Untuk mengisi waktu senggang diawal kuliah, Om Raka menawari Alfath untuk menjadi tutor anak salah satu temannya. Tanpa fikir panjang, Alfath langsung mengiyakan. Dia fikir anak yang akan dia ajar adalah anak kecil, tapi dugaannya salah. Yang menjadi muridnya, adalah siswi kelas 3 SMA.
Namanya Kimmy, gadis kelas 3 SMA yang lumayan badung. Selain malas belajar, dia juga bar-bar. Sudah berkali-kali ganti guru les karena tak kuat dengannya. Apakah hal yang sama juga akan terjadi pada Alfath?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Siang ini sepulang dari kampus, Alfath mendatangi rumah Kimmy, bukan untuk mengajar, melainkan mengambil laptopnya yang tertinggal. Dia sudah memutuskan untuk berhenti manjadi tutor Kimmy, gadis itu terlalu bermasalah.
Setelah Bi Nana membukakan pintu dan menyuruhnya masuk, Alfath langsung menuju ruang keluarga. Kemarin, dia meletakkan laptop di meja samping sofa, tapi sekarang, benda itu tidak ada disana.
"Kok gak ada ya, Bi. Hari itu aku taruh disini," Alfath celingukan.
"Mending Mas Al langsung tanya ke Non Kimmy aja, mungkin di simpen di dalam kamar. Non Kimmy lagi ada di dapur."
"Hah!" Alfath mengerukan kening. Bukankah ini hari senin, kenapa Kimmy ada di rumah? "Dia gak sekolah?"
Bi Nana menggeleng dengan raut sedih. "Non Kimmy mau dimasukin pesantren besok."
Mata Alfath membulat sempurna. Sekolah Kimmy hanya tinggal 1 semester, apa gak sayang kalau dipindahin? Dia yakin kalau pindah, pasti di suruh ngulang lagi tahun depan, alias Kimmy tak bisa lulus tahun ini.
Alfath mengikuti Bi Nana ke dapur. Disana, terlihat Kimmy sedang duduk di sebuah kursi sambil meletakkan kepala di atas meja, berbantal lengan.
"Kim."
Mendengar ada yang memanggilnya, Kimmy mengangkat kepalanya. Gadis dengan kedua mata bengkak parah itu, menatap Alfath.
Alfath mendekati Kimmy, duduk di kursi yang ada dihadapan gadis itu. Mereka dipisahkan oleh meja yang lumayan lebar.
"Maaf," ujar Kimmy pelan.
Melihat wajah sembab dengan mata bengkak, Alfath jadi kasihan. Padahal kemarin pengen sekali memaki gadis itu, tapi melihatnya seperti ini, dia hanya bisa menahan emosi.
"Apa alasan kamu memfitnah aku kayak kemarin? Kamu sudah merencanakan semuanyakan, ngasih obat tidur, lalu ngajak aku ke kamar kamu."
Kimmy tak mau menyangkal, dia mengangguk pelan.
"Jahat banget sih," desis Alfath.
"Aku cuma pengen kamu dipecat."
"Bukannya dipecat, tapi mau dikawinin!" celetuk Alfath.
"Itu di luar prediksi."
"Aku udah ngundurin diri, kamu puaskan sekarang?"
"Besok aku mau dikirim ke pesantren, kamu puaskan?" balasnya dengan nada lempeng, beda dengan Alfath yang menggebu-gebu. Air mata Kimmy meleleh dari sudut matanya. Teringat tentang pesantren, bikin dia tak bisa berhenti menangis. "Sekali lagi, aku minta maaf."
Alfath menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan. "Udah aku maafin, tapi jangan diulangi lagi."
Kimmy hanya menjawab dengan anggukan kepala lemah, seperti tak ada semangat hidup. Tak mau menggangu mereka mengobrol, Bi Nana meninggalkan dapur.
"Bersikaplah dewasa, jangan selalu bikin masalah kayak anak kecil."
Kimmy tersenyum simpul. "Buat apa jadi dewasa? Mau kecil atapun dewasa, tetap sama saja, aku tidak punya pilihan." Air matanya mengalir makin deras. "Aku tak bisa menjadi diri sendiri, apapun itu, selalu ditentukan. Aku tak lebih seperti boneka, yang harus selalu mengikuti kemauan pemiliknya."
"Jangan ngomong gitu. Orang tuamu pasti punya alasan kenapa mereka selalu memaksakan pilihannya padamu. Mereka ingin yang terbaik, Kim."
"Tapi ini hidup aku, Al," Kimmy makin sesenggukan. "Ini hidupku, tapi aku gak punya hak sama sekali menentukan apapun."
Kimmy kemudian menceritakan tentang masa kecilnya dan perihal cita-citanya. Kala itu, dia sedang naik pesawat, perjalanan menuju Lampung, tempat asal Mamanya.
"Mah, nanti kalau besar, Kim ingin jadi pramugari," ucap Kimmy yang kala itu masih duduk di bangku kelas 2 SD. Dia menatap kagum pada wanita cantik yang sedang memperagakan alat-alat keselamatan.
"Kamu akan jadi dokter kalau besar nanti, seperti Papa dan Mama," Pak Bram menyahuti.
Saat mulai masuk SMP, Kimmy kagum pada salah satu gurunya di sekolah, muncul keinginan, jika dia besar nanti, mau jadi guru. Tapi hal yang sama dia dapatkan.
"Enggak, kamu harus jadi dokter," lagi-lagi, papanya mematahkan cita-citanya.
Demikianpun saat dia mulai beranjak dewasa dan sedang mencari jati diri, dia tiba-tiba teringin menjadi influencer, dan seperti yang sudah-sudah, keinginannya ditentang keras oleh papanya. Tapi diusianya yang sudah menjelang dewasa, dia mulai jengah dengan doktrin harus jadi dokter. Dia mulai berontak, membangkang, dia lelah terus diatur.
Alfath mendengarkan dengan seksama, kasihan juga dia mendengar cerita Kimmy. Dia bersyukur, setidaknya kedua orang tuanya tidak pernah memaksakan kehendak padanya. Apapun pilihannya, asal itu tidak melenceng, pasti akan di dukung.
"Sekarang, mereka mau membuangku ke pesantren. Sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan sih, kenapa mereka gak sayang sama aku?"
"Mereka mau memasukkanmu ke pesantren, karena mereka sayang. Mereka ingin kamu menjadi pribadi yang lebih baik. Pergaulanmu cukup meresahkan, Kim."
Kimmy tersenyum kecut. "Kalau memang ingin aku menjadi lebih baik, kenapa bukan mereka sendiri yang melakukan? Kenapa harus membuangku ke pesantren? Kamu tahu Al, kedua orang tuaku sangat sibuk. Setiap hari, aku hanya bisa bertemu mereka saat malam. Bahkan dulu, saat mama masih jadi dokter umum, dia ada kerja shift malam. Siang hari saat dia di rumah, aku di sekolah, kami tak ada waktu untuk bertemu."
Alfath bisa memahami itu. Kakaknya dokter, dia tahu seperti apa jam kerja seorang dokter.
"Aku hanya punya sedikit waktu bersama orang tuaku, tapi sekarang, mereka mau merampas waktu yang hanya sedikit itu. Mereka gak sayang aku, Al, mereka gak ingin melihatku," Kimmy membungkam mulutnya sendiri tatkala tangisnya makin meledak.
"Gak ada orang tua yang gak sayang anaknya, Kim. Mereka sayang, mereka ingin yang terbaik buat kamu, tapi mungkin, cara mereka yang terlalu memaksakan kehendak yang salah. Dan cara kamu dalam mencari perhatian mereka juga salah."
Lama-lama disini, Alfath jadi ikutan baper. Enggak, dia gak boleh terlalu ikut campur urusan keluarga mereka.
"Kim, kamu tahu gak, laptop aku ada dimana?"
"Laptop? Ada di kamar aku. Bentar, aku suruh Bi Nana ambil." Kimmy memanggil asisten rumah tangganya tersebut, memintanya mengambil laptop Alfath yang ada di kamarnya.
Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Alfath langsung pamit pulang.
"Al, aku bisa nebeng kamu gak?"
"Mau kemana?"
"Minimarket deket sini. Aku pengen jajan sepuasnya sebelum masuk pesantren. Karena besok, belum tentu aku bisa makan makanan yang aku mau."
Alfath terkekeh pelan. "Kamu itu bukannya mau masuk penjara, Kim. Kamu itu masuk pesantren, disana tetep boleh makan."
"Tapi gak bisa keluar, gak bisa membeli makanan yang kita mau. Bagiku, disana sama aja dengan di penjara. Kata temanku, disana gak boleh bawa HP, gak boleh make up, gak boleh suka-suka keluar juga."
"Ya memang seperti itu aturan di pondok."
Kimmy yang baru berhenti menangis, kembali menangis. "Aku gak mau masuk pesantren," dia sudah membayangkan yang tidak-tidak disana.
"Awalnya mungkin berat, tapi lama-lama, pasti terbiasa."
Kimmy menggeleng kuat. "Enggak, aku tetep gak mau."
Alfath membuang nafas berat, garuk-garuk kepala karena tak tahu harus ngomong seperti apa. Dia tak pernah masuk pesantren, jadi tak seberapa tahu dengan aturan disana. "Jadi nebeng ke minimarket gak?"
"Iya, jadi," Kimmy mengangguk cepat lalu menyeka air matanya.
Dengan motor Alfath, keduanya menuju minimarket terdekat. Al tak mau menurunkan Kimmy begitu saja lalu pulang, dia ingin memastikan dulu gadis itu belanja lalu pulang.
"Gak usah ditunggu, kamu pulang aja," pinta Kimmy.
"Gak papa, aku tungguin kamu, aku anter pulang sekalian."
"Gak usah, aku masih mau duduk-duduk di depan minimarket, menikmati kebebasan terakhirku." Kimmy tersenyum getir.
"Ya udah, aku tungguin, lagian aku nganggur gak ada kerjaan."
Setelah memborong banyak makanan, keduanya duduk di kursi yang disediakan minimarket.
Kimmy membuka sebuah es krim cone lalu memakannya. Melihat itu, ditambah dengan udara yang memang panas, Alfath ikut makan es krim cone juga. Kebetulan tadi Kimmy mengambil dua setiap makanan yang dia beli.
"Kamu kemana malam itu?" Alfath masih sangat penasaran dengan apa yang terjadi saat dia diberi obat tidur.
"Club."
"Astaghfirullah," Alfath membuang nafas berat sambil mengusap dada. "Itu bukan tempat main anak seusia kamu, Kim."
"Aku tahu," Kimmy tersenyum kecut mengingat kejadian malam itu.
"Udah tahu, kenapa masih kesana? Kim, cowok kamu itu toxic, temen-teman kamu juga."
"Gak usah bawa-bawa mereka, aku yang salah."
Alfath berdecak kesal. "Masih aja ya, kamu belain cowok kamu. Percaya sama aku, Kim, dia gak beneran cinta sama kamu, dia hanya mau ngambil keuntungan dari kamu."
"Aku sayang sama dia."
Alfath terkekeh pelan mendengar ABG udah sok yes ngomongin cinta. Ah, tapi dia dulu juga gitu sih, cinta sekonyong-konyongnya ke Lula. Sampai satu hal yang bikin dia tertawa saat ingat, yaitu ketika dia dengan sok pahlawannya, mau bertanggung jawab dengan kehamilan Lula yang bukan dia pelakunya.
"Dia cinta pertama aku," ujar Kimmy.
"Cinta pertama itu gak penting, yang penting cinta terakhir. Belajar dulu yang bener, baru mikir cinta. Yakin deh, nanti saat kamu sudah lebih dewasa, kamu akan menertawakan kebohongan kamu saat ini. Eh, tunggu-tunggu."
"Ada apa?" Kimmy mengerutkan kening melihat ekspresi Alfath yang berubah serius.
"Malam itu, kamu gak sampai.... "
"Enggaklah," sahut Kimmy cepat. "Aku tahu batasan, berapa kali aku harus ngomong," dia mendelik kesal.
"Ya elah, galak banget sih."
Alfath tiba-tiba tertawa, membuat Kimmy mengerutkan kening, bertanya-tanya.
"Ada apa?"
Alfath mencondongkan tubuhnya ke arah Kimmy, mengusap sudut bibir gadis itu yang terdapat lelehan es krim. Saat mata keduanya saling bersitatap, jantung Alfath berdetak begitu cepat. Ada apa ini? Buru-buru Alfath menegakkan kembali duduknya. Untuk sesaat, kecanggungan terjadi di antara mereka, sampai dering ponsel membuyarkan lamunan keduanya.