Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepasang Jomblo
"Ada bekas cakaran lagi di sini..." Ujar Marlon sambil menyentuh wajah Zanya.
Sentuhan itu membuat jantung Zanya berdegub kencang, ia yakin wajahnya memerah. Bagaimana ini? Marlon pasti melihat perubahan warna kulitnya.
"Kamu demam?" Tanya Marlon.
"Ah, gak kok, Pak..." Jawab Zanya.
Pintu lift terbuka, Marlon keluar diikuti oleh Zanya. Mereka menuju kafetaria untuk makan siang, karena jam makan siang sudah selesai, kafetaria terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di sana, minum kopi sambil mengobrol, dan sepertinya mereka adalah tamu kantor, karena mereka tidak mengenali Marlon.
***
"Biar aku sendiri yang melihat lokasinya pekan depan." ujar Marlon.
Dwi memberitahu lokasi pantai tempat mereka akan membangun hotel. Menurut Dwi, di lokasi itu belum ada hotel bintang 5 disana, padahal banyak turis datang ke sana untuk berselancar. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk berkunjung ke pantai tersebut, karena ombak terbaik berlangsung pada bulan Juni sampai dengan Agustus, sehingga banyak peselancar yang berlibur ke pantai itu untuk menikmati ombaknya yang konon adalah salah satu ombak terbaik di dunia.
"Baik, Pak. Nanti kita pergi bersama." Jawab Dwi.
"Pak Dwi gak perlu ikut serta, sekarang aku punya 2 asisten, mereka berdua sudah kompeten, bisa menghandle semuanya. Tenang aja." Ujar Marlon.
Dwi tertawa kecil, kebiasaannya sebagai sekretaris Marlon membuat ia selalu khawatir pada Marlon. Namun ia senang, kini Marlon terlihat lebih baik, bahkan terlihat lebih bahagia. Mungkin karena dikelilingi oleh orang seusianya, pikir Dwi.
***
Sepekan kemudian.
Marlon, Zanya dan Radit pergi bersama dengan mengendarai mobil. Mereka tidak naik pesawat karena lokasi pantai yang mereka tuju cukup terpencil, sedangkan Marlon tidak mau memakai mobil selain mobilnya.
Dari jakarta ke kota terdekat pantai yang Marlon dan asistennya tuju itu harus menyeberangi selat sunda, perjalanan memakan waktu 6 jam karena kebetulan ombak sedang besar, sehingga kapal lama bersandar.
Mereka tiba di kota Bandar lampung pukul 16:00, Zanya segera memesan hotel untuk mereka beristirahat. Mereka tidak melanjutkan perjalanan, dan memilih beristirahat semalam karena dari kota ini ke pantai tanjung setia, pantai tujuan mereka itu, membutuhkan waktu tempuh sekitar 6 sampai 7 jam perjalanan lagi. Belum lagi perjalanan akan melintasi Taman Nasional Bukit Barisan yang katanya sangat indah, tentu sayang jika melewatkan kesempatan menikmati pemandangan indah itu.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan di pintu penghubung antara kamar Zanya dan Radit. Zanya pun membukanya.
"Za,Gue gak ikut makan di luar ya, gue mau pesan makanan hotel aja." Ujar Radit.
"Lu capek nyetir, ya?" tanya Zanya.
"Seharian ini gue gak chattingan sama cewek gue, jadi gue mau istirahat di hotel sambil teleponan sama cewek gue." Bisik Radit sambil cengar cengir.
Zanya mengerucutkan bibirnya. "Dasar bucin!" ujar Zanya. "Ya udah, bye...!"
"Bye...!" Radit lalu menutup kembali pintunya.
Zanya mematut diri di cermin, ia memakai baju terusan tanpa lengan berwarna krem,dan luaran kemeja tipis berwarna biru. Zanya meraih tasnya, dan berjalan ke pintu.
"Mana Radit?" tanya Marlon. Ternyata pria itu sudah keluar dari kamarnya.
"Katanya dia capek, Pak. Mau pesan makanan hotel aja." Jawab Zanya.
"Ya udah, kalau gitu kita berdua aja." Marlon berjalan mendahului Zanya.
Zanya mengulum senyum, apa katanya? Berdua? BERDUA? Zanya memekik dalam hati.
"Ayo, kita cari seblak!" Ajak Marlon. Ia ketagihan makan seblak setelah Zanya mengajaknya makan seblak.
Zanya menggeleng. "Seblak bisa kita makan kota mana aja, Pak. Bapak harus coba makanan khas kota ini." Jawab Zanya.
"Nice idea!" ujar Marlon.
***
"Apa ini? Sup ikan?" Marlon menunjuk mangkuk berisi ikan yang dimasak dengan kuah.
"Bisa dibilang begitu, tapi orang-orang disini menyebutnya pindang. Rasanya agak berbeda dengan sup biasanya, coba Anda cicipi." Zanya menyerahkan sendok kepada Marlon.
Marlon mencicipi kuahnya sedikit. "Wow! Rasanya unik, ya?" ujarnya sambil menyendok lagi.
"Sepertinya kamu tahu banyak tentang makanan, ya?" tanya Marlon sambil memindahkan sepotong ikan ke piringnya, meniru yang Zanya lakukan.
"Kebetulan Ibu teman saya adalah orang asli daerah ini, dulu saya sering ikut mudik ke sini bersama keluarga mereka." Jawab Zanya.
Marlon mengangguk-anggukkan kepala sambil terus makan.
***
"Kamu belum ngantuk, kan?" tanya Marlon.
"Belum, Pak." Jawab Zanya.
"Kita berkeliling melihat suasana kota ini, yuk!" ajak Marlon.
"Ide bagus, Pak. Supaya kita tahu seluk beluk kotanya juga, gak hanya pantainya." Jawab Zanya.
Mereka pun mengitari kota itu, menikmati suasana malam di kota yang baru kali ini Marlon kunjungi.
"Wah, sepertinya ada acara, ya. Penuh banget parkirannya sampai ke jalan." Marlon mengomentari banyaknya kendaraan yang parkir saat mereka melewati sebuah jalan menuju stadion.
"Ahh! Itu Lampung fair, Pak, pameran yang diadakan setahun sekali. Beruntung banget, kita kesini pas lagi ada acara ini. Ayo kita liat, Pak!" Zanya bersorak girang.
"Acara seperti apa itu?" tanya Marlon sambil mencari jalan masuk untuk parkir.
"Bisa dikatakan seperti sebuah festival pesta rakyat. Tapi, bukan sekedar pesta rakyat, disini setiap kabupaten/kota yang ada di Lampung harus memperlihatkan potensi yang dimilikinya." Jawab Zanya.
"Kalau ada Khaifa, pasti dia senang banget! Dia paling suka melihat pakaian adat Lampung." Zanya terlihat bahagia seperti anak kecil di ajak ke taman bermain, dan kebahagiaan itu menular kepada Marlon.
Marlon dan Zanya berkeliling menikmati festival itu, ada banyak makanan dan minuman dijajakan di sana. Zanya tertarik pada makanan berbentuk bulat, kecil-kecil, berwarna putih dan terdapat belahan di tengahnya dan dipanggang di atas arang. Zanya mendekati sang penjual, dan Marlon mengikutinya.
"Ini apa ya, Bu?" tanya Zanya.
"Ini pempek bakar, Dek. Mau beli, dek?" tanya sang penjual.
Zanya tampak ragu. "Coba satu dulu boleh gak, Bu? Soalnya saya belum pernah coba, hehe...!"
"Boleeh.... Bukan orang sini ya, Dek?" sang penjual memberikan kertas pembungkus makanan dan pempek bakar.
Zanya mengangguk sambil menerima pempek bakar itu. "Kita baru sampai sore tadi di sini, mau ke Krui, ke pantai tanjung setia." Jawab Zanya sambil tersenyum.
Sang penjual pempek tersenyum sambil menatap Marlon dan Zanya bergantian. "Mau bulan madu, ya?" tanyanya sambil senyum-senyum. "Serasi banget... Semoga langgeng, ya pernikahannya." lanjut sang penjual.
Zanya dan Marlon saling tatap, kemudian Marlon menatap sang penjual. "Tolong bungkus pempeknya 20, Bu." ujarnya salah tingkah.
Selesai membayar, Marlon dan Zanya melangkah pergi sambil mengulum senyum. Saat sedang berkeliling melihat berbagai rumah adat Lampung, Zanya melihat stand penyewaan baju adat untuk foto. Ia tertarik untuk mencoba dan berfoto dengan baju adat itu, kemudian mengirimkan fotonya kepada khaifa yang sangat menyukai baju adat ini.
"Pak, sebentar ya, saya mau coba itu." Tunjuk Zanya ke arah stand penyewaan baju adat itu. Marlon mengikuti Zanya dari belakang, lalu menunggu di dekat stand.
Marlon memperhatikan Zanya yang di bantu memakai pakaian adat oleh penjaga stand, gadis itu terlihat cantik memakai siger. Marlon melihat Zanya kesusahan dengan tasnya, ia pun berinisiatif membantu memegang tasnya sementara Zanya berfoto.
Marlon mendekati Zanya. "Sini, aku pegang tas kamu." ujarnya sambil mengambil tas Zanya dari tangan gadis itu.
Penjaga stand menatap Marlon, lalu menatap Zanya, dan kembali menatap Marlon. "Kak, ayo foto sekalian, sini saya bantu pakaikan baju adatnya. Ini baju pengantin Lampung pepadun kak, siapa tau nanti kalau kakak berdua nikah pengen coba pakai baju pengantin Lampung." ujar penjaga stand pada Marlon.
"Tapi..." Ucapan Marlon menggantung, ia melihat penjaga stand sudah mengambilkan pakaian adat pria untuknya, lengkap dengan penutup kepala yang disebut siger.
Seorang penjaga stand yang satu membantu Marlon memakaikan pakaian adat, dan seorang lagi membantu memegang tas Zanya yang tadinya Marlon pegang. Setelah selesai membantu Marlon memakai baju adat, penjaga stand itu memberi aba-aba untuk Zanya dan Marlon berfoto. "Ayo kak, lihat ke sini, senyum... Satu, dua, tiiga..!"
Marlon tersenyum kikuk, ia merasa seperti terjebak dalam situasi memalukan. Sedangkan Zanya merasa serba salah, ia merasa bersalah pada Marlon karena telah menyeret bosnya itu ke dalam situasi memalukan ini. Dan mereka kini terlihat seperti sepasang pengantin yang malu-malu.
Selesai berfoto dengan baju adat, Zanya dan Marlon pun sepakat untuk kembali ke hotel. Dalam hati mereka takut terjebak dalam situasi canggung seperti yang terjadi beberapa kali malam ini.
Ponsel Marlon berdering saat ia dan Zanya sedang berjalan di lorong kamar hotel. Marlon melihat nomor si penelepon di layar ponselnya, lalu menghela napas, ia memijit pelipisnya dan terlihat sangat frustasi. Ia pun mengangkat telepon itu. "Hallo...!"