Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.31
" Cepat sembuhkan suami saya, Dokter!" seorang wanita paruh baya histeris tengah mendesak seorang dokter spesialis agar menangani suaminya dengan baik.
Pikirannya mulai kalut, takut akan sesuatu yang terjadi pada suaminya David.
"Ma, tenanglah! Dokter akan mengusahakan yang terbaik untuk ayah," ujar Abrisam yang mencoba menenangkan hati ibunya, namun kekhawatiran itu tak juga mengendur.
"Bagaimana mama bisa tenang, Nak? Ayahmu tengah berjuang melawan penyakitnya, mama sangat khawatir." Ucapnya sambil mencoba menahan air mata yang semakin membanjir, rasa takut, haru, dan cemas bercampur menjadi satu dalam dada.
Ia tahu suaminya adalah sosok yang tangguh, namun penyakit ini terasa begitu ganas hingga membuat hatinya menjerit-jerit.
Abi merasakan kecemasan yang sama yang menggema dari kedalaman hati sang mama. Matanya berkaca-kaca saat ia menggenggam tangan ibunya, menatapnya dengan penuh harap.
" Abi tahu mama sangat khawatir. Abi di sini, bersamamu. Kita berdoa bersama agar Ayah segera sembuh," ucapnya dengan suara yang bergetar, mencoba memberikan kekuatan meski hatinya sendiri terasa rapuh. Seakan tiap detik menunggu kabar itu bagaikan tahun yang berlalu, menguji kesabaran dan ketabahan mereka berdua dalam menghadapi ujian berat ini.
Ya, setelah berjam-jam penerbangan yang memilukan, mereka akhirnya tiba di Singapura. Walaupun tubuh mereka terasa remuk dan lelah, semangat mereka tak pernah pudar. Dalam detik-detik yang mengikis kesabaran, satu-satunya keinginan yang mereka impikan adalah melihat sang ayah memulihkan kesehatannya. Beratnya perjalanan seperti hilang begitu saja, tatkala harapan akan kesembuhan itu menjadi nyala api yang menerangi setiap langkah mereka di negeri orang.
Di tengah malam yang dingin dan hening, Abrisam dan ibunya melangkah gontai menembus koridor rumah sakit ternama di Singapura. Cahaya neon berpendar lemah di atas kepala, seakan-akan menggambarkan keputusasaan yang kian menyelimuti hati mereka. Di sana, David, sang ayah, terbaring lemah tanpa daya, seolah setiap napasnya adalah perjuangan antara hidup dan mati.
Saat mengantar ayahnya menuju ruang operasi, tiba-tiba nasib membawa Abrisam berpapasan dengan salah satu pasien. Pandangan mata Abrisam seketika tertuju pada sosok wanita yang di dorong oleh seorang suster, ditemani pria paruh baya, dan ajaibnya wanita itu memiliki kemiripan dengan seseorang yang ada di masa lalunya.
" Siapa wanita itu ?" gumam Abrisam dalam hati, merasa bingung dan penasaran.
Wajah wanita itu terhalang oleh perban yang melingkupi kepalanya serta penutup mata, membuat Abrisam merasa ragu akan pengenalan yang tiba-tiba itu.
"Ini pasti hanya perasaanku saja," pikir Abrisam, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kemungkinan itu hanya ilusi semata. Namun, di balik keraguan itu, tumbuh rasa penasaran yang begitu kuat akan kebenaran sosok wanita di hadapannya. Tangan Abrisam menggenggam erat tangan ibunya, mencoba meredam rasa tidak tenang yang menggejala di dalam hatinya.
"Haruskah saya mencoba untuk memastikannya? Atau ku biarkan saja angan-angan ini menguap bersama waktu?" batin Abrisam, mencoba mencari jawaban atas perasaan yang menghantuinya.
" Apakah benar wanita itu adalah Ralda?" batinnya kembali semakin terus bergejolak.
Ia ingin mendekati wanita tersebut, namun Rani, ibunya, menghentikannya.
"Mau kemana? Operasi ayahmu sedang berjalan, kita harus menunggu di sini, Nak," ucap Rani sambil menggenggam lengan putranya.
" Abi mau ke ruangan sebelah dulu, Ma," ucapnya, penasaran ingin mengetahui siapa wanita tersebut.
"Kamu tega meninggalkan mama sendirian?" ucap Rani, merasa takut ditinggalkan.
"Ya ampun, Mama, cuma sebentar kok, lagi ruangannya ada di sana," bisik Abrisam, mencoba menenangkan.
Namun, sang mama terus bersikeras agar putranya tidak pergi kemana-mana. Abrisam menghela nafas panjang, lalu menggeleng kecil. Rasanya otaknya seperti terhenti sejenak dan hanya tertuju pada satu orang, yaitu wanita masa lalunya.
"Kenapa belakangan ini di pikiranku terus menerus muncul dia? Bukankah dia sudah lama ti4da dan meninggalkan segala kenangan indah dan duka?" Gumamnya dalam hati. Abrisam berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu, namun kenyataannya, hatinya terlalu terluka untuk bisa melupakan wanita tersebut.
Setiap saat, setiap detik, bayangan masa lalu yang penuh warna seperti terus menghantui hidupnya, membuatnya sulit untuk melangkah ke depan dan meraih kebahagiaan yang seharusnya bisa ia nikmati bersama keluarga tercinta.
"Apakah ini hukuman yang harus kuterima karena tak mampu menjaga dan mempertahankan cinta kita?" Abrisam menerawang dalam kegelapan hatinya, mencoba menemukan titik terang yang akan membawanya keluar dari labirin kenangan masa lalu dan mengarungi hidup baru yang penuh makna.
" Mengapa wajahmu begitu, Nak?" Rani merasa bingung dan khawatir melihat ekspresi putranya yang kelihatan kacau.
Dia melihat putranya menatap ke atas dengan mata kosong, sementara tangannya meremas-remas rambutnya. Suaminya tengah berjuang mempertahankan hidup di ruangan operasi, dan sekarang anaknya juga terlihat mengalami masalah.
"Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi pada keluarga ini?" batin Rani dengan rasa cemas, tangannya pun bergetar saat mengelus punggung putranya. Mungkin ia harus mencoba bertanya lagi, mencoba agar putranya berbicara dan meluapkan segala perasaan dan pikiran yang mengganggu hatinya.
"Nak, apa yang sebenarnya terjadi? Ayahmu tengah berjuang keras, kita harus saling mendukung. Jangan simpan sendiri apa yang kamu rasakan. Ceritakan saja pada mama." harap Rani dengan suara lembut.
Dia ingin memastikan agar anaknya bisa tetap kuat, meskipun mereka dihadapkan pada situasi yang sangat menantang. Sebagai seorang ibu, dia bertekad untuk menjadi pilar kekuatan keluarga di saat-suatu seperti ini, dan juga berharap suatu saat keluarga ini bisa melewati semua cobaan dan kembali bahagia seperti dulu.
Abrisam berusaha tersenyum di depan ibunya seolah-olah wajahnya nampak baik-baik saja, tapi Rani sebagai wanita yang melahirkannya tahu ditengah kegalauan putranya.
" Tunggu di sini ya, mama akan mencari makanan sebentar," ucap Rani, berusaha tersenyum.
Hatinya berkecamuk saat melihat wajah anaknya semakin lusuh.
"Mama duduk saja di sini, biarkan Abi yang beli makanan di luar. Lagian ini sudah larut malam," sahut Abrisam dengan nada khawatir.
Ia berusaha untuk meyakinkan ibunya.
"Tidak apa-apa, Nak. Mama pergi tidak sendirian, ada pengawal yang menemani mama. Jadi, jangan khawatir." ucap Rani mantap.
Tanpa menunggu jawaban dari putranya, ia melangkah dengan cepat, berusaha melawan rasa dingin yang menggigit di tengah larut malam. Langkahnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran.
Ketika masih tenggelam dalam pergolakan batin, salah satu pengawal kepercayaan suaminya, David, berkata dengan sopan, " Bagaimana kalau kami saja yang belikan makanan di luar, Nyonya."
Langkah Rani terhenti, mengangguk kecil lalu berbelok untuk kembali dimana putranya sedang menunggu.
" Baiklah," ucapnya terdengar lemah.
Ia pun kembali sendirian tanpa berucap sepatah kata pun.
Ketika melangkah lebih jauh, tiba-tiba mama Rani ketakutan memandang sekitarnya tampak asing, ia langsung mengambil gawainya lalu menelpon putranya Abrisam.
" Abi, kayaknya mama tersesat deh," ucapnya menelpon putranya.
" Mama ada di mana?" terdengar kekhawatiran Abrisam di balik telepon.
Sekilas, Rani mencoba mencari petunjuk, tanda jalan yang mungkin bisa membawanya kembali ke jalur yang benar. Rani tersenyum lega kala melihat suster yang mungkin bisa memberinya petunjuk.
" Jangan khawatir, mama akan bertanya sama suster." ucapnya kemudian menutup telepon.
Beberapa suster terlihat lalu lalang seperti mereka tengah sibuk, namun Rani memberanikan diri mendekati mereka.
" Permisi sus, saya ingin..?
Ucapannya terhenti kala matanya menangkap sosok wanita yang pernah dilihat," tapi dimana ?" Rani berusaha mengingat-ingat perempuan tersebut, mencoba menebak.
" Kalau tidak salah, wajahnya sangat mirip yang ada di ponsel Abrisam. Apakah benar dugaan ku ini ?" Kalau memang seperti itu, ternyata selama ini Abrisam membohongi kami semua. Tapi saya harus menyelidiki dulu." ucapnya dalam hati dengan wajah penuh kemarahan.