Bella gadis berusia 17 tahun, terpaksa harus menikah dengan majikan tempat ibunya (Rosma) bekerja, demi untuk membuat ikatan antara keluarganya dan si majikan. Ibunya sudah bekerja selama 8 tahun menjadi pembantu rumah tangga di tempat sang majikan, sejak ayahnya meninggal.
Barata Wirayudha, pemilik BW Group, seorang duda cerai tanpa anak, 35 tahun. Perceraiannya 8 tahun silam mengguncang kehidupannya, sehingga dia memilih meninggalkan Jakarta dan merintis kantor cabang BW Group di Surabaya.
Di kota Surabaya dia dipertemukan dengan Bu Rosma yang dipekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga. Bu Rosma banyak berjasa untuknya. Karena itu. akhirnya Bara meminta Bu Rosma dan kedua putrinya untuk tinggal bersamanya sekaligus membiayai sekolah putri-putrinya.
8 tahun tinggal di Surabaya, Bara harus kembali ke Jakarta untuk mengurus perusahaannya yang mengalami masalah. Untuk tetap menjaga hubungan dengan Bu Rosma, akhirnya Bara memutuskan menikahi salah satu putrinya.
Setelah menikah Bella ditelantarkan Bara selama 2 tahun, tidak diperlakukan selayaknya istri. Bahkan Bara seolah menghilang begitu saja. Ikuti perjalanan rumah tangga keduanya ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Mami Iccabell
Sisa hari, Bella lewati dengan perasaan tidak tenang. Sejak Rissa menutup pintu kamar tepat di depannya, hati Bella menjadi terusik. Ada banyak rasa yang bercampur di sana.
Rasa bersalah dan takut telah mengecewakan kakaknya adalah rasa terbesar yang dirasakan Bella. Walau pada kenyataannya, sang anak tidak mengenali ibu kandungnya bukan keinginannya, tetapi rasa bersalah karena merebut posisi Rissa di hati Issabell tetap membuat Bella tidak nyaman.
“Apa memang sebaiknya aku bercerai saja. Siapa tahu Tuan Bara akan memberi kesempatan pada Kak Rissa untuk menjadi mama Issabell.”
Ketidaknyamanan itu akhirnya membuat Bella memilih tidur di kamar Issabell. Saat selesai makan malam, Bella beralasan pada Bara akan menemani putrinya tidur.
“Issabell, mau Mommy bacakan dongeng?” tanya Bella, saat masuk pertama kali ke kamar Issabell.
“Mawu," jawab Issabell, meloncat kegirangan di atas tempat tidur yang bernuansa Hello kitty.
Bella juga ikut berbaring di samping Issabell, membawa gadis kecil itu ke dalam pelukannya. Persis yang dilakukan Bara tadi siang, sesekali menepuk lembut bokong Issabell. Tidak butuh waktu lama, bunyi dengkur halus dan napas teratur Issabell menandakan gadis itu sudah terlelap.
Bella mengecup lembut kening Issabell, menatap wajah polos tanpa dosa yang tidak mendapatkan kasih sayang ibu, selama dua tahun ini. Terbersit rasa iba, walau Rissa tinggal bersamanya, tetapi di mata Issabell Rissa hanya seorang tante saja. Pikiran itu menari-nari di otaknya, sampai akhirnya ia lelah sendiri dan tertidur.
Bara yang sedari tadi menunggu kedatangan Bella dengan memeriksa email dari Kevin, akhirnya mengalah. Memilih menghentikan pekerjaan dan menyusul Bella yang tadinya berpamitan hanya untuk menidurkan putri mereka.
Saat masuk ke dalam kamar Issabell, Bara disuguhkan pemandangan yang tidak biasanya. Ada Bella dan Issabell yang tertidur sambil berpelukan. Ada rasa hangat menjalar masuk di hatinya, saat menatap istri dan putrinya tidur bersama.
“Bell, Bell," panggil Bara pelan, mengguncang tubuh mungil istrinya yang masih tertidur lelap.
“Bell, bangun Bell. Kita pindah ke kamar sekarang,” panggil Bara, kembali mengguncang bahu istrinya.
Bella hanya menggeliat sebentar, kemudian tertidur lagi. Bara sampai menggaruk kepalanya, melihat tingkah Bella yang tidak sadar. Mau tidak mau, ia harus menggendong istrinya ke kamar. Bara tidak bisa membiarkan pandangan para asisten rumah tangga dan pengasuh Issabell yang melihat mereka tidur terpisah di hari pertama Bella tinggal di rumahnya.
“Maafkan aku, Bell ... terpaksa,” bisik Bara pelan. Sebelum menyisipkan tangannya di balik punggung dan menggendong istrinya kembali ke kamar.
Saat akan memasuki kamarnya, Bara berpapasan dengan Rissa yang hendak keluar kamar mengambil segelas air putih. Tidak ada senyuman atau sapaan, Rissa hanya menatap sekilas, kemudian membuang pandangannya. Hati Rissa terasa sakit dan tercubit melihat betapa beruntungnya hidup sang adik.
“Gadis kampung itu mendapatkan segalanya tanpa berusaha sama sekali,” dengusnya pelan, setelah memastikan Bara sudah masuk ke dalam kamarnya.
Rissa bukannya tidak berusaha selama dua tahun ini. Segala cara sudah dilakukan untuk menggoda sang adik ipar. Bahkan laki-laki itu bagai batu karang di lautan luas, tidak goyah sedikit pun diterjang ombak. Ia ingat Bara pernah menyindirnya suatu kali saat di kantor, karena melihat kegigihannya mendekati Bara selama ini. Sejak saat itu nyalinya menciut.
***
Keesokan hari.
Bella sedang memeluk Bara layaknya bantal guling empuk di kamarnya, saat ia mulai terbangun dari tidur lelapnya.
“Kenapa gulingku jadi keras begini,” ucap Bella dengan suara serak, menepuk punggung Bara. Kakinya sedang mengapit tubuh kekar sang suami. Masih dengan mata terpejam, ia berusaha mengembalikan ingatannya yang berserakan karena tidur semalaman.
“Oh, aku di Jakarta. Semalam ... aku tidur di kamar Issabell,” ucapnya dalam hati.
Kembali ia menikmati tidurnya, sesekali mencari posisi nyaman di dalam dada kekar Bara. Bara yang masih tidur nyenyak pun, membalas perlakuan Bella. Memeluk erat Bella, sambil tersenyum dalam tidurnya.
“Hah! Sejak kapan guling di kamar Issabell bisa membalas pelukan?” tanya Bella dalam hati.
Bella langsung membuka matanya seketika, saat menyadari ada yang tidak beres dengan gulingnya.
“Ahhh!” Bella menjerit kencang saat menyadari sedang berpelukan dengan Bara. Ia juga menyadari kakinya sedang mengapit pinggang suaminya. Segera ia bangkit dan duduk di atas tempat tidur.
Bara yang terkejut mendengar jeritan tepat di telinganya, langsung terbangun dan segera melepaskan pelukannya.
“Ada apa?” tanya Bara memijat pelipisnya. Ia sedikit pusing karena harus memaksa tubuhnya bangkit seketika.
“Ba ... ba ... gaimana Tuan ada ... di ... di sini?” tanya Bella terbata, mengarahkan telunjuknya ke wajah Bara.
“Ini kamarku, Bell. Kamar kita,” sahut Bara, meraih segelas air putih di nakas samping tempat tidur.
“Bagaimana bisa? Aku 'kan tidur di kamar Issabell?” tanya Bella ragu, mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Benar. Ini adalah kamar Bara.
“Tapi ... bagaimana bisa, Tuan?” tanya Bella heran.
“Aku yang membawamu ke sini semalam,” sahut Bara, terlihat biasa.
Bella memeriksa seluruh pakaiannya, bahkan menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.
“Tenang saja, Bell. Aku tidak akan mencurangimu.” Bara berkata sambil tersenyum.
“Kalau mau menyerangmu pun, aku harus memastikan kalau kamu dalam keadaan sadar,” lanjut Bara sambil tersenyum menggoda.
Bella terbelalak. Mata indahnya itu langsung membulat menatap Bara.
“Sudah, sebentar lagi putri kesayanganmu akan masuk ke sini,” ucap Bara setelah melihat jam di ponselnya.
Dan benar saja, baru saja Bara menyelesaikan ucapannya dari arah pintu kamar sudah terdengar teriakan Issabell.
“Daddy ... Daddy ... Mawu macuk,” pinta Issabell, sambil menarik turun gagang pintu kamar yang terkunci.
Dengan berat hati, Bara melangkah gontai ke arah pintu. Tadinya ia masih ingin membahas hubungan mereka berdua.
Ceklek.
“Ada apa? Pagi-pagi anak Daddy sudah bertamu?” tanya Bara, berjongkok supaya bisa menyejajarkan tingginya dengan Issabell.
Gadis kecil itu bukannya menjawab, malah menerobos masuk. Melewati Bara, tanpa menjawab sama sekali.
“Mami," sapa Issabell, berlari menghampiri Bella. Gadis kecil itu bersusah payah memanjat ranjang yang lumayan tinggi untuk ukuran tubuhnya yang mungil.
“Ayo, Daddy bantu!” ucap Bara, mengangkat gadis kecilnya naik ke atas tempat tidur.
“Mami ... napa bobo cini?” tanya Issabell, memeluk leher Bella.
“Daddy juga mau bobonya ditemani Mommy, ditepuk-tepuk Mommy, dibacakan dongeng juga sama Mommy,” jawab Bara usil.
“No, Daddy!” Issabell tidak terima dengan jawaban Bara.
“Mami Iccabell,” sahut gadis kecil itu.
“Katanya Mommy mau pulang ke Surabaya,” ucap Bara sengaja memancing.
“No! Mami Iccabell,” jawab gadis kecil itu, mengeratkan rangkulannya di leher Bella.
“No mami!” Lagi-lagi Issabell menolak.
“Habis bagaimana, mommy-nya mau pulang.” Bara kembali memancing putrinya. Berharap Issabell segera merengek dan menangis.
“No mami! Huaa ... huaaa ....” Issabell mulai menangis.
“Sudah -sudah! Kalau Mommy tetap mau pulang ke Surabaya, nanti Danny ajak Issabell ke supermaket. Kita cari ... ada yang jual Mommy tidak di sana. Kita beli Mommy baru,” bujuk Bara, berkata asal.
“Hik ... hik ... no! Ini mami,” jawab Issabell masih saja menangis.
****
Maaf telat up
Terima kasih masih setia menunggu.
Walaupun up nya lama.
Love You all