Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Aku membawa nampan berisi 2 mangkuk mie dan teh hangat ke ruang tamu. Sekalipun Mas Agam mengatakan tidak masalah jika berduaan di dalam rumah, tapi tetap saja aku merasa takut dan canggung. Itu sebabnya aku mengajaknya ke ruang tamu, tentu saja dengan pintu yang terbuka lebar. Walaupun tidak akan ada orang yang datang ataupun lewat, setidaknya membuka pintu lebar-lebar akan menghindari hal-hal yang tidak di inginkan.
Kami sama-sama dalam keadaan terluka dan kecewa, apa lagi hubungan Mas Agam dan Mbak Karina tidak harmonis. Aku hanya takut timbul perasaan di antara kami berdua. Tidak masalah jika perasaan itu hanya timbul dari hati, karna bisa di bicarakan baik-baik. Tapi jika timbul perasaan lain dari wanita dan pria dewasa seperti kami, sudah pasti itu akan menakutkan karna logika pun akan kalah.
"Mau pakai saos nggak Mas.?" Tawar ku seraya menyodorkan semangkuk mie instan padanya, lengkap dengan sayur, telur, bakso dan dumpling.
"Boleh,,"
Aku langsung beranjak untuk mengambil saos cabe di dapur.
"Ini saosnya pedes banget, jangan banyak-banyak Mas, takut sakit perut." Ku sodorkan botol saos pada Mas Agam. Dia hanya diam saja dan mengambil saos dari tanganku. Sejak tadi aku perhatikan Mas Agam terus menatapku lekat namun sulit untuk di artikan tatapan itu.
"Dirga benar-benar bodoh. Menyia-nyiakan kamu pasti akan membuatnya menyesal seumur hidup." Nada bicara Mas Agam penuh penekanan. Aku bisa merasakan ada kekesalan sekaligus cibiran untuk Mas Dirga.
"Bia nggak mau bahas itu Mas." Aku melarang Mas Agam untuk berhenti membicarakan soal Mas Dirga. Mendengar namanya hanya membuatku sakit karna ingat dengan perselingkuhannya.
"Maaf Bi,, aku nggak bermaksud bikin kamu badmood." Mas Agam menatap teduh. Dia benar-benar pria yang baik dengan pesona yang mengagumkan. Terkadang aku heran dengan Mbak Karina. Entah kenapa dia lebih memilih pria yang justru di bawah Mas Agam dari segi fisik.
Dari wajah pria itu saja aku sudah bisa menebak kalau pria itu bukan pria baik-baik.
"Ngomong-ngomong, kamu nggak ada rencana buat kerja.?"
"Di kantor lagi butuh orang buat di tempatkan di bagian divisi keuangan." Tuturnya dengan tangan yang mulai mengaduk mie setelah dia menuangkan saos cabe ke dalamnya.
Dengan cepat aku menggelengkan kepala. Dalam keadaan rumah tanggaku yang seperti ini dan perasaanku yang hancur, sedikitpun aku tidak berfikir untuk bekerja. Lagipula Mas Dirga juga tidak akan mungkin mengijinkan ku bekerja.
"Kenapa.?" Mas Agama menatap penasaran.
"Bia takut nggak bisa kerja maksimal dalam keadaan seperti ini." Mengalihkan pandangan, tatapan Mas Agam membuatku terlihat sangat menyedihkan karna dia menatap iba.
"Justru dengan keadaan kamu saat ini, harusnya kamu mencari cara buat berdiri di kaki sendiri, Bia." Ucapnya tegas.
"Jujur, aku juga tidak suka wanita karier yang terlalu sibuk sampai melupakan tugasnya sebagai seorang istri. Dan aku rasa bukan cuma aku aja, tapi semua suami juga merasa begitu."
"Tapi kondisi kamu berbeda Bia. Bahkan kamu sendiri berfikir buat lepas dari Dirga. Lalu kamu mau bertahan hidup pakai apa setelah itu.?"
Nasehat dan pencerahan Mas Agam sedikit membuka pikiranku. Apa yang di katakan oleh Mas Agam memang benar adanya.
Di saat suami sudah berulah dengan bermain wanita, maka kita sebagai istri di tuntut untuk mandiri dan berdiri di kaki sendiri sebelum akhirnya menentukan keputusan yang tepat.
Setidaknya kalau memilih untuk berpisah, kita masih bisa menghidupi diri sendiri.
"Iya, nanti Bia pikirin lagi." Sepertinya aku memang harus berjuang mulai detik ini, tak boleh lagi mengandalkan dan bergantung hidup pada Mas Dirga. Meski sikap dan perhatiannya tak berubah sama sekali, tapi siapa yang bisa menebak jika suatu saat Mas Dirga akan membuangku demi wanita itu.
"Jangan kelamaan mikirnya, nanti keburu di tempatin orang lain." Ujarnya.
Aku mengangguk paham.
"Cepetan makannya Mas, abis itu pulang ya." Usir ku tanpa canggung. Lagipula memang tidak baik terlalu lama berduaan seperti ini di dalam rumah.
"Takut ketahuan sama Dirga ya.?" Ujarnya dengan senyum tipis yang tampak meledek.
Aku kebingungan untuk menjawab. Sejujurnya memang takut di pergoki oleh Mas Dirga saat aku dan Mas Agam sedang berduaan di dalam rumah seperti ini. Meskipun hanya makan mie bersama, tapi jika Mas Dirga melihatnya, dia pasti akan berfikir kami memiliki hubungan di belakangnya.
Aku tidak mau hal itu sampai terjadi.
Karna Mas Dirga bisa saja memakai alasan ini untuk mengakhiri pernikahan kami. Sedangkan aku belum membagi rasa sakit hatiku padanya.
"Buruan makannya Mas. Kok sengaja di lama-lamain sih.?!" Aku mencebik kesal dan reflek memukul lengan Mas Agam. Bisa-bisanya dia makan dengan santai dan pelan, alhasil mie miliknya tak kunjung habis. Sedangkan aku sudah menghabiskannya sejak tadi.
"Mienya terlalu enak Bi, sayang kalau makannya buru-buru." Jawabnya acuh karna tak memperdulikan teguranku.
"Ya udah kalau gitu bawa pulang aja sana." Seru ku. Secara tidak langsung aku mengusir Mas Agam untuk kesekian kalinya. Semoga saja kali ini dia mengerti dan bisa secepatnya pulang.
"Bawa pulang yang mana.?" Tanyanya sembari menatapku penuh arti.
Benar-benar pria yang satu ini, di balik sikapnya yang santai dan terkesan dingin, ada seribu satu kalimat yang bisa membuat otakku berfikir macam-macam.
"Iihh,, ngeselin banget sih.!" Mendaratkan pukulan berkali-kali di lengan besar Mas Agam, pria itu hanya tersenyum simpul tanpa mencegahku.
"Udah sana, cepetan pulang." Aku mengangkat mangkuk milik Mas Agam dan menarik tangannya untuk berdiri.
"Kamu nggak mau ikut ke rumah.?"
"Nggak enak tidur sendirian hujan-hujan begini." Ujarnya.
Sontak aku membulatkan mata. Sepertinya ada yang salah dengan otak Mas Agam.
"Kayaknya Mas terlalu kecapean deh, dari tadi ngelantur terus ngomongnya. Mendingan pulang, habisin mienya terus istirahat." Aku mendorong Mas Dirga keluar dari rumah dan memberikan mangkuk mie miliknya.
"Bukan kecapean, cuma butuh selimut aja." Jawabnya acuh.
"Makasih Mienya." Mas Agam bergegas pulang ke rumahnya, tapi lagi-lagi ucapannya membuatku berfikir keras.
Tiba-tiba bicara soal selimut. Selimut apa yang dia maksud sampai harus mengatakannya padaku.
Jangan sampai Mas Agam berfikir selimut tetangga. Kalau begitu, apa bedanya dengan para pengkhianat itu.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong