"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab5: Menyusahkan
Di dalam ruangan yang sepi dan steril, seorang wanita terbangun di atas ranjang rumah sakit. Cahaya pucat dari jendela kecil menyinari wajahnya yang lemah. Kepalanya terbalut perban tebal, menutupi luka yang entah bagaimana ia dapatkan. Pandangannya buram, berusaha menyesuaikan diri dengan sekitar yang asing. Tubuhnya terasa berat, setiap gerakan seakan mengingatkan pada rasa sakit yang membekas di seluruh tubuhnya.
Tidak ada suara mesin atau langkah kaki, hanya keheningan yang menekan, membuatnya merasa semakin sendirian. Tangannya terangkat perlahan, menyentuh perban di kepalanya, mencoba meraba apa yang terjadi. Di matanya, tersirat kebingungan, mungkin sedikit ketakutan. Nafasnya teratur, meski dadanya terasa sesak, seolah ada beban tak terlihat yang menekan. Tidak ada tanda-tanda orang lain di ruangan itu. Hanya dia, dan kekosongan yang mengiringi kesadarannya. Di luar jendela, matahari yang redup menandakan entah pagi atau sore, tetapi waktu seolah berhenti di tempatnya, meninggalkannya dalam pertanyaan yang tak terjawab.
Sejenak, ia menutup matanya kembali, berharap ketika membukanya, semua ini hanyalah mimpi. Tapi sayangnya, rasa sakit di kepalanya dan dinginnya udara membuktikan bahwa ini nyata.
"Di mana aku?" lirih wanita itu, suaranya hampir tak terdengar, berusaha memecah keheningan yang mencekam. Ia mencoba bangun untuk melihat sekeliling, namun tetap tidak ada siapapun yang bisa menjawab pertanyaannya.
Hingga setelah beberapa saat bergelut dengan keheningan, akhirnya tatapan matanya teralihkan pada seseorang yang baru saja tiba. Jantungnya berdegup kencang, berharap sosok yang datang bisa menjawab semua kebingungannya.
"Kamu sudah bangun?" Tanya orang tersebut, nada suaranya lembut dan menenangkan.
"O... Oppa..." lirihnya saat melihat pria yang sudah ada di sampingnya, sosok yang dikenalnya meski dalam keadaan bingung.
"Oppa di sini. Apa yang kamu rasakan?" tanyanya penuh perhatian, seolah ingin memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda.
"Sakit..." jawabnya pelan, suaranya hampir tak terdengar, menggambarkan betapa lemah dan rentannya dia saat ini.
"Kamu mengingat sesuatu?" tanya pria itu dengan nada lembutnya, penuh harapan agar adiknya bisa memberi sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi.
Wanita itu hanya terdiam, menggelengkan kepalanya dengan lembut, pertanda bahwa ia tidak tahu apapun. Dalam hatinya, kekhawatiran semakin menggebu. Ia merasa seolah berada di tengah kabut tebal, tidak bisa melihat jalan keluar.
"Baiklah... Tidak perlu diingat. Kamu mau makan apa? Oppa akan carikan," ujar Namjin lagi, berusaha mengalihkan perhatian adiknya dari kesedihan yang melingkupinya.
"Aku tidak tahu... Terima kasih, oppa, sudah mau menemani Yoora di sini," ucap wanita itu, suaranya bergetar, mengungkapkan rasa syukur yang mendalam meskipun hatinya penuh dengan kesedihan.
"Itu sudah tugas oppa, sebagai kakakmu!" jawab Namjin dengan senyuman hangat, sambil mengecup kening sang adik dengan lembut, seolah menyampaikan bahwa ia tidak akan pernah meninggalkannya.
Tak terasa, bulir air mata jatuh tanpa permisi dari mata Yoora, mengalir pelan di pipinya yang pucat. Ia terdiam, tak ada tenaga tersisa untuk menyeka air mata itu. Hanya keheningan yang menemaninya selama ini, sementara hatinya penuh sesak oleh perasaan yang tak bisa diungkapkan. Setiap helaan nafas terasa berat, seolah beban di dadanya semakin menekan, dan kesedihan yang menggelayut di pikirannya tak kunjung mereda.
"Jangan menangis, oppa ada di sini. Tunggu sebentar, nee," ujar Namjoon, tersenyum sembari mengusap air mata sang adik, memberikan sedikit harapan di tengah kegelapan yang menyelimutinya.
.....
Sementara itu, di tempat lain, di kediaman keluarga Lee, Haesung dan Jihwan sedang berusaha membujuk Jungsoo, yang sudah dua hari ini tidak keluar dari kamarnya semenjak kejadian di mana dia menyiksa sang adik, yaitu Yoora.
"Jungsoo... buka pintunya," ujar sang kakak yang kini berusaha membujuk adiknya itu dengan nada lembut, meski ada kekhawatiran yang jelas tertera di wajahnya.
"Bagaimana, Ji?" tanya Haesung, yang begitu mengkhawatirkan keadaan adik kesayangannya itu.
"Dia tetap tidak menjawabku, Hyung..." ujar Jihwan, suaranya terdengar pelan dan cemas.
"Semalaman, Yoongki Hyung pun sudah membujuknya, tapi tetap saja Jungsoo tidak menjawab siapapun," jawab Haesung, rasa khawatir semakin menggelayut di hatinya.
"Ini sudah dua hari semenjak kejadian itu, Jungsoo sama sekali belum keluar kamar. Aku takut dia kenapa-kenapa, Hyung," lirih Jihwan, suaranya penuh dengan ketakutan yang tak terucapkan.
"Hyung yakin semua akan baik-baik saja. Dari tadi, Hyung sudah berusaha menghubungi Seon Hyung, tapi dia mengabaikan panggilan Hyung," ujar Haesung lagi, berusaha menenangkan Jihwan meskipun hatinya sendiri terasa berat.
"Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar Jungsoo mau keluar dari kamar," jawab Jihwan, tatapannya kosong seolah semua harapan telah hilang.
"Hanya Seon Hyung dan Namjin yang biasanya bisa membujuknya, tapi sekarang Seon Hyung tidak ada dan Namjin malah sibuk mengurus anak tidak berguna itu," ujar Haesung lagi, nada suaranya mengandung frustrasi.
Seonho memang ikut pergi meninggalkan rumah setelah kejadian itu, mungkin karena dia kesal dengan semua yang terjadi dalam keluarganya. Hal ini tentu tidak lepas dari pandangan di mana semua ini terjadi karena ulah sang adik, yaitu Yoora.
"Ini semua karena anak sialan itu! Awas saja jika dia sudah kembali ke sini, dia tidak henti-hentinya membuat kekacauan di keluarga kita. Kenapa juga Seon Hyung tidak mengusir nya dari sini " jawab Jihwan, geram sendiri saat mengingat tentang kejadian kemarin. Rasa marah dan kekecewaan bercampur aduk dalam hatinya, sementara dia hanya bisa berharap Jungsoo akan segera kembali seperti sedia kala.
.......Flashback on......
"Sakit, oppa!" jeritku, tubuhku gemetar menahan perih. Helaian rambutku jatuh ke lantai, dan aku bisa merasakan bagaimana kepalaku berdenyut sakit.
"Kau bilang sakit? Lebih sakit mana, hah? Aku yang kehilangan kedua orang tuaku karena keegoisanmu, atau hanya rasa sakitmu itu?" Teriakannya menggema di dapur yang sepi. Dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya, Jungsoo semakin mempererat cengkeraman tangannya di rambutku, menariknya dengan brutal. Air mata mulai membanjiri wajahku.
"Sakit, oppa... Hiks..." Aku tak mampu menahan lagi, rintihan penuh rasa sakit terlepas dari bibirku. Rasanya kepalaku seperti terbakar, tiap tarikan membuatku semakin tak berdaya.
"Kau merusak kebahagiaanku. Karena kau, aku kehilangan semuanya! Apa kau tahu bagaimana rasanya? Kau tidak pantas hidup, sialan! Dan sekarang, kau juga mau merebut kasih sayang Namjin hyung, huh?! Apa maumu sebenarnya?!" Bentak Jungsoo dengan emosi yang semakin menggebu -gebu.
Kepalaku terasa berputar-putar, dan rasa sakit yang tak tertahankan membuat tubuhku luruh di hadapan kakak terakhirku itu. Penglihatanku semakin buram, dan aku merasa cairan hangat mengalir dari dahi, membasahi wajahku.
"Kau dengar ini, sialan? Jauhi Namjin Hyung atau aku akan melakukan hal yang lebih dari ini!" Jungsoo berseru, mendekatkan wajahnya padaku dengan tatapan tajam yang penuh kebencian. Suara ancamannya seolah mengoyak rasa aman yang masih tersisa di dalam diriku.
Kegelapan yang mencekam perlahan merenggut kesadaranku, seperti ada tangan tak terlihat yang menarikku ke dalam kehampaan. Tubuhku terasa semakin berat, sementara suara-suara di sekelilingku mulai memudar, tergantikan oleh hening yang menusuk. Rasa takut menyelimuti diriku, seolah dunia ini akan lenyap bersamaku.
"Ckk... malah berpura-pura pingsan," ujar Jungsoo sembari menendang tubuhku yang kini terkulai lemah di lantai, tak berdaya.
"Bangun, Yoora... Apa kau pikir aku akan iba melihatmu seperti ini?" Jungsoo mengulangi, sedikit panik melihatku tak merespon apapun. Suaranya menggema di kepalaku yang pusing, tetapi tidak ada kekuatan tersisa untuk membalas.
"Yoora..." panggil Jungsoo lagi, namun tetap tidak mendapatkan respon apapun yang dia inginkan. Ketidakpastian di wajahnya semakin jelas, hingga akhirnya kegaduhan tersebut terdengar oleh Namjin, yang kembali turun untuk memberitahu bahwa dia tidak jadi mengantarkan yoora ke sekolah, disebabkan ada pekerjaan mendadak. Namun, langkah pria manis itu terhenti saat melihat adiknya tengah terduduk tak sadarkan diri di lantai.
"Jungsoo... apa yang kamu lakukan?!" tanya Namjin sedikit membentak, nada suaranya mengandung kekhawatiran yang mendalam.
"A... aku tidak melakukan apapun, Hyung. Dia sedang berdrama," ujar Jungsoo, berusaha mencari alasan untuk membenarkan tindakannya, meskipun hatinya bergetar.
"Yoora... bangun, hey! Kamu kenapa?" Namjin bertanya dengan panik, menggoyangkan tubuhku yang tergeletak di lantai.
"Adek... kamu kenapa, ayo bangun..." Ucap Namjin lagi, ketakutan terlihat di wajahnya saat melihat yoora tidak merespon. la bisa melihat ada darah mengalir dari kepala yoora, dan rasa cemas menyelimutinya, membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat.
Melihat adiknya dalam keadaan seperti ini, rasa marah dan kecewa terhadap Jungsoo mulai mencuat di dalam hati Namjin , dia tidak menyangka jika Jungsoo akan melakukan hal seperti ini , walaupun dahulu dia juga ikut membenci adiknya itu tapi dia tidak pernah sampai memukuli nya seperti ini berbeda dengan saudara nya yang lain , yang mungkin selalu melakukan nya .
"Jungsoo, apa yang kamu lakukan pada adikmu?!" bentak Namjin, suaranya dipenuhi kekhawatiran dan kemarahan yang menyala, sembari menatap Jungsoo dengan tajam.
"Dia bukan adikku Hyung, aku tidak pernah punya adik seperti dia!" ucap Jungsoo, tidak kalah tinggi, dengan nada yang penuh ketidakpuasan dan penolakan.
"Dia adikmu, Jungsoo! Kenapa kau malah ikut-ikutan menyiksanya seperti ini? Apa yang sudah dia lakukan padamu hingga kau setega ini padanya, huh? Apa yang dia lakukan?!" bentak Namjin, emosinya sudah di ubun-ubun, wajahnya memerah karena kemarahan. Pria yang selama ini selalu bertutur halus pada siapapun, apalagi pada Jungsoo, adik kesayangannya itu, kini terpaksa menghadapi kenyataan yang menyakitkan.
"Kenapa Hyung selalu membelanya? Dia pembunuh, Hyung! Dia yang membunuh Daddy! Kenapa Hyung seolah tutup mata atas apa yang telah yoora perbuat selama ini " teriak Jungsoo dengan suara penuh amarah dan kebencian, memancing keributan di rumah itu. Semua saudaranya yang lain pun ikut berkumpul, terkejut dengan situasi yang semakin memanas.
"LEE JUNGSOO!" bentak Namjin yang hampir saja melayangkan tamparannya pada sang adik, namun hal itu berhasil ditahan oleh Seonho, yang baru saja tiba di sana setelah mendengar semua kegaduhan yang terjadi di pagi hari itu
"Apa yang kau lakukan, Lee Namjin?! Kau berani menampar adikku?," bentak Seonho, nada suaranya menggema dengan kemarahan, membuat Namjin terdiam sejenak, terperangah dengan reaksi yang tak terduga dari kakaknya.
"Katakan padaku, siapa yang mengajarkanmu untuk mengangkat tanganmu pada adik-adik kita?" Bentak Seonho dengan nada marah yang menggelegar, tak terima dengan perlakuan Namjin terhadap Jungsoo, adik kesayangannya.
"Yoora juga adik kita, Hyung! Junsoo bukan satu-satunya yang harus kamu perhatikan. Kau tidak melihat apa yang terjadi padanya akibat perlakuanmu yang terlalu memanjakan Junsoo? Kenapa Hyung tidak pernah menegur kesalahan Jungsoo? Sedang Jika Yoora yang melakukan kesalahan, bahkan kesalahan sekecil debu pun pasti akan kau jadikan masalah! Dia juga adik kita, adik Hyung juga!" Namjin menunjuk ke arah Yoora yang tergeletak tak sadarkan diri di sudut ruangan, wajahnya pucat dan terlihat sangat rapuh.
"Dia bukan adikku, dia hanya pembawa sial yang merebut kebahagiaanku . Dan karena dia, kau berani meninggikan suaramu padaku? Hanya karena dia?" { Ucapnya, nada suaranya terdengar terkekeh menunjukkan betapa tidak percaya nya dia dengan apa yang sedang terjadi . Seonho merasa terkejut dan terluka, karena ini adalah kali pertama dia mendengar Namjin berani mendebatnya } "Apa semua yang aku lakukan untuk kalian selama ini kurang? Hyung mengorbankan masa muda Hyung untuk memenuhi semua kebutuhan kalian. Hyung melupakan diri Hyung sendiri untuk kalian, dan ini yang Hyung dapatkan darimu, Namjin-ah? " Bentakan Seonho menggema di seluruh penjuru mansion, membuat suasana semakin tegang dan Namjin terdiam, tidak sanggup membalas. Perasaan bingung dan marah membara di dalam dirinya, sementara ia merasa hatinya terbelah antara cinta untuk keluarganya dan kesedihan melihat adiknya terbaring tak berdaya.
" Selama ini Hyung selalu menuruti semua keinginan mu , Hyung selalu berusaha menjadi Hyung yang baik untuk mu dan semua adik Hyung , dan hanya karena dia ?.. kau meninggikan suara mu di hadapan Hyung, ini balasan mu untuk ku LEE NAMJIN ? Kau mempertanyakan tentang kasih sayang yang Hyung berikan pada adik- adik Hyung " Ujar seonho sembari terkekeh tidak percaya, membuat Namjin makin tertunduk.
"Jawab, Hyung, Namjin-ssi!" Bentak Seonho, akhirnya menggunakan bahasa formal untuk mengekspresikan kemarahannya kepada sang adik. Suaranya terdengar menggema, menambah ketegangan di dalam ruangan.
"Tapi, apa yang Jungsoo lakukan pada Yoora sudah keterlaluan, Hyung!" Jawab Namjin, dengan nada suaranya lirih. Rasa cemas menyelimuti hatinya, berusaha mempertahankan pendapatnya meski tertekan oleh situasi.
"Kau yang keterlaluan di sini!" { Seonho mendengus dengan nada kesal yang membuncah, tidak bisa menahan emosinya} "Jika kau berani menyentuh Jungsoo, aku pastikan kau bukan adikku lagi!" Ucapnya dengan tegas, menyampaikan ancaman yang mengerikan.
" Hyung..." Ketidakadilan yang dirasakannya semakin membara, membuatnya merasa semakin jauh dari Seonho.
Setelah mengatakan itu, Seonho melenggang pergi, meninggalkan semua kekacauan yang tercipta, sementara Haesung membuka suaranya dengan penuh keberanian.
"Kau keterlaluan, Namjin... Apa yang kau pikirkan sampai berani mengatakan hal seperti itu pada Seon Hyung?!" Ucap Haesung, yang sejak tadi menjadi saksi bisu atas semua yang terjadi, matanya lekat menatap Namjin dengan perasaan kesal dan kecewa.
Namjin menghiraukan ucapan Haesung, hatinya terfokus pada Yoora yang terkulai lemah di gendongannya. Ia memilih untuk membawa adiknya ke rumah sakit agar bisa segera diobati. Ketegangan dalam dirinya semakin terasa, seolah ada beban berat yang harus ia tanggung.
"Namjin! Aku belum selesai bicara!" Teriak Haesung, suaranya penuh frustrasi, tetapi tidak dihiraukan oleh Namjin yang terus berjalan lurus, mengabaikan semua seruan di belakangnya. Dengan tubuh Yoora yang terkulai dalam gendongannya, ia merasakan campuran kekhawatiran dan ketegangan yang terus menggelayuti pikirannya.
... Flashback off ...
"Hae-ah..." Ucap Yongki, menghampiri kedua adiknya yang tengah berdiri di depan kamar si bungsu. Suara hangatnya mencoba menembus ketegangan yang mengalir di antara mereka.
"Yongki Hyung!" Haesung segera mendekati Yongki, wajahnya penuh keprihatinan.
"Jungsoo sama sekali tidak mau keluar dari kamarnya, dan Seon Hyung sudah dua hari tidak pulang ke rumah. Bagaimana ini, Hyung?" Tanya Jihwan dengan nada cemas, mencerminkan kekhawatiran yang membara dalam dirinya. Ketidakpastian menggelayuti pikiran mereka. Yongki menghela napas panjang, suara beratnya penuh dengan frustrasi.
"Hufffff... Akar masalah ini adalah anak itu. Tunggu di sini, Hyung akan memberikan pelajaran pada anak tidak tahu diri itu," ucap Yongki, sembari melangkah pergi meninggalkan kedua adiknya.
" Hyung... " Tahan Jihwan yang tidak di hiraukan oleh Yongki.
" Biarkan saja " ujar haesung menenangkan sang adik.
Yongki merasa marah dan putus asa, tidak ingin lagi melihat keharmonisan keluarganya terancam oleh kehadiran Yoora. Ia mengambil kunci mobilnya, memutuskan untuk segera menuju rumah sakit tempat Yoora dirawat. Di benaknya, tidak ada ruang untuk kompromi lebih baik kehilangan Yoora daripada membiarkan orang yang bisa menghancurkan hubungan keluarganya di masa depan tetap ada di sini.
Yongki termasuk salah satu orang yang acuh tak acuh terhadap Yoora, sama seperti yang lain. Ia juga menyalahkan Yoora atas kematian sang ayah meskipun ia jarang menyiksanya secara langsung. Dia lebih sering membiarkan saudara-saudaranya melakukan itu, mengikuti jejak Namjin yang dulu yang tidak pernah perduli pada Yoora namun tidak sampai menyakiti secara fisik, mungkin pernah tapi tidak sering.
Namun kali ini, emosinya terhadap sang adik sudah tidak bisa dibendung lagi. Rasanya beban di kepalanya semakin hari semakin menumpuk karena kehadiran adik yang tidak diinginkan itu.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari rumah hingga ke rumah sakit, akhirnya ia sampai dan segera mencari keberadaan orang yang dia tuju. Dalam hatinya, rasa cemas terhadap Junsoo dan marah terhadap yoora bergelora, dan setiap langkahnya yang terasa berat.
Jangan tanya bagaimana ia tahu tentang keberadaan Yoora, karena Namjin lah yang sudah memberitahunya, berharap saudara-saudara mereka yang lain akan datang untuk melihat kondisi sang adik. Harapan itu kini terasa samar di tengah badai emosi yang mengamuk dalam dirinya.
Brakk... (bunyi pintu yang terbentur dengan tembok).
Hal pertama yang Yongki lihat adalah Yoora, yang tengah terduduk di atas ranjang rumah sakit, menatap kosong ke arah depan dengan tatapan hampa. Sepertinya gadis itu tidak terkejut dengan kehadirannya di sana; wajahnya yang pucat menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa menghadapi amarah keluarganya.
"Kau...!" teriak Yongki sambil mencengkeram leher adiknya tanpa permisi, matanya menyala dengan kemarahan yang membara.
Yoora hanya diam, tidak melakukan perlawanan sama sekali. la tampak lemas, napasnya tersengal-sengal, dan jelas terlihat bahwa ia merasa terjebak dalam situasi ini.
"Kenapa kau tidak henti-hentinya mengambil kebahagiaanku, sialan? Kenapa kau selalu membuat masalah dalam hidupku? Tidak bisakah kau biarkan aku tenang sehari saja? Kenapa kau tidak pernah mau mengerti semua kesedihan yang ku alami? Kenapa kau suka sekali menghancurkan keluargaku?" Yongki berteriak, suaranya menggema di dalam ruangan, memantulkan semua kepedihan dan frustrasinya. la menunggu jawaban, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah ungkapan semua rasa sakit yang terpendam.
"Kau bahagia kan berpura-pura menjadi manusia paling tersakiti? Kau bahagia melihat adikku menderita? Kau bahagia melihat kakakku menderita? Kau bahagia kan melihat kehancuran keluargaku! Setelah Daddy, siapa lagi yang akan kau ambil dariku? JAWAB AKU, SIALAN!" Lanjut Yongki, emosinya meluap-luap, matanya berkilat penuh kebencian. la terus mencecarkan pertanyaan tanpa jeda, seolah berusaha melepaskan semua kepedihan yang menggerogoti hatinya dan mengubahnya menjadi amarah yang membara.
"Aku akan memb*n*hmu, Yoora. Mat*lah kau, sialan... anak pembawa si..." ucapan Yongki terhenti saat Namjin, yang baru saja memasuki ruangan, melihat kejadian itu dan langsung menghentikannya.
" Hyung, apa yang kau lakukan? Hentikan! Kau bisa memb*n*h adik kita!" ujar Namjin, suaranya penuh ketegangan dan kepanikan, berhasil membuat Yongki melepaskan cekikannya. Rasa tertekan di dalam hatinya bercampur aduk dengan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi.
"Kenapa kau menghentikanku, ha? Kau tahu karena dia kita kehilangan kebahagiaan, karena dia kita kehilangan kasih sayang orang tua kita! Kau lupa?" bentak Yongki, sembari menatap tajam Yoora, yang masih terengah-engah dan berusaha memulihkan napasnya, seolah ia baru saja mengalami pertempuran hidup dan mati.
"Hyung... Kematian Daddy itu takdir dari Tuhan. Tolong berhenti menyalahkan Yoora atas hal itu. Dia tidak tahu apapun tentang hal itu, Hyung!" ujar Namjin, suaranya bergetar, berusaha menahan air mata yang ingin jatuh. Harapan dan ketegangan mengisi udaranya saat ia memandang kakaknya dengan penuh kerinduan akan pengertian, namun kini Yongki bagaikan terjebak dalam diri orang lain, di mana Namjin pun tidak mengenali sosok kakak yang tengah di butakan oleh emosi itu .
"Berhenti membelanya di hadapanku, Namjin! Kau pikir aku anak kecil yang akan percaya dengan ocehanmu? Aku lebih tahu apa yang terjadi saat itu dibandingkan dengan dirimu!" bentak Yongki, wajahnya berapi-api, kemarahan yang menggelegak seolah ingin meluluhlantakkan semuanya. Setiap kata-katanya menancapkan luka di hati Namjin.
"Aku ta..." Belum selesai Namjin berucap, Yongki sudah kembali menyelanya, suaranya seperti petir yang menyambar.
"Kau tahu apa, hah? Kau tahu apa HyungTanya?! Seon Hyung dan aku, kami lebih tahu apapun itu dibandingkan dengan dirimu. Kau melakukan semua ini untuk membela orang yang sudah merebut kebahagiaan keluarga kita, huh? Dia yang membuat keluarga kita kacau, dan kau terus-menerus membelanya. Jangan kau pikir Hyung tidak tahu jika selama ini kau yang selalu menyelesaikan masalah yang diperbuat oleh anak ini! Kau pikir Hyung tidak akan tahu dengan kelakuanmu? Hyung diam karena masih menghargai keputusanmu. Tapi sejak dua hari yang lalu, kau semakin keterlaluan, Namjin! Kau bahkan berani melawan Seon Hyung hingga mengangkat tanganmu pada Jungsoo. Di mana Namjin yang dulu, yang selalu menyayangi keluarganya? Di mana dia? Kau membunuhnya untuk membela anak tidak tahu diri ini? Jawab aku!" Ucap Yongki, suaranya menggema penuh kemarahan, membuat udara di ruangan terasa semakin tegang. Orang-orang di sekitar mereka mulai menoleh, wajah-wajah terkejut dan penasaran muncul, menambah rasa malu yang menyelimuti Namjin.
"Hyung, tolong dengarkan aku dulu! Aku tidak berniat seperti itu pada Seon Hyung. Aku tahu apa yang aku lakukan waktu itu salah, tapi perlakuan Junsoo juga tidak bisa dibenarkan! Dia menyakiti adiknya sendiri, yang mana Yoora adalah seorang wanita! Aku tahu dahulu aku pun selalu menyakitinya, tapi sekarang aku tidak mau lagi! Coba lihatlah dari sudut pandang lain, Hyung! Yang kehilangan kebahagiaan dan kasih sayang dari Daddy dan Mommy bukan hanya kita bertujuh, tetapi Yoora juga! Dia juga adik kita, Hyung!" Namjin berusaha meraih hati kakaknya, tetapi suaranya mulai serak, tertekan oleh emosi yang meluap-luap.
"Berhenti menyebutnya adikku! Tidak! Sampai kapanpun dia tidak akan pernah jadi adikku! Aku hanya punya Jungsoo sebagai adik terakhirku, kau dengar itu!!" Tegas Yongki, suaranya semakin meninggi, seolah mengukir batas yang tak bisa dilewati. Tatapannya tajam, seolah ingin menembus jiwa Namjin, membuatnya tertegun dan merasakan kepedihan yang mendalam.
Sekilas namjin melirik ke arah Yoora yang hanya terdiam tanpa mengucapkan apapun, atau berusaha menyanggah apa yang di ucapkan oleh Yongki . Hal itu pula yang membuat hati nya semakin berdenyut perih karena ikut merasakan apa yang di rasakan oleh sang adik.
"Hyung..." ucapan Namjin terpotong oleh suara penghuni rumah sakit lain yang mulai merasa terganggu oleh keributan pertengkaran keduanya.
"Pak, tolong jangan berisik, ini rumah sakit!" teriak beberapa orang, tetapi teriakan mereka hanya teredam oleh gejolak emosi yang mengalir deras di antara dua saudara itu. Rasa frustasi, kesedihan, dan kemarahan menyatu dalam suasana tegang, seakan-akan dinding-dinding rumah sakit pun bisa merasakan beban emosional yang begitu berat.
"Kembali sekarang dan perbaiki semuanya, atau aku benar-benar akan memb*n*h anak tidak tahu diri itu," ujar Yongki dengan nada dingin sembari berlalu, meninggalkan Namjin yang masih mematung, menatap wajah pucat sang adik yang terdiam dalam kesedihan.
Namjin melangkah perlahan mendekati Yoora, kemudian memeluk tubuh ringkihnya erat-erat. Air matanya tak tertahankan lagi, mengalir begitu saja. Di dalam hatinya, rasa sakit yang dialami Yoora terasa begitu menyakitkan, seolah dia merasakannya langsung. Siapa yang tidak merasakan sakit ketika harus mendengar kata-kata yang begitu menyakitkan dan menusuk hati?
Beberapa saat suasana hening kembali menyelimuti ruangan tersebut. Setelah kepergian Yongki, hanya ada Namjin yang kini menangis dalam pelukan adiknya, sementara Yoora hanya terdiam, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.
"Oppa, kembalilah... Yongki oppa benar, gara-gara aku semuanya berantakan. Maafkan aku. Karena aku, oppa harus ikut dimarahi oleh Yongki oppa dan Seon oppa , Aku tidak apa-apa," ujar Yoora, mencoba tersenyum di tengah tangisnya, meski senyum itu tampak dipaksakan.
"Oppa akan menunggu sampai kamu sembuh. Setelah itu, kita bisa kembali. Jika kamu tidak ingin kembali ke rumah itu, kita bisa tinggal di rumah oppa," jawab Namjin, berusaha memberikan harapan di tengah kesedihan yang membekap mereka.
"Tidak, oppa. Jangan pisahkan aku dari mereka. Aku sangat menyayangi kalian semua. Aku tahu, suatu hari nanti mereka akan menerimaku. Aku akan kembali setelah sembuh, dan oppa pulanglah terlebih dahulu," ujar Yoora dengan penuh keyakinan.
Namjin merasa terjepit dalam dilema. Dia tidak mungkin meninggalkan adiknya sendirian di rumah sakit dalam keadaan seperti ini, tetapi di sisi lain, dia juga harus memikirkan keadaan adiknya yang lain. Perasaan tertekan menguasai dirinya saat mendengar suara lembut Yoora.
"Aku benar-benar tidak apa-apa, oppa. Tolong, kembalilah. Jangan buat mereka semakin membenciku karena kamu selalu ada di sisiku," lanjut Yoora, senyumnya mulai pudar di balik air mata yang semakin deras.
Mendengar ucapan itu, Namjin akhirnya mengangguk, meskipun dengan hati yang berat. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum pergi. Dengan langkah perlahan, dia meninggalkan ruangan, sementara hatinya penuh dengan rasa bersalah dan cemas.
Setelah keluar, Namjin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, berharap bisa segera sampai dan melihat sendiri apakah keadaan rumah benar-benar sekacau yang dikatakan Yongki padanya. Pikiran tentang adiknya yang lain terus mengganggu, membuatnya merasa semakin tertekan. Dia berdoa dalam hati agar semuanya baik-baik saja.