyata dari sana kau menyimpan kesakitan yang luar biasa. Bagaimana bisa serapi itu kau menyembunyikannya, Kodok?"
Mata Seulbi berkaca, sampai merangsek menjadi dua butiran bening yang menggantung di pelupuk mata. Dia tak ingin menangis dan terlihat lemah, namun air mata itu dengan bodohnya malah jatuh menimpa kedua pipi.
Rain terhenyak lagi.
"Apakah perubahan wajah juga tubuhmu termasuk bagian dari keinginanmu tadi?" tanya pria itu, ragu dan terdengar ada kesakitan di dalamnya.
Telapak tangan Seulbi menyapu cepat pipi basahnya. Sudah berjanji pada diri sendiri tak akan lemah, segera dia merubah rautnya kembali tegar. "Tidak berbeda dengan orang-orang, bukankah itu juga salah satu alasanmu membenciku?"
Rain menelan ludah, perkataan Seulbi seakan menamparnya. Terlahir sebagai pria tampan dan kaya, tentu adalah anugerah baginya. Dengan segala kelebihan itu, dia juga ingin memiliki pasangan yang cantik dan sempurna, dan saat itu dia sudah memilikinya.
Lee Seulbi saat itu sangat menjijikkan bagi Rain. Selain jelek dan gendut, gadis itu juga tak henti mengejar-ngejarnya seperti rentenir. Meneriakkan I LOVE YOU, SUAMIKU, dengan sangat percaya diri dan tak tahu malu, itu ketika pertandingan basket berlangsung bahkan berulang di waktu lain. Jelas membuat Rain sangat malu.
Ditambah ... yang paling menjadikan Rain murka adalah ... Seulbi telah membuat orang yang sangat dia cintai meninggalkannya, sampai tidak pernah kembali bahkan hingga sekarang.
"Kau benar, Shin Rain," tukas Seulbi mengakui apa yang Rain tanyakan tadi.
"Aku melakukan perawatan sampai hampir gila. Menangis karena tidak bisa memakan roti keju buatan Ayah, meneguk liur saat melihat jajanan kesukaanku dipinggir jalan, lalu pulang dengan wajah lesu. Aku melakukan operasi mata untuk memulihkan penglihatanku. Aku menangis saat lambungku terasa sakit karena diet ketat yang kujalani. Dan sekarang, apakah kau mau mengatai aku berlebihan?"