Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Main Belakang
Gue juga enggak mau keluarga gue memikirkan hal itu.
"Lo berdarah lagi," potong gue, melihat perban yang sudah basah dengan darah, tapi masih menempel di tangan Tama.
Gue sampaikan ke Nyokap gue, "Ma, punya plester?"
"Enggak," kata nyokap gue. "Barang itu bikin Mama takut."
Gue lihat ke Tama. "Abis makan, gue cek, ya," kata gue. Tama mengangguk tapi enggak pernah menatap gue.
Nyokap tanya soal pekerjaan, dan Tama enggak jadi pusat perhatian lagi. Gue rasa dia senang banget.
...***...
Gue matikan lampu dan masuk ke tempat tidur, enggak tahu harus bagaimana dengan hari ini. Kita enggak mengobrol lagi setelah makan malam, meski gue menghabiskan sepuluh menit buat ganti perban tangannya di ruang tamu.
Kita enggak bicara selama proses itu. Kaki kita enggak saling menyentuh. Jarinya enggak lagi menyentuh lutut gue. Dia bahkan enggak menengok ke gue. Dia cuma lihat tangannya sepanjang waktu, fokus, sepertinya dia bakal jatuh kalo dia lihat ke arah lain.
Gue enggak tahu harus memikirkan yang mana, tentang Tama atau tentang ciuman tadi. Dia jelas tertarik sama gue, kalau enggak dia enggak mungkin cium gue.
Sayangnya, itu sudah cukup buat gue. Gue enggak peduli kalo dia enggak suka sama gue. Gue cuma mau dia tertarik dulu sama gue, karena suka bisa datang belakangan.
Gue tutup mata dan coba tidur untuk kelima kalinya, tapi sia-sia. Gue putar badan ke samping dan menghadap pintu. Enggak sengaja gue lihat bayangan kaki seseorang mendekat. Gue lihat pintu, menunggu dibuka, tapi bayangan itu menghilang, dan langkah kaki terus menjauh.
Gue hampir yakin itu Tama, karena cuma dia satu-satunya yang ada di pikiran gue sekarang. Gue ambil napas beberapa kali buat menenangkan diri sebelum memutuskan untuk mengikuti dia atau enggak.
Baru di napas ketiga, gue langsung lompat dari tempat tidur. Gue debat sama diri gue sendiri mau sikat gigi lagi atau enggak, padahal baru dua puluh menit sejak terakhir kali gue sikat gigi. Gue cek rambut gue di cermin, lalu buka pintu kamar dan jalan pelan-pelan ke dapur.
Pas gue belok ke sudut, gue lihat dia. Dia lagi bersandar di meja, menghadap gue, sepertinya dia memang sudah menunggu gue.
Tuhan, gue benci itu.
Gue pura-pura saja kalo ini cuma kebetulan kita ada di sini bareng, meski lewat tengah malam. “Gak bisa tidur?”
Gue jalan melewati dia ke kulkas dan ambil jus jeruk. Gue tuang segelas, terus bersandar di meja di seberangnya. Dia memperhatikan gue, tapi dia enggak jawab pertanyaan gue.
“Atau lo tidur sambil jalan?”
Dia senyum, memperhatikan gue mulai dari atas ke bawah.
“Lo benar-benar suka jus jeruk,” jawabnya dengan nada senang.
Gue lihat gelas gue, terus lihat dia lagi, dan angkat bahu. Dia melangkah ke arah gue dan minta gelasnya.
Gue kasih ke dia, dia mengambil satu tegukan dengan lambat, dan kasih lagi ke gue. Semua gerakan ini dilakukan tanpa dia putuskan kontak matanya dengan gue.
Iya, pasti, gue sekarang benar-benar suka sama jus jeruk.
“Gue juga suka,” katanya, padahal gue belum jawab dia.
Gue taruh gelas di samping gue, pegangan sama tepi meja, dan dorong diri gue sampai duduk di atasnya. Gue pura-pura dia enggak menyerang seluruh keberadaan gue, tapi dia tetap di mana-mana. Mengisi dapur gue. Bahkan seluruh bagian rumah.
Terlalu hening.
Gue putuskan buat ambil gerakan pertama.
“Emang benaran, ya. Udah enam tahun sejak terakhir kali lo punya pacar?” Dia mengangguk tanpa ragu, dan gue kaget sekaligus senang banget sama jawaban itu.
Gue enggak tahu kenapa gue suka. Mungkin karena ini jauh lebih baik daripada apa yang gue bayangkan tentang hidupnya.
“Wow. Berarti lo udah pernah...?” Gue enggak tahu bagaimana cara melanjutkan kalimat ini.
“Berhubungan badan?” dia memotong.
Gue senang satu-satunya lampu yang menyala cuma lampu di atas kompor dapur, soalnya gue benar-benar malu sekarang.
“Gak semua orang mau hal yang sama,” katanya. Suaranya lembut, kayak selimut bulu. Gue ingin berguling-guling di situ, membungkus diri gue dalam suara itu.
“Semua orang ingin cinta,” balas gue. “Atau setidaknya seks. Itu naluri manusia, kan?”
Gue enggak percaya kita bakal bahas ini.
Dia lipat tangan di dada. Kakinya bersilang di pergelangan. Gue perhatikan ini adalah bentuk pertahanannya. Dia lagi membangun sebuah perisai tak kasat mata, melindungi diri kalau-kalau terlalu banyak rahasia yang tak sengaja dibuka.
“Kebanyakan orang enggak bisa cuma hanya ngedapetin satu hal, tanpa harus menanggung hal yang lain,” katanya. “Jadi gue merasa lebih baik kalau menyerah aja sama kedua-duanya.”
Dia lagi memperhatikan gue, mengukur reaksi gue terhadap kata-katanya. Gue berusaha keras buat enggak menunjukkan reaksi.
“Jadi lo enggak mau yang mana, Tama?” Suara gue terdengar lemah banget. “Cinta atau seks?”
Matanya tetap sama, tapi mulutnya berubah. Bibirnya melengkung ke senyum tipis. “Gue rasa lo udah tahu jawabannya, Tia.”
Wow.
Gue hembuskan napas yang tak terkendali, dia enggak peduli kalau kata-kata itu bikin gue merasa seperti ini. Cara dia menyebut nama gue bikin gue merasa sama malunya dengan ciuman dia.
Gue silang kaki di lutut, berharap dia enggak sadar kalau itu cara gue mempertahankan diri.
Mata dia jatuh ke kaki gue, dan gue lihat dia tarik napas lembut.
Enam tahun.
Enggak bisa dipercaya.
Gue lihat kaki gue juga. Gue ingin tanya lagi, tapi gue enggak tega lihat respons dia kalau gue tanya, dan akhirnya pertanyaan itu terbang dari mulut gue. “Udah berapa lama sejak terakhir kali lo cium cewek?”
“Delapan jam,” jawabnya tanpa ragu. Gue angkat mata gue ke dia, dan dia senyum, karena dia tahu apa yang gue tanyakan. “Sama,” bisiknya pelan. “Enam tahun.”
Gue enggak tahu apa yang terjadi sama gue, tapi sesuatu berubah. Sesuatu mencair. Sesuatu yang keras atau beku atau tertutup sama benteng pertahanan gue sekarang jadi cair setelah gue sadar apa artinya ciuman itu.
Gue merasa kalau gue kayak cairan, dan cairan enggak akan bisa berdiri atau pergi begitu saja, jadi gue enggak bergerak.
“Lo bercanda?” tanya gue, masih enggak percaya.
Gue rasa dia yang malu sekarang.
Gue bingung banget. Gue enggak mengerti apakah gue salah paham sama dia atau semua yang dia bilang itu memang benar.
Dia cakep. Dia punya pekerjaan yang bagus. Dia jelas tahu cara ciuman, jadi kenapa dia enggak melakukannya?
“Apa masalah lo?” tanya gue lagi. “Lo kena Raja Singa atau semacam penyakit seks menular lainnya?”
Ini sisi perawat gue. Gue selalu antusias di bidang gue, medis. Jadi pertanyaan gue agak aneh untuk orang lain.
Dia ketawa. “Enggak, gue bersih, kok,” katanya. Tapi dia masih belum mau menjelaskannya.