Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate. Dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya. Bagaimana perjalanan Gray untuk menjadi dewa dalam dunia fantasi yang dipenuhi bahaya dan kekuatan sihir ini akan berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
003 - Keputus-asaan
Waktu terus berlalu dalam siklus yang monoton dan menyesakkan. Satu per satu anak datang, dan satu per satu anak pergi, namun tidak semuanya kembali. Ruangan yang awalnya penuh kini perlahan-lahan kosong, menyisakan hanya beberapa anak yang selamat dari sesuatu yang mengintai di balik pintu besi itu.
Gray tidak peduli. Ia hanya mengamati, tanpa emosi, tanpa keterikatan. Ia tahu bahwa cepat atau lambat gilirannya akan tiba.
Dan hari itu pun akhirnya datang.
Krekk...
Pintu besi besar terbuka dengan bunyi berderit tajam, membuat udara dingin yang merayap di lorong semakin terasa menusuk. Seorang penjaga bertubuh besar dan mengenakan seragam hitam melangkah masuk dengan tenang. Wajahnya tertutup oleh topeng logam yang hanya memiliki lubang kecil untuk kedua matanya. Ia berjalan tanpa ragu, tanpa memedulikan tatapan ketakutan anak-anak di ruangan itu.
Lalu, matanya tertuju pada Gray.
"Giliranmu," katanya, suaranya berat dan datar, tanpa emosi.
Tanpa perlawanan, Gray bangkit dari tempatnya. Tubuhnya masih lelah dan lemas, tetapi ia melangkah tanpa ragu, mengikuti pria itu keluar dari sel. Anak-anak lain menatapnya dengan berbagai ekspresi—ada yang kasihan, ada yang takut, dan ada yang tidak peduli seperti dirinya.
Pintu besi tertutup kembali, mengunci anak-anak yang tersisa dalam ruangan suram itu.
Gray mengikuti penjaga itu melewati lorong panjang yang dingin. Cahaya dari lampu redup di langit-langit menciptakan bayangan panjang di dinding batu. Suara langkah kaki mereka menggema di sepanjang lorong sempit itu, satu-satunya suara yang menemani perjalanan mereka.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang sangat berbeda dari sel sebelumnya. Udara di dalam ruangan ini jauh lebih steril, bau menyengat dari bahan kimia dan desinfektan menyerang hidung Gray. Lampu putih terang menyinari setiap sudut ruangan, memperlihatkan berbagai alat-alat medis dan tabung kaca berisi cairan aneh.
Di tengah ruangan, ada sebuah ranjang besi dengan sabuk pengikat di keempat sudutnya.
Di sisi lain ruangan, seorang pria berdiri sambil mencatat sesuatu di papan tulis elektroniknya. Ilmuwan itu mengenakan jas putih panjang, dengan kacamata bulat kecil yang bertengger di ujung hidungnya. Wajahnya tenang, tetapi ada sedikit kegilaan dalam sorot matanya.
Ia menatap Gray dengan penuh perhatian, seolah-olah anak itu hanyalah objek penelitian, bukan manusia.
"Taruh dia di atas ranjang," perintah ilmuwan itu.
Penjaga yang membawa Gray mengangguk. Tanpa perlawanan, ia mengangkat Gray dan membaringkannya di atas ranjang besi itu. Segera setelah itu, tangannya, kakinya, bahkan lehernya diborgol dengan sabuk kulit tebal.
Gray tidak melawan.
Ia tahu itu sia-sia.
Ilmuwan itu berjalan ke sisi ranjang, mengambil suntikan besar berisi cairan hitam pekat. Cahaya dari lampu ruangan membuat cairan itu berkilauan, seolah memiliki kehidupan sendiri.
"Ini akan sedikit menyakitkan," katanya dengan senyum tipis yang tidak menyenangkan.
Tanpa peringatan lebih lanjut, ia menusukkan jarum suntik itu ke leher Gray.
Saat cairan itu mulai mengalir ke dalam tubuhnya, rasa sakit yang luar biasa segera menyerang.
"AHHHHHHHH!"
Teriakan Gray bergema di seluruh ruangan, suaranya dipenuhi penderitaan yang tak bisa dijelaskan. Rasa sakit itu bukan sekadar rasa terbakar atau tertusuk—itu seperti ribuan jarum yang menembus ke dalam setiap sarafnya, mencabik-cabik dagingnya dari dalam.
Kepalanya terasa seperti dihantam palu berulang kali. Tulang-tulangnya berdenyut, otot-ototnya berkedut tak terkendali.
Di antara rasa sakit itu, sebuah suara nyaring muncul di kepalanya.
Tawa.
Suara tawa yang mengerikan, menggema di dalam pikirannya. Bukan suara manusia. Bukan suara yang berasal dari dunia ini.
Tubuhnya mulai bereaksi.
Dagingnya menggeliat, seolah-olah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhnya. Otot-ototnya menegang dan berubah bentuk secara acak. Darah panas mengalir di bawah kulitnya, bergejolak seperti lahar.
Aura kelam mulai menyelimuti tubuhnya, memenuhi ruangan dengan hawa yang begitu menyesakkan. Udara menjadi berat, seperti dihantam oleh gelombang tekanan yang tidak terlihat. Ilmuwan itu mundur beberapa langkah, mengamati dengan penuh ketertarikan.
Mata Gray mulai kehilangan fokus. Emosi yang bercampur aduk—kesedihan, kemarahan, penderitaan—semua bercampur menjadi satu dalam pikirannya. Ia ingin pingsan. Ia ingin berhenti merasakan semuanya.
Namun, tubuhnya tidak membiarkannya pingsan.
Setiap detik terasa seperti siksaan tanpa akhir.
Daging yang menggeliat itu akhirnya mulai mereda. Otot-ototnya kembali ke bentuk semula. Aura kelam yang menyelimuti tubuhnya perlahan menghilang.
Gray terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat.
"Hah... hah... hah..."
"Berhasil," suara ilmuwan itu terdengar serak, namun penuh kegembiraan yang aneh. Lalu, ia tertawa.
"HAHAHAHAHAHA!"
Tawa itu menggema di ruangan itu, penuh dengan kepuasan dan kegilaan.
"Akhirnya! Satu yang berhasil setelah sekian banyak kegagalan!"
Penjaga yang berdiri di sudut ruangan segera maju. Tanpa berkata apa pun, ia mulai melepaskan ikatan Gray yang sudah lemas.
Tubuh Gray terlalu lemah untuk bergerak. Semua energinya habis, terkuras oleh eksperimen yang baru saja dialaminya.
Penjaga itu mengangkat tubuhnya ke atas punggungnya, membawanya keluar dari ruangan itu. Tangga demi tangga mereka lewati, menaiki lorong yang kembali terasa dingin dan sunyi.
Sampai akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah pintu lain.
Penjaga yang berjaga di sana segera membukanya dengan kunci yang tergantung di sabuknya.
Di balik pintu itu, sebuah tempat baru menunggunya.
Suara mekanisme besi berderak pelan saat pintu besar itu terbuka, memperlihatkan kegelapan di baliknya.
"Masuk," kata penjaga dengan nada datar, lalu dengan kasar melemparkan tubuh Gray ke dalam ruangan.
Brakk!
Gray terhempas ke lantai dingin. Tulang-tulangnya bergetar karena benturan, tetapi ia bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengeluh atau merintih. Nafasnya masih terengah-engah, tubuhnya terasa lumpuh, seolah-olah seluruh energinya telah disedot habis oleh siksaan sebelumnya.
Sebelum ia bisa memproses apa pun, pintu itu tertutup kembali dengan bunyi gemuruh keras, diikuti oleh suara kunci yang diputar dari luar.
Kini, Gray tergeletak tak berdaya di dalam kegelapan. Udara di sini lebih lembap daripada ruangan sebelumnya, beraroma logam dan sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Suara napas samar terdengar di sekelilingnya, tanda bahwa ia tidak sendirian.
Tapi Gray tidak peduli.
Matanya yang lelah mulai tertutup. Kesadarannya perlahan tenggelam dalam kegelapan.
Ia tidur.
Tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, tetapi sesuatu membuat matanya terbuka. Kelopak matanya terasa berat, tetapi nalurinya berkata bahwa ia harus bangun.
Saat ia mencoba duduk, tubuhnya masih terasa kaku. Kepalanya pusing, namun setidaknya ia sudah bisa menggerakkan tubuhnya. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengenali tempat ini.
Lalu, sebuah suara menyapanya.
"Kau sudah sadar, baguslah."
Gray menoleh ke arah suara itu.
Seorang anak laki-laki berdiri di depannya, wajahnya diterangi oleh cahaya lampu redup yang terpasang di langit-langit. Rambutnya berwarna pirang terang, sedikit acak-acakan, dan sorot matanya tajam tetapi tidak terlihat bermusuhan.