Jesika terpaksa menggantikan adik angkatnya untuk menikah dengan pria kaya, tapi mentalnya sakit. Namun, keterpaksaan itu membawa Jesi tahu akan seberapa tersiksanya kehidupan Jonathan dengan gangguan mental yang dia alami.
Mampukah Jesi menyembuhkan sakit mental sang suami? Lalu, bagaimana jika setelah sakit mental itu sembuh? Akankah Jona punya perasaan pada Jesi yang sudah menyembuhkannya? Atau, malah sebaliknya? Melupakan Jesi dan memilih menjauh. Temukan jawabannya di sini! Di Suamiku Sakit Mental.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 23
Berbeda halnya dengan Jesika, dia yang malahan tersenyum bahagia. Kini malah melebarkan senyumnya sehingga memperlihatkan gigi putih yang tersusun rapi pada Jonathan.
"Kamu ... sungguhan bilang mau keluar kamar hari ini, Jo?" tanya Jesika sambil terus mempertahankan senyumannya.
Pertanyaan itu langsung menyadarkan Jona. Dengan cepat, Jona mengalihkan pandangannya dari Jesika.
"Apa aku terlihat sedang main-main?"
"Tidak sih. Tapi, aku merasa ini adalah kata-kata yang sangat tidak nyata. Seperti sebuah mimpi di siang hari."
"Aku sudah bilang padamu, bukan? Aku ingin berusaha mengubah diri seperti yang kamu katakan. Aku ingin belajar melihat dunia luar lagi."
"Aku harap kamu bisa melakukan ini dengan baik, Jonathan. Semangat!" Jesi berucap penuh semangat dengan tangan yang dia kepalkan ke atas.
"Ayo!" Selanjutnya, tanpa menunggu Jona menjawab apa yang dia katakan lagi, Jesi langsung saja menarik Jona untuk keluar dari kamarnya.
Ketika pintu kamar itu terbuka, semua mata menatap tak percaya dengan orang yang muncul dari balik pintu tersebut. Jonathan, tuan muda yang tidak pernah keluar dari kamar setelah rumor sakit mental dia derita, kini muncul di depan mereka. Bagaimana mereka semua tidak syok melihat hal tersebut?
"Tu-- tuan ... tuan muda." Pak Dimas yang kebetulan melihat hal tersebut berucap dengan suara gelagapan karena tidak percaya dengan apa yang matanya lihat.
Sementara itu, beberapa dari pekerja yang lain langsung menuju ruangan nyonya mereka untuk mengatakan kabar bahagia ini. Tentu saja mama Jona kaget dengan kabar tersebut.
"Apa!? Jona keluar dari kamarnya?"
"Tidak. Ini tidak mungkin. Ini benar-benar tidak mungkin."
"Tapi ... itulah kenyataannya, Nyonya. Tuan muda keluar dari kamar dengan sendirinya."
"Sendiri? Tidak. Aku tidak percaya kalau dia keluar dari kamar sendirian."
Seketika, kedua asisten rumah tangga yang ada di situ pun saling bertukar pandang. Sebenarnya, apa yang mama Jona katakan itu benar. Jona memang tidak keluar dari kamar sendirian. Ada Jesi di belakangnya.
Tapi, mereka ingin bilang hal itu pada nyonya mereka. Namun takut, kalau apa yang mereka katakan akan di salah artikan oleh nyonya mereka yang memang tidak menyukai Jesi.
Tiba-tiba, seorang pelayan yang juga tidak menyukai Jesi datang. Dia pun langsung mengatakan kebenaran itu pada majikannya.
"Tuan muda memang tidak keluar dari kamar sendirian, Nyonya. Ada Jesika yang ikut bersama dengannya." Pelayan itu berucap lantang, membuat dua pelayan yang lain langsung menoleh.
Sementara itu, wajah kesal dari mama Jona tergambar dengan sangat jelas. Dia kesal dengan ulah Jesi yang dia anggap sangat berani.
"Kurang ajar. Sudah aku duga kalau dia yang bikin ulah lagi. Apa dia tidak tahu, Jona tidak bisa dipaksa?"
"Ikut aku! Akan aku beri dia pelajaran lagi. Kali ini, bukan hanya satu tamparan yang akan aku hadiahkan padanya. Tapi, akan aku buat dia tahu siapa dia yang sebenarnya," kata mama Jona dengan nada kesal sambil beranjak meninggalkan tempat dia berada sebelumnya.
Kedua pelayan yang ada di pihak Jesi merasa sedikit cemas. Mereka saling bertukar pandang selama beberapa saat. Sedangkan satu pelayan yang tidak suka dengan Jesi malah terlihat cukup senang. Dengan wajah ceria, pelayan itu langsung mengikuti mama Jona dari belakang.
"Gawat. Nona Jesi sedang berada dalam masalah besar lagi sekarang. Nyonya pasti akan memberikan hukuman yang berat pada nona. Karena sekarang, tuan besar sedang tidak ada di rumah. Tuan besar baru pulang nanti sore."
"Yah, kamu benar. Nona Jesi pasti akan dihukum oleh nyonya dengan leluasa. Karena tidak akan ada yang membelanya lagi."
"Bagaimana ini? Kita tidak bisa menolong nona itu. Kasihan dia."
"Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Kau tahu, jangankan buat nolong nona itu, nolong diri kita sendiri saja kita tidak bisa, bukan? Kita hanya seorang pekerja yang bekerja untuk mereka. Apa yang bisa kita lakukan selain mengikuti apa yang majikan kita katakan?"
Kedua pelayan itu terus saja bertukar pembicaraan. Mereka merasa cemas, tapi tidak bisa melakukan apapun. Yang bisa mereka lakukan hanyalah berharap, kalo Jesika tidak kenapa-napa.
Sementara itu, Jesi dan Jona sudah berada di depan pintu utama. Mereka akan keluar dari rumah menuju taman.
Baru juga Jesi ingin membuka pintu, sebuah suara tinggi langsung menghentikan niat Jesi tersebut. Suara yang datang dari arah belakang, yang pemiliknya sangat Jesi kenali dengan cukup baik. Siapa lagi kalau bukan nyonya besar, alias, mama mertuanya.
"Mau ke mana kalian? Mau kamu bawa ke mana putraku, hah!"
Jesi pun langsung menoleh. Berusaha tetap tenang meski hatinya sedang gugup. Jesika langsung mempersembahkan senyum manis untuk mama Jona.
"Mama. Aku ... akan bawa Jona ke taman. Dia .... "
"Bawa masuk kembali!" Mama Jona langsung memotong ucapan Jesi dengan lantang.