Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19: Pertemuan yang Tak Terhindarkan
Carlos duduk di atap, angin malam yang sejuk berembus menerpa wajahnya. Pikirannya kembali terhanyut pada percakapan dengan makhluk gaib yang menempel pada Akasha. Wajah makhluk itu kabur di benaknya, namun suaranya begitu jelas dan tajam.
“Bagaimana kau bisa sampai dalam situasi ini? Wujud manusia?” tanya makhluk itu dengan nada penasaran, memperhatikan Carlos dengan tatapan yang menembus.
Carlos menjawab jujur, seperti yang sudah ia ceritakan pada Ruri dan yang lainnya. “Aku sendiri tidak sepenuhnya tahu. Hanya saja, di suatu titik, aku bisa berubah. Mungkin ini semacam hukuman atau berkah, aku tak begitu paham.”
Makhluk itu tersenyum dingin. “Tidak baik makhluk seperti kita tinggal lama-lama sebagai doppelganger. Terlalu lama menyusup sebagai manusia dapat mengakibatkan kehancuranmu sendiri.”
Carlos tetap pada pendiriannya, berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Namun makhluk itu menunjuk ke arah dadanya, tepat pada lokasi koin nyawa yang tersisa. “Lihatlah, koinmu tinggal enam, dan beberapa sudah mulai retak akibat serangan makhluk asap tadi. Kau berpikir kau akan baik-baik saja, tapi regenerasi nyawamu akan semakin lemah jika kau terus memaksakan wujud manusia.”
Carlos menolak kekhawatiran itu. “Koin-koin itu akan pulih seiring waktu. Selama mereka tidak musnah seperti yang dihancurkan oleh hantu ular phyton, aku masih bisa hidup.”
Makhluk itu memandang Carlos tajam, sebelum akhirnya menambahkan, “Kau tahu itu tak sepenuhnya benar. Dalam wujud astral, regenerasimu cepat. Tapi dalam wujud manusia, ada hambatan energi. Ketika koin-koin itu terkikis habis, kau akan mati.”
Carlos menahan napas, merasa berat dengan kenyataan itu. Ia tetap mencoba menyangkalnya.
“Ini karena kamu mencintai manusia itu, bukan?” Makhluk itu melontarkan pertanyaan yang membuat Carlos terdiam. Ia tak bisa mengelak.
Makhluk itu menggeleng pelan. “Kau tahu kan, manusia dan makhluk gaib tidak bisa hidup bersama? Akan ada konsekuensi berat jika hal ini dilanggar.”
Carlos tetap teguh dengan perasaannya. “Aku akan mengurusnya sendiri.”
Makhluk itu tersenyum sinis. “Jangan lupakan bahwa aku dan Akasha punya kontrak, sesuatu yang kau dan Ruri tak punya. Kau akan menanggung semua konsekuensinya sendiri.”
Dalam kilas balik, setelah percakapan mereka tentang wujud manusia, makhluk gaib itu menghela napas pelan, memperhatikan Carlos yang tampak keras kepala mempertahankan posisinya. "Kau tahu, Carlos," makhluk itu memulai, suaranya sedikit lebih tenang namun sarat dengan sesuatu yang menyerupai keprihatinan, "kontrak bagi makhluk seperti kita bukan sekadar perjanjian. Itu lebih dari sekadar menjaga keseimbangan."
Carlos menoleh, matanya memicing. "Apa maksudmu?"
Makhluk itu melanjutkan, "Ketika makhluk gaib seperti kita terlibat dalam kontrak dengan manusia, itu memberikan kita semacam perlindungan. Perlindungan dari dampak energi dunia manusia yang bisa mengikis eksistensi kita. Semakin lama kita berada di dunia ini tanpa kontrak, semakin banyak energi kita terkuras. Wujud manusia yang kita ambil hanya mempercepat kehancuran kita."
Carlos diam, mempertimbangkan kata-kata makhluk itu.
"Kontrak adalah semacam jembatan," jelas makhluk itu lagi. "Ia menyeimbangkan kebutuhan kita dengan kewajiban kita pada manusia yang mengikat kita. Melalui kontrak, energi dari manusia diberikan secara sadar atau tidak sadar, dan kita bisa bertahan lebih lama di dunia mereka tanpa merusak esensi kita. Tanpa kontrak, kau mengandalkan regenerasi alami yang, dalam wujud manusia, sangat terbatas. Energi dunia ini keras pada kita. Itulah kenapa banyak makhluk seperti kita memilih untuk kembali ke wujud astral atau tidak tinggal lama-lama di dunia manusia."
Carlos tampak tak tergoyahkan. "Aku tidak butuh kontrak. Aku bisa mengurus diriku sendiri."
Makhluk itu tertawa kecil, penuh sinisme. "Ah, tapi itulah masalahnya. Tanpa kontrak, kau terus menyedot energi dunia ini, dan pada akhirnya, koin nyawamu akan habis. Setiap kali kau bertarung, setiap kali kau berinteraksi dalam wujud manusia, perlahan tapi pasti, kau menipis. Regenerasi dalam wujud ini takkan cukup. Dan saat itu terjadi, koin nyawamu akan habis terkikis, dan kau—akan benar-benar mati."
Carlos tetap bergeming, menolak untuk menunjukkan ketakutannya. Namun, di dalam dirinya, ia tak bisa menafikan bahwa ada kebenaran dalam kata-kata makhluk itu. Tapi ini bukanlah sesuatu yang ingin dia akui, apalagi di hadapan makhluk lain.
Melihat Carlos yang diam, makhluk itu melanjutkan, "Dan ingat ini, Carlos, cinta yang kau miliki untuk manusia itu hanya akan mempercepat kehancuranmu. Jika kau terus berada di sisinya tanpa kontrak, lama-kelamaan, kau akan melemah. Bahkan, jika Ruri tak pernah menyadari perasaanmu, kau yang akan menderita."
Carlos menatap makhluk itu dengan sorot mata tajam, penuh perlawanan. "Aku sudah memutuskan. Aku akan menanggung risikonya. Cinta ini—aku yang akan mengurusnya, dengan atau tanpa kontrak."
Makhluk itu menggelengkan kepala perlahan, tampak seolah-olah tak ada lagi yang bisa dikatakan untuk mengubah pikiran Carlos. "Kau terlalu keras kepala, Carlos. Dan untuk apa? Kau tahu hubungan ini hanya akan membawa bencana."
Carlos mendesah pendek, pandangannya kini terfokus pada makhluk itu. "Lalu bagaimana denganmu? Kau bilang kau memiliki kontrak dengan keluarga Akasha, tapi kau tetap berada di sisinya tanpa sepengetahuannya. Apa bedanya kau denganku?"
Makhluk itu tersenyum miring. "Kau benar, tapi bedanya, aku memiliki kontrak yang diwariskan turun temurun. Ketika Akasha akhirnya menyadarinya, dia punya pilihan: menerima atau menolak kehadiranku. Jika dia menolak, aku akan pergi, dan kontrak akan berakhir, melepaskan kewajiban apa pun untuk melindunginya. Namun begitu kontrak itu berakhir, tak ada lagi perlindungan bagi keluarganya dari makhluk-makhluk gaib yang menyimpan dendam selama bertahun-tahun."
Carlos mengerutkan kening. "Dendam?"
Makhluk itu tertawa pendek, suaranya seakan menari di antara sinisme dan ancaman. "Keluarga Akasha, leluhurnya, telah membuat banyak musuh di dunia gaib. Kontrak ini yang melindungi mereka dari serangan balik. Tapi jika kontrak diakhiri, semua makhluk gaib yang pernah dirugikan akan datang menyerbu untuk membalas dendam. Kau tahu apa artinya itu bagi Akasha dan keluarganya."
Carlos hanya diam mendengarkan. Ia tahu betul betapa berbahayanya dunia gaib ini. Meski ia tidak pernah sepenuhnya setuju dengan sistem kontrak ini, ia bisa melihat mengapa beberapa makhluk memilihnya. Tapi dia—dia berbeda. Cintanya pada Ruri adalah pilihannya, dan apapun risiko yang akan datang, dia sudah siap menanggungnya.
Makhluk itu menatap Carlos dengan tatapan penuh kepastian, "Kontrak melindungi makhluk seperti kita dari kehancuran. Tapi kau, Carlos, tanpa kontrak, kau menantang hukum alam dunia ini. Dan itu hanya akan membawa kehancuran pada dirimu sendiri."
Dengan kalimat itu, percakapan berakhir, meninggalkan Carlos dengan pikiran yang berputar dan kenyataan yang perlahan-lahan mulai menindih tekadnya.
Carlos kembali dari kilasan memorinya, menatap ke arah jalan yang sepi di bawah. Angin meniup dedaunan yang terserak, menciptakan suasana tenang namun juga terasa berat di hatinya. Pemandangan itu menenangkan sejenak, meski ia tahu, tantangan besar tengah menantinya.
___
Beberapa hari kemudian, tiba waktunya bagi Takeru untuk pulang. Agensinya sudah mengirim manajer untuk menjemputnya. Sebelum pergi, Takeru berpamitan pada Ruri dan Carlos. Meski terlihat normal, Takeru masih merasa tidak nyaman dengan kenyataan bahwa Carlos adalah hantu. Namun sebelum benar-benar pergi, Takeru memanggil Carlos untuk berbicara terpisah.
"Aku ingat sekarang," kata Takeru, ekspresinya serius. "Pemuda yang aku lihat di kampus Ruri waktu itu. Namanya Arham, kan?"
Carlos menajamkan tatapannya. Takeru melanjutkan, “Aku tahu wajahnya karena berdasarkan penyelidikan detektif yang aku sewa, dia yang menyewa buzzer untuk menyebarkan rumor buruk tentang Ruri. Semua karena foto yang aku sebutkan sebelumnya, yang memuat komentar tentang Jepang. Padahal aku yang membuat postingan itu, tapi entah kenapa Ruri yang jadi sasaran serangan.”
Carlos mendengar itu dengan wajah semakin mengeras. Ketika Aditya menyerangnya, dia belum sepenuhnya menyadari siapa di balik semuanya karena energinya terlalu kecil. Tapi kini, setelah sosok asap hitam itu menyerang yang lebih menampakkan identitas pemilik energi yang menjijikkan tersebut ditambah dengan kata-kata Takeru, semua menjadi jelas.
“Dia…” gumam Carlos, menahan emosi. Arham. Sosok yang selama ini ada di balik semua penderitaan yang dialami Ruri.
Setelah Takeru pergi, Carlos berdiri diam di tempat, tekadnya semakin kuat. Jika Arham memang dalang di balik segala kekacauan ini—rumor buruk, serangan Aditya, bahkan kemunculan makhluk gaib lain—maka Carlos tak akan tinggal diam. Ia akan membalas semua air mata Ruri.
___
Beberapa hari sebelumnya, Ruri telah mengetahui hasil babak kedua Pemuda Tangguh. Meskipun Carlos mengatakan dia flu dan tak bisa ikut, kebenarannya adalah retaknya koin-koin nyawanya lebih serius dari yang diduga. Ketika Ruri pergi tanpa mengetahuinya, Carlos tetap diam dan menahan rasa sakitnya.
Setelah tiba di rumah dan menatap Carlos yang tampak gelisah, Ruri mencoba menghiburnya. “Carlos, apakah kamu sedih karena peringkatku turun ke peringkat delapan?”
Carlos tersenyum tipis. “Tidak, aku tahu Ruri orang yang hebat kok dan dapat mengurus semuanya dengan baik. Yang lebih penting, jangan khawatir meninggalkan aku. Aku baik-baik saja di sini.”
"Sekarang sudah waktunya aku berangkat ke babak ketiga. Babak ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Pesertanya dikarantina, dan kami harus memilih satu daerah di Indonesia untuk dikritisi. Kami harus memberikan ulasan tentang program kerja gubernur di daerah tersebut. Kritiknya nggak bisa sembarangan, karena program yang di-review itu akan dihadapkan langsung pada para juri yang punya hubungan dengan pemerintah."
Carlos mengangguk pelan, menatap Ruri dengan penuh perhatian. "Jadi, kamu sudah memilih daerah mana yang akan kamu kritisi?"
Ruri menegakkan tubuhnya, suaranya mantap. "Kalimantan Timur. Tempat ibukota baru berada."
Carlos menaikkan alisnya sedikit. "Itu pilihan yang berani. Mengkritisi kebijakan pembangunan di daerah yang jadi pusat perhatian negara… apa kamu yakin?"
Ruri tersenyum kecil, meskipun ada sedikit rasa cemas di matanya. "Iya. Aku tahu risikonya. Banyak peserta lain menghindari Kalimantan Timur karena takut membuat juri tidak senang. Tapi, menurutku... bagaimana kita bisa membangun bangsa kalau kita takut menyuarakan pendapat kita? Kritik itu bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk memperbaiki. Kalau ada yang salah dalam program pembangunan sebesar itu, harus ada yang berani bicara."
Carlos memandangnya lebih dalam, lalu tersenyum tipis. "Kamu benar. Kritik memang untuk membangun, bukan meruntuhkan. Tapi, kamu juga tahu, itu bisa mengundang lebih banyak tantangan."
Ruri mengangguk. "Aku siap untuk itu. Kalimantan Timur bukan hanya tentang ibukota baru, tapi tentang dampak bagi lingkungan, masyarakat lokal, dan keberlanjutan jangka panjang. Aku ingin memastikan bahwa pembangunan di sana bisa benar-benar membawa kemajuan tanpa mengorbankan hal-hal penting."
Carlos tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau begitu, kamu harus tetap tegar. Kritik itu pedang bermata dua. Tapi dengan keyakinan yang kamu punya, aku yakin kamu bisa melalui ini."
Ruri tersenyum, merasa lebih lega. "Terima kasih, Carlos. Aku akan berjuang."
Carlos menatapnya dengan senyum cerah pula. “Iya, berjuanglah. Jangan khawatirkan yang di sini, aku akan menjaganya.”
Mendengar ucapan Carlos, ruri pun meninggalkan rumah demi berjuang meraih asanya dengan beban yang sangat berkurang.
Setelah Ruri pergi, ekspresi Carlos tiba-tiba menegang, hanya satu yang bisa dipikirkannya: Arham. Segala petunjuk mengarah padanya, dan Carlos tahu, waktu untuk pertemuan mereka semakin dekat.
___
Akhirnya, Carlos menemukan Arham. Mereka berdiri saling berhadapan.
"Halo, senior Arham. Lama tak jumpa," ujar Carlos dengan nada penuh sindiran. “Terima kasih atas hadiahnya, dua kali yang kau kirimkan padaku.”
Arham tersenyum licik. “Kau yakin hanya dua kali?” katanya, sambil mengangkat tangannya, menunjukkan asap hitam yang keluar darinya.
Mata Carlos membelalak. “Jadi benar, itu kamu.”