Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14.
"Serius, Pek? Tapi jarumnya asli atau tidak?"
"Kamu orang tidak percaya apa takut ha?" Pria tua itu kembali memelototi Mumu seakan-akan mau menelannya. "Ucapan saya semurni emas berlian kalau kamu orang mau tahu." Sengitnya.
"Baiklah kalau begitu." Mumu mengambil posisi duduk di seberang meja depan pria tua itu.
"Sini tangannya, Pek. Biar aku coba periksa dahulu."
Pria itu mengulurkan tangannya. Mumu langsung meraba urat nadi sambil memejamkan matanya.
Lima menit berlalu, ia membuka matanya yang bersinar cerah. "Ada masalah antara tulang rusuk sama tulang dada mu, Pek. Kenapa tidak kamu obati, Pek? Penyakit ini sudah berkisar setahun yang lalu kan? Saya rasa RSUD bisa menangani penyakit itu."
"Kita orang tak suka berobat modern macam gitu. Kita hanya percaya sama obat tradisional punya. Lebih berkhasiat. Kamu ternyata memang punya kemampuan. Bisa ngobat orang. Saya yang tua ini benar-benar minta maaf."
'Kalau obat tradisional memang manjur kenapa penyakitnya tidak sembuh-sembuh'. Gumam Mumu dalam hati. Tapi dibibir Mumu hanya berkata, "Tak perlu minta maaf, Pek. Tak ada yang salah. Bukan hal serius. Sekarang bagaimana? Mau saya coba obati?"
Pria itu mendekat dan duduk di kursi samping Mumu.
"Punggungnya menghadap ke saya, Pek!" Pinta Mumu. Setelah Pria itu menuruti permintaan Mumu, Mumu langsung menekan titik refleksi leher belakang bagian bawah.
Tak lama kemudian Mumu memindahkan jarinya agak ke bawah, mengarah titik punggung bagian atas.
Tak cukup sampai disitu, Mumu juga menekan titik refleksi di dada bagian atas dan juga di bagian perut serta jari.
Setengah jam kemudian Mumu menyelesaikan pekerjaannya, "Bagaimana rasanya, Pek?"
Pria tua yang bernama Hou Shi itu berdiri serta menggerak-gerakkan tubuhnya. Kini dia tidak merasakan sakit sama sekali.
Tak puas sampai di situ, dia mencoba menarik dan menghembuskan nafasnya berulang kali. Matanya bercahaya. Senyum cerah tersungging di bibirnya dan berkata, "Terima kasih banyak atas bantuannya anak muda. Saya benar-benar sudah sembuh. Ilmu pengobatan kamu luar biasa punya. Berapa aku harus bayar?"
Mumu mengernyitkan dahinya. Ini tidak sesuai perjanjian di awal tadi. Pria tua ini akan memberikannya jarum akupuntur jika ia bisa mendiagnosa dan mengobati penyakit yang diderita oleh Hou Shi. Tapi sekarang dia malah bertanya tentang biaya pengobatan, jadi bagaimana dengan jarum akupuntur tersebut?
Melihat wajah Mumu yang masam maka terkekehlah Hou Shi dan berkata, "Anak Muda kamu anggap saya ini apa ha? Kamu orang anggap saya akan ingkar janji?"
"Tapi kamu tadi nanya tentang biaya, Pek?" Mumu merasa ada yang salah.
"Itu benar Anak Muda. Jarum akupuntur itu tetap akan menjadi kamu punya milik sesuai kesepakatan kita. Tapi saya juga akan membayar itu punya pertolongan kamu Anak Muda." Jelas Hou Shi dengan berapi-api.
"Masalah bayaran tak perlu Apek sebutkan. Sudah mendapatkan jarum akupuntur sudah merupakan anugrah bagi saya, Pek." Ujar Mumu bersungguh-sungguh.
Melihat betapa seriusnya Mumu akhirnya Hou Shi mengalah, "Baiklah. Kamu orang tunggu sini sebentar!" Lalu dia masuk ke bagian belakang tokonya.
Tak lama kemudian dia sudah datang dengan membawa sebuah kotak.
"Ini adalah jarum akupuntur warisan saya punya nenek moyang. Semoga ini punya jarum bisa bermanfaat banyak bagi orang lain."
Dia mengangsurkan kotak itu ke hadapan Mumu. Tentu saja Mumu menerimanya dengan sangat senang.
"Dengan tangan agak gemetar Mumu membukanya. Lalu terlihat seperangkat jarum perak yang seakan-akan bercahaya. Ini memang jarum asli dengan kualitas terbaik.
" Terima kasih banyak atas hadiahnya, Pek." Mumu tak sungkan menerima hadiah yang berharga ini.
Setelah berpamitan Mumu langsung keluar.
...****************...
Rahma berlari dengan panik di sepanjang ruko yang berderet di belakang kompleks pasar buah. Dia berlari tanpa melihat arah sehingga terperangkap di sini.
Ruko ini biasanya digunakan sebagai gudang barang bagi pengusaha Cina sehingga jarang orang yang berlalu lalang di sini.
Bukannya Rahma tak mau berlari ke arah jalan besar yang banyak orangnya sehingga ada kemungkinan untuk minta tolong, tapi dia tak diberi kesempatan oleh geng motor itu.
Pada awalnya Rahma ke pasar ingin membeli ikan debuk dan daging sapi.
Malam nanti calon tunangannya bersama orang tuanya akan bertamu ke rumah jadi Rahma ingin menjamu mereka.
Tak disangka tiga motor terus memepetnya menyuruh berhenti. Melihat gelagatnya jelas-jelas Rahma tahu mereka tidak bermaksud baik terhadapnya. Oleh sebab itu dia melarikan motornya ke arah jalan A. Yani dan berbelok tajam ke arah jalan Imam Bonjol.
Malang nasibnya, baru saja masuk ke jalan Imam Bonjol salah satu motor preman tersebut muncul dari arah yang berlawanan. Rahma dengan paksa berbelok ke kiri dan masuk ke kawasan yang dipenuhi rukonya.
Karena jalannya berkelok-kelok Rahma memarkir motornya di sudut lalu dia mulai berlari mencari jalan keluar.
Lalu di sini lah dia sekarang.
Rahma sibuk mencari-cari handponenya untuk menelpon seseorang tapi rupanya handphone tertinggal di jok motor. Rahma panik.
Belum sempat Rahma mengatur nafasnya tiba-tiba seorang pemuda bertampang sangar muncul di sudut pandangnya.
"Ha ha kawan-kawan sini! Mangsanya sembunyi di sini." Rahma semakin mepet ke tembok. Tubuhnya gemetar. Apa lagi melihat kemunculan preman itu satu persatu yang melihatnya seperti harimau yang mau menerkam mangsa.
"Apa salah ku? Kenapa kalian ingin menangkapku?" Tanya Rahma dengan terbata-bata.
"Ha ha ha apa salah mu? Kamu tidak bersalah kepada kami gadis yang cantik. Yang salah itu adalah saudara kamu si Roni yang baj*ngan itu yang telah berani merebut pasanganku." Ujar pria berkulit putih dan ganteng tersebut. Walaupun wajahnya lumayan ganteng tapi Rahma sangat takut, karena ada kekejaman dari sorot matanya.
"Awalnya aku hanya ingin menangkapmu dan menjadikan mu sandera agar Roni menyerah dan memohon ampun kepada kami. Tapi melihat wajahmu, kami kini ingin menyic*pi mu terlebih dahulu."
"Ha ha benar tidak kawan-kawan?" Pria ganteng itu tertawa terbahak-bahak yang diikuti oleh kelima kawan-kawannya yang lain.
Lalu mereka berenam berjalan semakin mendekati Rahma hingga dia tak mampu bergerak ke mana-mana.
Pria tampan yang juga sebagai pemimpin geng itu menjulurkan tangannya.
"Srekkk!!" Baju Rahma langsung robek di bagian leher menjalar ke bawah.
"Ha ha.... pelan-pelan, Di. Seorang laki-laki harus bersikap lembut terhadap wanita. Apa lagi wanita yang cantik," Ledek salah seorang pria yang menggunakan kaos biru dan berkalung itu.
Tapi Ardi si pria ganteng itu tidak menggubrisnya. Dia langsung menarik Rahma dengan kasar.
Rahma mencoba melawan semampunya. Tapi apalah daya perlawanannya tidak berarti apa-apa di hadapan Ardi.
Rahma hanya bisa menangis dan memejamkan matanya sambil berdoa dalam hati mengharapkan semoga ada keajaiban yang terjadi.
'Betapa malangnya nasibku' Rintihnya.
Raminten