Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haki dan Luvi Memulai Langkah Perjuangan
Setelah pertemuan dengan Olivia, Haki dan Luvi memutuskan untuk mengambil peran lebih besar dalam pergerakan mereka. Dengan jaringan baru yang mulai terbentuk, mereka berdua menyadari bahwa perjuangan ini tidak lagi hanya tentang satu kampus. Pergerakan ini harus menyebar, dan masing-masing dari mereka memiliki tugas yang sangat spesifik.
Haki, dengan karismanya yang kuat dan semangat yang tidak pernah padam, mengambil tugas untuk memperluas jaringan mahasiswa ke kampus-kampus lain. Ia tahu bahwa semakin banyak kampus yang bergabung, semakin kuat perlawanan mereka. Namun, tugas ini tidak mudah. Haki harus bergerak hati-hati, memastikan bahwa setiap mahasiswa yang ia rekrut adalah orang yang bisa dipercaya.
Sore itu, Haki memutuskan untuk mengunjungi salah satu kampus di kota sebelah. Ia sudah mendapatkan kontak dari seorang mahasiswa di sana, seorang aktivis yang pernah terlibat dalam beberapa aksi protes kecil. Nama mahasiswa itu adalah Arman, dan Haki tahu bahwa jika Arman setuju untuk bergabung, itu akan menjadi pintu masuk ke jaringan mahasiswa di kampus tersebut.
Saat bertemu di sebuah kafe kecil dekat kampus, Haki langsung to the point. “Gue tahu lo udah lama nggak suka sama pemerintah, Arman. Tapi sekarang kita punya pergerakan yang lebih besar, dan gue yakin lo bakal cocok di dalamnya.”
Arman, seorang mahasiswa Teknik yang tangguh, menatap Haki dengan penuh rasa penasaran. “Gue udah denger soal lo. Gue tau lo salah satu yang terlibat di kerusuhan kemarin. Tapi gue nggak mau sembarangan masuk ke dalam pergerakan tanpa tahu apa rencananya.”
Haki mengerti keraguan itu. Ia menjelaskan dengan detail rencana mereka—bagaimana mereka sudah mulai membentuk jaringan di berbagai kampus, bagaimana mereka bergerak secara diam-diam agar tidak mudah terdeteksi pemerintah, dan bagaimana mereka bertujuan untuk menggulingkan sistem yang curang ini.
“Lo nggak harus terlibat di setiap aksi. Kita cuma butuh orang yang bisa ngegerakin mahasiswa di kampus ini, yang bisa nyebarin informasi tanpa harus bikin keributan besar,” kata Haki, meyakinkan Arman.
Arman terdiam sejenak, memikirkan tawaran Haki. “Gue suka rencana lo,” akhirnya dia berkata. “Tapi kita harus hati-hati. Gue nggak mau kampus gue jadi target langsung pemerintah.”
“Gue ngerti. Kita main di bawah radar. Lo nggak akan langsung terjun ke depan. Kita gerakin mahasiswa pelan-pelan, bikin mereka sadar soal ketidakadilan yang terjadi, tapi tanpa bikin mereka langsung terlibat kerusuhan. Yang penting, kita bangun kesadaran dulu.”
Arman mengangguk, dan akhirnya setuju untuk bergabung. Dengan begitu, Haki berhasil mendapatkan dukungan pertama di luar kampus mereka. Ini adalah langkah kecil, tapi penting, untuk memperluas jaringan mereka ke seluruh negeri. Haki tahu bahwa ini baru permulaan, dan dia harus terus bekerja keras untuk merekrut lebih banyak mahasiswa, satu per satu, hingga pergerakan ini menjadi besar.
Sementara Haki sibuk di lapangan, Luvi kembali fokus pada dunia digital, tugas yang ia ambil dengan penuh keyakinan. Setelah sebelumnya konten-kontennya diblokir oleh pemerintah, Luvi belajar dari pengalaman tersebut. Kini, dengan dukungan Olivia dan sistem keamanan digital yang dibangun Dito, ia mulai menyusun strategi baru untuk melawan pemerintah lewat konten-konten yang lebih halus namun berdampak.
Luvi tahu bahwa ia tidak bisa lagi membuat konten yang terlalu terang-terangan menyerang pemerintah. Sebaliknya, ia harus membuat konten yang lebih subtil, yang menyindir sistem tanpa membuatnya terlihat terlalu frontal. Di dalam apartemennya, Luvi duduk di depan laptop, memikirkan konsep video baru yang bisa ia buat.
“Gue harus bikin orang mikir, tapi tanpa langsung ngeh kalau ini soal politik,” gumam Luvi sambil menulis beberapa ide di buku catatannya. Ia memutuskan untuk membuat video yang membahas tentang generasi muda yang kehilangan masa depan akibat sistem yang tidak adil—sebuah sindiran tajam terhadap kebijakan pemerintah, tapi disampaikan dengan cara yang lebih halus.
Setelah beberapa jam merekam dan mengedit, Luvi akhirnya siap untuk mengunggah video pertamanya. Ia tahu risikonya—pemerintah mungkin akan mencoba menurunkan video ini lagi—tapi kali ini, Luvi sudah siap. Dengan bantuan Dito, ia menggunakan jalur-jalur alternatif yang lebih aman untuk menyebarkan kontennya. Ia juga meminta teman-temannya di kampus lain untuk membantu menyebarkan video itu, memastikan bahwa pesannya tidak hanya terhenti di satu tempat.
Saat video itu mulai mendapatkan perhatian, Luvi merasa puas. Komentar-komentar yang masuk menunjukkan bahwa orang-orang mulai menyadari pesan tersembunyi dalam kontennya. “Gue suka banget videonya, Luvi. Ini bener-bener ngena, tapi nggak langsung menyerang,” tulis salah satu penonton. Luvi tersenyum. Ini adalah cara baru untuk melawan, cara yang lebih cerdik dan lebih sulit dilawan oleh pemerintah.
“Ini baru permulaan,” gumam Luvi sambil menatap layar laptopnya. Ia tahu bahwa perjuangan digital ini akan panjang, tapi ia siap untuk terus berjuang di jalur yang ia pilih.
Dengan Haki yang bergerak di lapangan dan Luvi yang berjuang di dunia digital, perjuangan mereka mulai terorganisir dengan lebih baik. Mereka masing-masing menjalankan peran penting dalam pergerakan ini, dan langkah-langkah kecil yang mereka ambil kini perlahan membangun sesuatu yang lebih besar.
---
Haki: Tantangan di Lapangan
Seiring berjalannya waktu, tugas Haki menjadi semakin berat. Memperluas jaringan ke kampus-kampus lain ternyata lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Setiap kampus memiliki dinamika dan tantangan tersendiri, dan tidak semua mahasiswa mau terlibat dalam pergerakan bawah tanah yang penuh risiko ini.
Pagi itu, Haki sedang duduk di dalam sebuah kafe kecil di kampus ketiga yang ia kunjungi dalam dua minggu terakhir. Setelah sukses meyakinkan Arman di kampus sebelumnya, ia merasa percaya diri. Namun, di kampus ini, tidak semuanya berjalan lancar. Haki bertemu dengan sekelompok mahasiswa yang lebih skeptis, dan pertemuan pertama mereka berlangsung dengan tegang.
“Kita tahu lo terlibat di kerusuhan itu,” kata salah satu mahasiswa dengan nada dingin. “Dan sekarang lo minta kita buat ikut dalam pergerakan lo? Lo tau nggak kalau nama lo udah buruk di mata publik?”
Haki menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. “Gue ngerti kenapa lo ragu. Tapi kita bukan cuma bikin kerusuhan. Kita berjuang buat perubahan nyata. Kalau kita terus diem dan nggak ngelakuin apa-apa, rezim ini bakal terus bertahan.”
Seorang mahasiswa lain, seorang perempuan yang terlihat tegas, menyela. “Tapi kalau kita ikut, kita bisa kena masalah besar. Gue nggak mau kampus ini jadi target polisi atau pemerintah. Lagipula, gimana gue tau lo nggak bakal ninggalin kita begitu keadaan jadi buruk?”
Haki tahu bahwa ini adalah momen krusial. Jika ia gagal meyakinkan mereka, upaya memperluas jaringan bisa terhenti. “Gue ngerti lo takut. Kita semua punya sesuatu yang dipertaruhkan. Gue sendiri udah kehilangan pekerjaan karena ini. Tapi kalau kita semua takut, nggak akan ada yang berubah. Lo mungkin pikir gue cuma mau ajak lo turun ke jalan buat teriak-teriak, tapi kita punya strategi. Ini lebih dari sekadar protes di jalan.”
Setelah mendengar penjelasan Haki, ada keheningan di antara mahasiswa-mahasiswa itu. Mereka saling berpandangan, masih belum sepenuhnya yakin. Akhirnya, mahasiswa perempuan yang tadi menyela kembali berbicara. “Kalau lo bener-bener punya strategi dan nggak cuma mau bikin kerusuhan, gue bisa pertimbangin ini. Tapi kita nggak mau langsung terjun ke dalam. Gue harus lihat dulu gimana cara lo bergerak.”
Haki tersenyum kecil. Ia tahu ini belum berarti kemenangan penuh, tapi setidaknya ia berhasil membuka pintu. “Gue paham. Gue bakal kasih lo waktu buat mikir, tapi gue janji, kita punya rencana yang lebih besar dari apa yang lo liat di berita.”
Setelah pertemuan itu, Haki merasa sedikit lega meskipun perjuangan di lapangan semakin berat. Ia tahu bahwa semakin banyak kampus yang terlibat, semakin besar risiko yang mereka hadapi. Tapi ia juga tahu bahwa setiap kampus yang ia rekrut akan menjadi pondasi penting untuk pergerakan nasional yang mereka bangun.
Luvi: Tantangan di Dunia Digital
Sementara itu, Luvi terus berjuang di dunia digital. Setiap kali ia mengunggah video baru, ia harus memastikan bahwa kontennya tidak terlalu mudah diblokir oleh pemerintah. Ia kini menggunakan akun-akun anonim dan jalur distribusi yang lebih tersembunyi. Namun, tantangan di dunia digital ternyata lebih sulit dari yang ia duga.
Malam itu, Luvi duduk di depan laptopnya dengan rasa frustrasi. Salah satu videonya baru saja dihapus dari platform yang biasanya aman, dan ia kehilangan banyak pengikut. “Gue nggak ngerti kenapa bisa gini,” gumamnya sambil menatap layar yang menampilkan pesan blokir.
Ia segera menghubungi Dito melalui pesan. “Dit, video gue dihapus lagi. Gimana ini bisa terjadi? Bukannya kita udah pake jalur aman?”
Dito yang berada di apartemen lain, segera membalas, “Gue juga nggak tau pasti, tapi gue lagi coba cari tahu. Mungkin ada perubahan di sistem keamanan mereka. Kita harus hati-hati banget sekarang. Pemerintah udah mulai ningkatin pengawasan di platform-platform ini.”
Luvi merasa frustrasi, tapi ia tidak mau menyerah. Ia tahu bahwa perjuangannya di dunia digital adalah salah satu senjata terkuat yang mereka miliki. Tanpa media sosial, mereka akan kesulitan menjangkau mahasiswa di kampus-kampus lain dan menyebarkan pesan-pesan perlawanan.
Setelah berpikir sejenak, Luvi memutuskan untuk mengubah strategi. Alih-alih mengandalkan satu platform, ia memutuskan untuk menyebarkan videonya di berbagai platform kecil yang kurang diawasi. Ia juga meminta bantuan dari beberapa teman untuk membuat akun-akun cadangan, memastikan bahwa setiap kali videonya diblokir, ada salinan yang tetap tersebar.
Saat ia kembali mengunggah video baru, Luvi merasa ada sedikit harapan. Meski perlawanan digitalnya semakin sulit, ia tidak akan mundur. Konten terbarunya mendapat perhatian lagi, dan kali ini, ia berhasil menghindari blokir lebih lama dari sebelumnya. Namun, ia tahu ini hanya langkah kecil, dan tantangan akan terus bertambah.
“Kalau mereka bisa blokir satu video, gue bakal unggah seratus video lainnya,” gumam Luvi sambil tersenyum tipis. Baginya, perlawanan ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini soal terus bergerak maju, meski jalan di depannya penuh rintangan.
Malam itu, Haki dan Luvi kembali bertukar kabar melalui pesan singkat. Meskipun mereka bergerak di jalur yang berbeda—Haki di lapangan dan Luvi di dunia digital—mereka tahu bahwa perjuangan ini harus dilakukan bersama. Keduanya saling menguatkan, menyadari bahwa setiap langkah yang mereka ambil, sekecil apa pun, adalah bagian dari perjuangan besar yang akan menentukan masa depan mereka dan generasi berikutnya.
---