Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Sengaja di sini, siapa tahu aja kamu butuh bantuan," jawabnya santai sembari mengekor istrinya yang berjalan menuju ranjang.
Ajeng kembali merebah di bawah tatapan suaminya. Pria itu tidak beranjak sama sekali dari sisi ranjang. Membuat Ajeng sedikit canggung dan bingung. Memilih diam sambil berusaha tidur kembali.
Sementara Abi terus mengamatinya, perempuan itu terlihat berbeda dari sejak pertama bertemu. Tubuhnya lebih berisi, perutnya sedikit membuncit, dengan garis wajah yang tetap menawan. Membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.
Tangannya tergerak membenahi selimutnya, refleks menyentuh perutnya. Selalu ada perasaan serasa lebih dekat dan nyaman saat tangan itu merabanya perlahan. Hingga tanpa sadar, pergerakan itu membuat Ajeng terusik kembali, lalu membuka matanya.
"Ngapain?" tanya Ajeng waspada.
"Maaf, aku membangunkanmu, aku hanya ingin menyentuhnya. Dia sudah tumbuh semakin besar, bahkan sudah bernyawa," kata Abi tersenyum sembari mengelus dengan sayang.
Ajeng sebenarnya merasa kurang nyaman. Namun, perlahan perempuan itu mencoba biasa saja. Pria itu punya hak, entah hubungan mereka seperti apa, memang pada kenyataannya anak yang dalam perut pun merasa nyaman. Tanpa sadar Ajeng mulai terlelap kembali.
Saat pagi menyapa, Abi lebih dulu terjaga. Pria itu baru saja keluar dan masuk dengan membawa cup kopi di tangannya. Mungkin baru saja mencari sarapan untuk dirinya.
"Sudah bangun? Bagaimana keadaan pagi ini? Apa sudah lebih baik?" tanya Abi memastikan. Pria itu mendekat, duduk di kursi dekat ranjang sambil menyeruput kopi di tangannya.
Ajeng hanya mengangguk sebagai respon. Merasa tidak nyaman ditungguin Abi, dan ingin cepat pulang ke rumahnya.
"Apa nanti aku sudah boleh pulang?" tanya perempuan itu merasa jengah.
Pria itu menaruh cup di nakas, lalu menatapnya lekat.
"Lihat nanti, tubuhmu belum pulih benar," jawab Abi jelas tidak mengizinkan.
"Aku merasa sudah lebih sehat, aku ingin pulang ke apartemen saja," pinta Ajeng merasa lebih nyaman di huniannya yang dulu. Ia merasa di rumah Abi dan istrinya terlalu mencurigakan, apalagi kejadian kemarin, jelas membuat Ajeng merasa takut untuk kembali.
"Tunggu pemeriksaan dari dokter dulu, lain kali jangan ceroboh, fatal akibatnya, dan kamu dalam masalah. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak aku, akan kubuat kamu mengandung kembali tanpa inseminasi!" ancam pria itu serius.
Ajeng menyorotnya tak percaya, perasaan kesal, takut, dan tidak nyaman. Ditambah ancaman Abi yang jelas menambah satu beban pikirannya. Sebenarnya apa mau pria itu?
"Masih nyalahin aku? Aku nggak pernah berniat yang aneh-aneh pada darah dagingku sendiri. Bahkan aku tidak tahu kenapa aku bisa mengkonsumsi obat itu, aku hanya minum susu yang ada di dapur, lalu merasa sakit," jawab Ajeng melirik kesal. Mencoba memberanikan diri, jelas saja menyangkal apa yang tidak ia lakukan dan mengerti.
Ajeng memang menginginkan perjanjian itu cepat berakhir, tetapi tidak juga dengan cara yang picik apalagi membahayakan nyawa anaknya dan juga dirinya.
Abi menatap tajam istrinya, secara logika memang benar, mustahil sebenci-bencinya Ajeng pada Abi, tidak mungkin juga menyakiti anak dalam kandungannya yang jelas anaknya juga. Kalaupun ia mau, pasti sudah dari dulu melenyapkan tanpa menunggu lebih dari empat bulan yang jelas sudah bernyawa. Mungkinkah ada orang yang sengaja ingin mencelakai bayi itu?
"Mana ponselmu? Aku mau pulang sebentar," ujar Abi meminta benda pipih itu.
"Untuk apa? Jangan ikut campur urusan privasiku terlalu dalam," tolak Ajeng enggan memberikannya.
"Empat bulan yang tersisa, selama kamu mengandung anakku, dan aku berstatus sebagai suamimu, tolong hargai keputusanku. Jangan membuat moodku pagi ini hancur!" tekan Abi mengikis jarak. Menatap kedua netranya yang bening.
Ajeng lebih dulu memutus tatapan itu, sembari terus menyembunyikan benda kesayangan sejuta umat itu di balik punggungnya.
"Kamu mau apa, sih! Nggak bisa apa kalau ngomong baik-baik. Buat apa?" tanya Ajeng sampai meninggikan suaranya.
"Aku nggak suka ada pria lain di sini, kalau sampai kamu membiarkan pria itu datang ke sini lagi, akan aku pastikan kamu lebih jauh dari Hanan!" ancam Abi tanpa ragu.
"Maksudnya? Apa hak kamu melarang, aku juga punya kehidupan sendiri. Bukankah kamu sudah janji tidak ada keterikatan apa pun selain anak ini? Tolong jangan terlalu mengusik kehidupanku. Aku juga berhak dengan hidupku sendiri."
"Akan kuberikan kebebasan kamu pergi, sebebas-bebasnya setelah anak aku lahir," ucap Abi dingin.
"Bersabarlah sampai waktunya tiba, kurang dari lima bulan saja. Jangan jadikan dirimu wanita murahan, yang merajut asmara saat berstatus menjadi istri orang. Bahkan dalam keadaan mengandung," tekan Abi cukup menohok.
"Kita itu beda, hanya status, jangan berlebihan."
"Status yang mengikatmu, bahkan aku punya hak atas dirimu!"
Pria itu merampas ponsel Ajeng, lalu kembali memblokir nomor Denis. Ia juga mengirim seseorang untuk menjaganya di depan kamar rawat. Setelahnya pulang ke rumah, mencari-cari istrinya yang ternyata tidak ada di rumahnya.
"Bik, Vivi ke mana?" tanya Abi pada asisten rumah tangganya.
"Pergi Tuan, tidak nitip pesan apa pun."
Rasa penasaran membawanya ke ruang kontrol CCTV, ia pun mulai mengecek aktivitas kemarin di rumahnya. Tidak ada yang mencurigakan sama sekali, atau lebih tepatnya Abi belum menemukan petunjuk apa pun.
Selepas dari rumahnya, Abi bertolak ke kantor. Banyak pekerjaan yang perlu ia tangani.
Baru memulai kerja, ponsel pintarnya terus saja berbunyi. Rupanya Nyonya Warsa yang menghubunginya.
"Ada apa, Ma?" jawab Abi di ujung telepon.
"Mama lihat Vivi ngebut-ngebutan di jalan sama temen-temennya, dia itu 'kan sedang hamil, apa tidak takut terjadi apa-apa dengan bayinya. Tolong suruh hati-hati, mama tak enak menegurnya," ujar Bu Warsa merasa khawatir.
"Iya Ma, nanti Abi tegur, terima kasih infonya," jawab Abi sembari memijit pelipisnya lalu menutup teleponnya. Kenapa istri-istrinya membuatnya pusing semua.
Usai mendapat laporan dari ibunya, Abi langsung menghubungi Vivi, sayang sekali perempuan itu tidak kunjung mengangkatnya. Hingga membuat pria itu tak berkonsentrasi bekerja.
Sore harinya, pria itu pulang dalam keadaan lelah. Sedikit berbaik hati yang tidak mendapat sambutan hangat dari istrinya.
"Tumben ingat pulang, aku pikir udah betah di rumah sakit," ujar Vivi dengan nada mencibir.
"Dari mana seharian? Klayapan? Buang-buang uang, kamu mikir nggak sih, mama lihat kamu!" bentaknya kesal.
"Nggak usah marah-marah gitulah Mas, aku butuh hiburan, nggak pa-pa dong mumpung belum sibuk ngurus anak," jawab Vivi dengan entengnya.
"Iya, tapi tidak urakan di jalan juga, orang tahunya kamu tengah hamil, memang ada orang hamil bertindak sesuka hati!"
"Huhf ... ya mana aku tahu bakalan kepergok sama ibumu, lagian cuma hamil bohongan juga, nggak usah ribet deh!" sela Vivi kesal.
"Siapa yang bohongan?" sela Nyonya Warsa tetiba sudah berkunjung ke rumah anaknya.
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik