"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 03: Apakah aku sangat Spesial?
Dalam sekejap, Zhi Hao meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan yang datang. Ketika pedang lawan menebas ke arah kepalanya, ia dengan lincah berguling ke samping, menyelamatkan diri dari serangan maut itu. Dengan nafas yang tersengal, ia bergegas bangkit dan berlari menyusuri hutan lebat.
Namun, dalam pelariannya, kakinya tersandung akar kayu yang menjulur di tanah, seakan tali jebakan yang telah menantinya. Zhi Hao terjatuh dengan keras, mendengar tawa mengejek dari lawannya yang menyaksikan kejadian itu. "Hahaha, Kamu lucu juga, menangkap Jangkrik ya?" ejek lawannya dengan nada mengejek.
Rasa kesal membara dalam dada Zhi Hao. Dengan suara yang tercekat oleh amarah, ia membalas, "Jangkrik apa, dasar sialan!" umpatnya keras. Hatinya bergolak, rasa malu dan marah bercampur menjadi satu.
Di tengah kekalutan itu, tiba-tiba sosok lain muncul di sampingnya. Orang itu mengusung pedang yang berkilauan, siap untuk menyerang. Dengan refleks yang cepat, Zhi Hao mencabut pedangnya yang terselip di pinggang, matanya yang tajam menatap tajam ke arah lawan baru yang tidak diduga itu.
Treng!
Benturan keras membuat Pedang di tangan Zhi Hao terpental. Jelas saja, tanpa energi dan hanya mengandalkan Fisik semata tidak mungkin bisa menghadang tebasan lawan.
Napas Zhi Hao tersengal, matanya menatap dua sosok yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. Pedangnya yang terpental jauh meninggalkannya tanpa senjata, membuat darahnya membeku di urat nadi. Pria-pria di depannya, yang sepertinya bergembira dengan situasi ini, saling berpandangan seakan merencanakan suatu permainan jahat.
“Sekarang kamu tidak bisa lagi lari. Bukan?”
"Mana mungkin dia bisa lari, lihatlah kakinya gemetar," ujar salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arah kaki Zhi Hao yang memang sedikit bergetar.
"Mana mungkin di hadapan kematian tidak gemetar! Hahaha. Kamu ataukah aku yang menyelesaikan ini?" sahut yang lain, tertawa keras seolah mereka berada dalam pesta dan bukan di ambang pembunuhan.
Mereka berdua kemudian terkekeh, merasa memiliki kendali penuh atas hidup dan mati Zhi Hao. "Bagaimana kalau kita melakukan Permainan Gunting batu kertas dulu!" usul salah satu dari mereka, seolah peristiwa ini hanyalah permainan anak-anak dan bukan pertarungan mematikan.
Zhi Hao menelan ludah, mencoba mencari celah atau kesempatan, walau hatinya merasa ini adalah akhir dari segalanya. Di balik ketakutan, ada amarah yang mulai membara dalam dada, menolak untuk mati di tangan penjahat.
Tangan Wei bergerak cepat membentuk simbol batu, sementara kawanannya, dengan ekspresi tertekan, memperlihatkan kertas.
Tawa Wei pecah di udara, menggema kesenangan kemenangan. "Gunting kertas batu!" serunya lagi, menyulut percikan semangat kompetitif.
"Ulang sekali lagi. Kamu curang!" sergah kawannya, matanya menyipit curiga, bibir mengerucut tidak puas.
Wei mengernyitkan dahi, kesal, "Kalah ya kalah, akui saja. Apa susahnya sih?" tangan Wei terlipat di dada, tatapan tajamnya menembus.
"Jangan begitu dong, aku tadi tidak siap." ucap kawannya, nada suaranya mencoba menenangkan, namun tubuhnya tegang, siap untuk ronde berikutnya.
Sementara itu, di dekat mereka, Zhi Hao mengamati kedua orang bodoh yang beradu argumen. Sudut bibirnya tersungging, sebuah kesempatan terbentuk di benaknya. Ini adalah kesempatannya, memanfaatkan pertengkaran dua orang itu untuk keuntungan dirinya sendiri. Matanya mengunci pada pedang yang tergeletak tak jauh dari mereka, pedang yang sarat akan kenangan Ibunya.
Dengan gerakan yang hampir tidak terdengar, Zhi Hao merangkak mendekati pedang itu. Setiap senti pergerakannya hati-hati, menghindari kerikil yang bisa mengkhianati keberadaannya. Akhirnya, jemarinya menyentuh gagang pedang, dan dengan cepat ia menggenggamnya erat.
Beng!
Tiba-tiba, sebuah tendangan dari belakang menyungkurkannya ke tanah, pedang terlepas dari genggamannya.
Wei, yang telah memperhatikan gerak-gerik Zhi Hao, berdiri dengan napas berat, matanya membara menatap Zhi Hao yang terkapar. "Kamu pikir bisa mengambil keuntungan dari perselisihan kami, dasar Sampah tak berguna?" suara Wei menggertak, penuh ancaman.
Zhi Hao tak bisa berkata apa-apa lagi.
Hutan itu gelap dan pekat, hanya disoroti oleh sinar matahari yang malu-malu. Tawa mereka berdua menggema, memecah kesunyian yang menegangkan.
Tiba-tiba, dua serigala besar muncul dari balik semak, matanya yang merah memancarkan kilatan menakutkan, bulu-bulunya yang gelap seolah menyerap cahaya rembulan.
Keduanya terkejut, namun segera menyiapkan diri. "Wei, kamu jaga bocah itu, aku akan menghabisi dua Serigala ini dulu!" seru satu di antara mereka, suaranya tegas tanpa keraguan. Dia tidak menunggu jawaban dari Wei, segera melompat ke depan dengan pedang terhunus.
Serigala-serigala itu menggeram, taring mereka terlihat jelas, siap untuk menerkam. Namun, dengan gerakan yang cepat dan lincah, ia mengayunkan pedangnya.
Slash! Suara besi bertemu daging mengisi udara yang mana itu juga langsung membungkam untuk selamanya.
Slash! Ayunan kedua pedangnya pun tak kalah cepatnya, menghantam serigala kedua yang mencoba menyerang dari samping.
Dua serigala itu roboh ke tanah, darah mengalir membasahi daun-daun kering di bawah mereka.
"Wei, dimana bocah itu?" suara Dong bergema di antara pepohonan yang meranggas.
Wei, yang masih dalam keadaan syok, langsung tersadar dari lamunannya. Matanya membulat, dan bibirnya bergetar. "Aku tidak tahu, sialan. Kemana hilangnya?" kata Wei dengan nada suara yang tinggi, mencerminkan rasa panik dan ketakutannya.
"Bagaimana bisa kamu tidak tahu, padahal dari tadi aku sudah bilang, jaga bocah itu," Dong berteriak, frustasi meluap-luap karena kecerobohan Wei.
Wei menundukkan kepalanya, merasa bersalah yang tak terhingga. "Tidak ada gunanya bertengkar sekarang, kita harus mencarinya. Aku tahu aku salah!" ujarnya dengan nada yang lebih tenang namun masih terguncang.
Keduanya kemudian bergegas, meninggalkan area tersebut untuk mencari Zhi Hao, berharap masih ada kesempatan untuk menemukannya sebelum terlambat. Dong dengan langkah besar dan cepat, sementara Wei mengikuti di belakang dengan rasa bersalah yang membebani langkahnya.
***
Mata Zhi Hao terbuka lebar, napasnya tercekat saat menyadari dia kini berada di daerah yang asing. Rasa takjub dan kebingungan bercampur menjadi satu. "Apa yang terjadi?" tanyanya dalam hati, mencoba merangkai kejadian yang baru saja berlalu.
Beberapa detik yang lalu dia hanya menggeser sedikit posisi duduknya, namun kini dia berada di tempat yang sama sekali berbeda.
Di tengah kebingungan itu, suasana hutan yang sepi tiba-tiba pecah oleh suara geraman yang dalam dan menyeramkan.
Zhi Hao berdiri tegak, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok besar harimau hitam yang tampak dari balik semak-semak. Bulu hitamnya yang mengkilap terlihat jelas meskipun hanya disinari oleh cahaya remang-remang yang menembus celah daun.
Hewan itu mengeluarkan suara menggeram yang membuat darah Zhi Hao seakan membeku.
Detak jantungnya berpacu, keringat dingin mulai membasahi punggungnya. "Harus ada cara untuk keluar dari sini," batin Zhi Hao, sambil perlahan mencari ranting kayu atau batu yang bisa digunakan untuk membela diri.
Matanya tidak berani lepas dari sosok harimau yang kini mulai melangkah maju dengan mata yang terfokus padanya.
“Situasi ini tak jauh beda dari sebelumnya. Keluar dari mulut Buaya malah masuk ke mulut Harimau. Apakah aku memang sespesial ini hingga disukai oleh keburukan?” Zhi Hao bergumam dalam gejolak batinnya.