Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Vano, tidak menyadari di seling tawanya ponselnya berdering. Dia hanya fokus pada pembicaraan empat mata, tanpa memperhatikan ponselnya berdering sejak tadi.
Latifa sempat melirik ke arah ponsel Vano yang ada di depan meja mereka, memberanikan diri mengatakannya.
"Pak, maaf.., itu ponselnya bunyi. Kayaknya penting. Buk Dinar kayanya yang nelpon Bapak,"
"Ah benar kah? Maaf, saya gak sadar Fa.., hehe, sebentar."
Tangannya meraih ponsel dan mengeceknya. Tidak butuh waktu lama, dia langsung menelpon balik sang istri. Karena Dinar sudah mematikan panggilan.
Vano mencoba menghubungi, sudah dua kali namun tidak ada jawabannya. Sepertinya istrinya tengah sibuk. Dia meletakan kembali ponselnya.
"Nggak di jawab sama istri Bapak?" Tanya Latifa memastikan.
"Iya, Fa. Kayaknya dia sibuk."
"Nanti bisa coba hubungi Buk Dinar malam hari Pak. Siapa tau, gak sibuk."
"Iya.., Mungkin dia lagi berberes rumah."
Latifa tersenyum, "Buk Dinar kayaknya sangat sempurna kali. Pak Vano keliatan begitu mencintai istrinya."
"Siapa yang gak cinta sama istri sendiri? Kamu ini aneh-aneh aja. Istriku mungkin masih seumuran sama kamu, Fa. Usianya masih dua puluh tahun."
"Eh, Rupanya seumuran, Pak."
"Saya dulu jatuh hati sama Dinar karena dia gadis yang anggun dan manis, bahkan dulu nundukan pandangan kalau berpapasan sama laki-laki mana-pun saat itu, termasuk saya yang tampan ini. Nggak kayak perempuan kebanyakan. Tapi yang saya banggakan sekarang, istri saya jadi istri yang sangat baik." Pujinya untuk sang istri.
"Luar biasa sekali ya Pak, andai saya juga kelak bisa kayak Buk Dinar. Yang selalu anggun."
"Loh, kenapa harus kayak istri saya? Manusia itu kan beda-beda, Fa. Gak perlu jadi orang lain atau meniru. Jadilah diri sendiri, kamu ini gak kalah cantik dan manis kayak istri saya kok, kamu juga perempuan yang sangat baik." Jujurnya di ujung kalimat, dan itu sukses membuat jantung Latifah berdegup.
"Eh.., Iya Pak, maksud saya, kalau anggun banyak cowo yang suka. Contohnya Bapak kan? Boro-boro, saya deket sama cowok aja, udah minder duluan, kena ghosting saya hehe.., Kurang cantik kali ya saya?" Canda Latifa.
Vano menatap Latifa tersenyum, "Kamu cantik, siapa bilang kamu gak cantik? Kan udah saya bilang tadi, apa lagi saya liat kamu punya lesung pipi. Sangat cantik," Ujar Vano begitu dalam.
Deg!
Jantungnya merasa mulai tidak benar-benar aman. Bagaimana bisa dia menahan senyumnya ketika di tatap pria tampan seperti Vano?
Merasa canggung Latifa memutuskan untuk berdiri. Dia merapikan celananya untuk mengurangi salah tingkahnya, jangan sampai dia terbaca karena sudah salah tingkah.
Bram menatapnya yang berdiri, memicingkan mata, "Mau ke mana Fa?"
"Saya mau ke kamar sebentar, Pak. Saya kayaknya emm.., mau ngambil barang," Katanya dengan gugup.
"Loh kamu mau balik ke kamar? Kenapa gak sama-sama aja? Saya juga mau balik ke kamar," Kata Vano dengan lembut.
Vano berdiri dan tersenyum ke arah Latifah. "Ayo!" Latifa melongo mendengar apa yang Vano katakan.
Vano terkekeh dan menggerakan tangan di depan wajah Latifa. "Kenapa malah diam aja?
"Yuk!" Sambungnya. Latifa tertegun dan kemudian mengerjapkan mata,
"Iya Pak," Vano lebih dahulu pergi membuat Latifa mengeluh.
"Aduh.., Bukannya di hindarin, malah makin di dekatin, Tuhan.., jantungku terus aja berdetak. Aku rasanya mau ninggal!" Gumamnya dalam hati.
Perempuan itu sengaja pergi menghindari Vano, tapi kenapa Vano malah selalu berada di sekitarnya. Dengan terpaksa dia lalu masuk mengekori Vano, dan berada di satu lift yang sama.
Di dalam lift, hanya ada mereka berdua. Latifa diam sambil memegang kedua tangannya dengan gerogi. Sementara Vano nampak bermain ponselnya entah mengecek apa.
Sesekali wanita itu melirik diam-diam. Namun segera mengalihkan pandangannya, saat keduanya sedang dalam keheningan, lift bergoyang dan berbunyi suara kencang.
Dugh!
Latifa sontak refleks merosotkan tubuh berjongkok dan memejamkan mata ketakutan.
Vano yang menyadarinya menekan tombol lift, namun seolah tidak berfungsi.
"Kayaknya liftnya mati. Kita kejebak di dalam lift, Fa." Latifa yang mendengarnya semakin ketakutan. Dia mendadak merasakan serangan panik.
Tangannya memegang telinga menutupi, dengan gemetarnya. "Ta-takutt, hikss... takut..." Dadanya sesak semakin membuat wanita itu menjadi panik.
Dia memukul dadanya dengan kening berkerut, berusaha bernapas.
Vano yang melihatnya, dia merasa panik dan bergerak menghampiri wanita itu. Dia langsung meraih Latifa dalam pelukannya seraya menepuk punggungnya yang sudah basah dengan keringat.
"Semuanya bakal baik-baik aja, kamu gak usah khawatir dan gak perlu cemas." Vano berusaha menenangkan perempuan itu di dalam pelukannya.
...BERSAMBUNG, ...