Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Bukan Pelakor
Bukan main marahnya Zain, terlebih lagi kala menyadari kening Nadin sampai tergores lantaran Jessica mendorongnya memang sekuat tenaga. Jangan ditanya sakit atau tidak, jelas saja iya. Zain berdiri di depan sang istri, dia khawatir wanita itu akan kembali menyerang istrinya tanpa terduga.
Nadin yang tidak tahu apa-apa, hanya menunduk di belakang sang suami karena jujur dia takut juga. Zain menggenggam erat jemari Nadin, sudah pasti hal itu dia lakukan agar sang istri tidak melarikan diri.
"Jangan halangi aku, Zain ... izinkan aku bicara padanya!!" Benar saja dugaan Zain, setelah dirinya pasang badan untuk sang istri, Jessica naik pitam.
Dia berusaha untuk kembali menyakiti Nadin, nekat mencari celah, tapi jelas saja Zain tidak akan tinggal diam. "Untuk apa lagi? Denganku saja sudah cukup, Jes."
"Ya, Tuhan Zain!! Kamu gila? Pernikahan kita tinggal hitungan bulan dan kamu benar-benar menggagalkannya hanya demi dia?" Jessica menatap Zain tak percaya.
Sekian lama Zain tidak pernah berulah, dia yakin pria itu sangat mencintainya. Namum, beberapa waktu lalu tanpa pernah Jessica duga, Zain memutuskan hubungan mereka dengan alasan yang tak bisa diterima akal.
Bukan karena bosan, bukan pula karena tidak cinta, tapi dia memutuskan hubungan lantaran sudah menikah. Dengan siapa, Zain memang tidak menjelaskan secara mendalam, dan hal itulah yang membuat Jessica pulang.
Dia ingin memastikan kebenaran terkait ucapan Zain. Dan benar, setelah membuntuti Zain dari kampusnya, malam ini Jessica memiliki kesempatan untuk memberi pelajaran pada wanita yang dia duga sebagai perebut calon suaminya.
Awalnya dia pikir Zain akan tampak ketakutan, bergetar dan merasa bersalah setelah menangkap basah dirinya. Sialnya, pria itu justru marah besar dan lebih memilih menenangkan Nadin di hadapan Jessica.
"Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya ... hubungan kita sudah selesai, kamu bisa bebas dengan pilihanmu begitu juga dengan diriku."
"What the_ Zain! Lihat aku baik-baik, Sayang ... kurangnya dimana sampai kamu lebih memilih wanita itu? Hah?"
Jessica tidak ada kurangnya, secara fisik dia mendekati kata sempurna. Hanya saja, sejak mengenal Nadin, Zain merasa yang justru dia butuhkan sebagai pendamping adalah Nadin, bukan Jessica yang justru kerap membuat Zain merasa tak berguna.
Tak berharga, bahkan beberapa kali kerap tidak dipedulikan hingga membuatnya bak pria kurang kasih sayang. Selama ini Jessica juga lebih memilih dunianya, dia termasuk wanita super mandiri yang bahkan merasa terganggu kala Zain memberikan perhatian kecil padanya.
"Apa karena aku minta tunda sampai kamu nikah dengan wanita lain? Hm? Kalau iya, aku akan minta papa majukan pernikahan kita, Sayang, besok pun aku bersedia ... tapi please tinggalkan wanita itu," pinta Jessica penuh harap, dia juga menyeka air matanya kasar.
Sayang, walau sudah sampai mengeluarkan air mata sekalipun, Zain tetap pada keputusan awalnya. "Tidak perlu, Jessica ... dengan alasan apapun aku tidak akan meninggalkan istriku."
Jessica berdecih mendengar ucapan Zain, sama sekali tidak dia duga jika seorang Zain akan setega itu pada dirinya. Pandangannya beralih pada sosok wanita yang tak bisa Jessica lihat jelasnya karena sejak tadi selalu berada di dibelakang Zain.
"Zain-Zain ... ternyata kamu tidak ada bedanya seperti pria lain ya? Pelakornya selalu di bawah standar, miskin, mur_"
"Sebelum kamu terus bicara ada baiknya dengar penjelasanku baik-baik. Nadin bukan pelakor!!" sentak Zain semarah itu hanya karena satu kata yang tertuju pada sang istri.
"Nyatanya dia pelakor, cuma lebih sopan saja, bersembunyi di balik pakaian tertutup padahal ya murrahan juga," timpal Jessica tak mau kalah, jelas Zain juga demikian.
"Jessica tutup mulutmu!!"
Mana mungkin Zain diam saja, sekalipun Nadin tidak memiliki keberanian untuk membela diri, tapi sebagai suami Zain jelas harus bertindak tegas di sini. "Kata pelakor itu tertuju untuk seseorang yang dengan sengaja datang sebagai orang ketiga dan merebut suami orang, dan Nadin tidak begitu."
"Kenapa aku bilang tidak? Pertama aku belum menjadi suamimu, kedua dia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk merebutku dari siapapun dan ketiga!! Yang paling penting dan perlu kamu ketahui adalah, aku yang menginginkannya menjadi istriku, paham sampai sini?"
Panjang lebar Zain bicara, Nadin yang berada di belakangnya sampai menganga, apalagi Jessica. Wanita itu terdiam, bungkam dan tidak bisa berbuat apa-apa hingga ketika Zain berlalu wanita itu lemas dan terduduk ke lantai lantaran merasa bak kehilangan separuh jiwanya.
"Semudah itu kamu membuangku, Zain?"
.
.
Selepas pertemuannya dengan Jessica, raut wajah Nadin tampak tak terbaca. Tidak lagi banyak bicara, bahkan ketika tiba di kost juga masuk lebih dulu tanpa mengatakan apa-apa.
Zain yang paham istrinya mungkin terluka juga tidak punya pilihan lain selain memberikan sang istri waktu untuk menenangkan diri. Sementara dirinya kini menata barang belanjaan di rak yang Zain yakini memang itu tempatnya.
Mereka baru saja hendak dekat, tapi sialnya Jessica tiba-tiba datang dan merusak suasana hati Nadin. Sungguh hal itu masih menjadi penyesalan Zain, dia menatap Nadin yang kini keluar kamar mandi dengan langkah tak biasa, bisa disimpulkan dia masih marah.
Langkahnya tertuju ke lemari pakaian, dan yang dia gunakan tetap daster penguji iman yang sempat membuat kepala Zain nyut-nyutan. Akan tetapi, untuk saat ini tidak ada waktu untuk mempermasalahkan itu, karena sang istri kini sudah naik ke atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
Cukup lama Zain biarkan, hening mencekam. Selimut di tubuh Nadin kian tertutup rapat, terlebih ketika Zain turut naik ke atas tempat tidur. Sudah jelas tujuannya naik bukan untuk beristirahat, melainkan mencoba bicara pada sang istri.
"Ehm, aku tahu kamu belum tidur."
Begitu kalimat awal yang Zain ucapkan kala hendak memulai pembicaraan. Dapat dia pastikan bahwa Nadin memang belum tidur, terlihat jelas dari gerak-gerik jempol kakinya yang keluar sedikit.
"Sebelumnya maaf, aku tidak terbuka tentang privasiku ... Jessica memang tunanganku, tapi itu dulu. Setelah kita menikah, aku memutuskan hubungan kami karena bagiku, sebuah pernikah_"
Penjelasan Zain terhenti, bukan karena dia ragu untuk bicara, tapi isak tangis tertahan dari Nadin terdengar. Sontak saja, Zain mendekat dan menyingkap selimutnya, sedikit sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.
Dia menangis, Nadin menutup wajahnya kala Zain berhasil menyingkap selimut yang sejak tadi menutupinya. Malu karena dilihat, salah-satu tangannya berusaha meraih kembali selimut tersebut, sialnya Zain dengan tanpa merasa bersalah menyingkirkan selimut itu dengan kakinya hingga tergeletak ke lantai begitu saja.
Saat itulah, Zain justru memanfaatkan kesempatan dengan menariknya dalam pelukan. Tanpa penolakan, dia melemah hingga tangis Nadin pecah begitu Zain mengusap pelan pundaknya. Tanpa peduli sekuat apa Nadin menangis, telinga Zain seakan tidak merasakan sakit.
"Maaf, seharusnya aku bisa melindungimu," bisik Zain disertai kecupan lembut di puncak kepalanya, berkali-kali Zain lakukan hingga tangis Nadin kian menjadi sembari berusaha mendorong tubuh sang suami.
Zain yang awalnya tenang, mendadak panik tentu saja. Tangisnya sudah tak biasa hingga pria itu sejenak menjauhkan tubuhnya. "Kenapa? Apa ada yang sakit?"
Masih dengan tangisnya, Nadin mengangguk hingga Zain benar-benar melepas pelukan seraya memerhatikan kening sang istri, dia lupa jika tadinya sempat terluka. "Awwwh lumayan ternyata, perih?"
"Iya perih," jawab Nadin pelan, jika ditanya dia menangis murni karena luka atau karena terharu Zain peluk, jujur saja dia bingung sebenarnya. "Sebentar, apa di sini ada obat luka?"
"Di laci kalau tidak salah," jawab Nadin yang membuat Zain bergerak cepat detik itu juga.
Namun, tepat dikala Zain hendak berdiri, saat itu juga Nadin menahan pergelangan tangannya dengan secepat kilat. "Kenapa?"
"Terima kasih sudah melindungiku, Mas." Suara Nadin seolah bergetar hingga membuat pria itu mengurungkan niat dan segera duduk kembali.
Tak hanya itu, Zain tiba-tiba mengikis jarak sebelum kemudian mengecup keningnya dan menyeka air mata sang istri "Tidak perlu berterima kasih, melindungimu juga termasuk kewajibanku sebagai suami, Sayang."
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"