Sembilan tahun yang lalu mas Alfan membawa pulang seorang gadis kecil, kata suamiku Dia anak sahabatnya yang baru meninggal karena kecelakaan tunggal.Raya yang sebatang kara tidak punya sanak keluarga.
Karena itulah mas Alfan berniat mengasuhnya. Tentu saja aku menyambutnya dengan gembira. selain aku memang penyayang ank kecil, aku juga belum di takdirkan mempunyai anak.
Hanya Ibu mertuaku yang menentang keras keputusan kami itu. tapi seiring waktu ibu bisa menerima Raya.
Selama itu pula kehidupan kami adem ayem dan bahagia bersama Raya di tengah-tengah kami
Mas Alfan sangat menyayangi nya seperti anak kandungnya. begitupun aku.
Tapi di usia pernikahan kami yang ke lima belas, badai itu datang dan menerjang rumah tanggaku. berawal dari sebuah pesan aneh di ponsel mas Alfan membuat ku curiga.
Dan pada akhirnya semua misteri terbongkar. Ternyata suami dan anak ku menusukku dari belakang.
Aku terpuruk dan hancur.
Masih adakah titik terang dalam kemelut rumah tang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Akhirnya hari yang mendebarkan itu tiba.
Fajar terlihat begitu bahagia. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya.
Memang acaranya sederhana saja. hanya mengundang sahabat dan kerabat dekat.
Abah dan Emak, orang tua angkatnya yang sekaligus mertuanya Fajar juga sudah datang.
Fajar pernah bilang kalau semula mereka menentang pernikahan kami.tapi dengan berbagai alasan akhirnya mereka merestuinya.
Tapi kesan yang ku tangkap mereka tidak ikhlas menerima keputusan Fajar. Apakah ini hanya perasaan ku saja, entahlah.
"Acaranya sebentar lagi. Dimana Abah dan Emak?" Fajar bingung sambil menatap arloji di tangannya.
"Biar aku lihat, mungkin di kamar Wanda." jawabku bergegas pergi.
Benar saja. Aku melihat mereka bertiga sedang bicara serius. Mata Wanda terlihat membasah. Saat melihatku dia langsung menghapusnya.
"Mba, ayo masuk." sapanya dengan ramah.
"Aah, aku hanya disuruh Fajar untuk memanggil kalian. Acaranya segera di mulai." ucapku pelan dan sedikit ragu.
"Oh, iya.. Kami segera menyusul. Kau duluan saja." ujar Emak dengan senyum di paksakan.
Jujur aku merasa tidak enak dengan keadaan ini. Tapi apa boleh buat, semua sudah di atur matang.
Saat duduk di samping Fajar dan Wanda di belakang kami. Aku teringat saat pernikahan mas Alfan dan Raya say itu. Aku bisa mengerti perasaan Wanda saat ini. Seikhlas-ikhlasnya seorang wanita, bila itu menyangkut suaminya pasti sangat menyakitkan.
Acara berjalan dengan lancar. air mataku menitik saat Fajar mengucap ijab kabul di hadapan penghulu dan para saksi.
Terharu dan bahagia, pastilah. Tapi dadaku juga sesak membayangkan perasaan Wanda saat ini. Dia terlihat tegar dengan berusaha menebar senyumnya. Tapi aku yakin hatinya sedang hancur.
"Selamat, ya Mba.. Sekarang kau sudah resmi menjadi istri bang Fajar." bisik ya lembut.
"Terima kasih. Semua ini karena dirimu. Kalau bukan karena luasnya hati mu. pernikahan ini tidak akan pernah terjadi." jawab ku tak kalah pelan.
Aku dan Fajar meminta restu kepada Abah dan Emak.
"Abah harap kau bisa menjadi imam yang baik buat kedua istri mu. bersikaplah adil. Jangan bedakan mana istri yang pilihan mu dan mana istri yang yang sekedar melepas tanggung jawab mu."
Fajar mengangguk.
Makan itu kami mengobrol hangat dengan keluarga dan sahabat. Malam sudah cukup larut
"Sudah malam, mba Tari pasti lelah. Kalian butuh istirahat." ucap Wanda sambil beberapa kali menguap.
Semua sudah masuk ke kamar masing-masing. Termasuk Abah dan Emak.
Dengan ragu ku langkahkan kaki ke kamar Fajar.
Aku mendorong pintu perlahan. Tidak ada Fajar di situ. Kemana dia?
Aku melepas semua atribut yang ku pakai Setelah mandi berganti dengan pakaian santai. Saat itu Fajar masuk dengan secangkir kopi di tangannya.
"Mau minum kopi?" tawarnya dengan lembut. Aku menggeleng pelan. Ternyata dia sudah segar dan berganti pakaian juga.
Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Aku merasa lega sekali. Akhirnya setelah begitu banyak rintangan, kita bisa berada di titik ini."
"Iya, tapi ada yang sedikit mengganjal perasaan ku." jawabku ragu.
"Apa itu, katakan.. Sekarang kau tidak boleh menyembunyikan apapun dari ku. Begitu pula aku." dia bangkit dan duduk di sampingku.
"Abah dan Emak sepertinya belum merestui kita."
"Apa mereka mengatakan sesuatu pada mu?" tanyanya kaget.
"Tidak, hanya aku merasa begitu."
"Itu hanya perasaan mu saja. sudahlah. Jangan pikirkan sesuatu nya belum tentu benar. lagi pula kami sudah membahasnya jauh - jauh hari." Dia memegang bahuku.
Malam itu kami habiskan waktu dengan mengobrol banyak hal. Tentang masa sekolah kami, tentang masa kuliah dan sebaginya. Ternyata lain rasanya mengobrol dengan Fajar setelah kami halal menjadi suami istri.
Rasanya lebih syhdu.
"Sudah jam tiga, tidak terasa, ya.." ucapnya sambil menguap lebar.
"Iya, sebaiknya kita tidur."
Kami berbaring bersebelahan.
"Tari, apakah kau bahagia dengan pernikahan ini?" tiba-tiba dia bertanya seperti itu.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku takut karena kekurangan ku suatu hari kau akan meninggalkan ku."
Aku tersenyum geli.
"Justru yang merasa seperti itu harusnya aku. aku yang banyak kekurangannya. Dan kemungkinan besar aku tidak akan bisa memberimu keturunan." jawabku polos. Di meraih kepalaku dan membawanya ke dadanya.
"Aku menikahi jiwa raga mu, bukan menikahi mesin pencetak anak untuk mendapat keturunan. Buat apa anak kalau tanpa anak pun kita bisa bahagia? Jangan pernah kau katakan itu lagi."
Bahagia mendengar kata-katanya yang menyejukkan jiwa. Dia sosok pria dewasa yang bijaksana. sangat berbeda dengan mas Alfan.
Akhirnya malam itu terlewatkan dengan saling mengobrol dan bertukar pikiran.
***
Paginya aku mendapati Fajar sudah tidak ada di sampingku. Dengan penasaran aku keluar, ternyata sudah pagi. Kenapa dia tidak membangunkan aku?
Dari seorang kerabat yang masih menginap aku tau kalau Fajar, Emak dan Abah sedang kerumah sakit mengantar Wanda. Heran, kenapa aku tidak mendengar apa-apa.
"Mba Wanda mengalami kram yang sangat. Karena itu mereka membawanya kerumah sakit."
"Kenapa Fajar tidak membangunkan saya?"
"Mas Fajar bilang biarkan saja, Mba Tari tidurnya pulas sekali. Mungkin kecapean. Mas Fajar juga pesan kalau mba Tari sudah bangun biar menyusul kerumah sakit."
Setelah berkemas sedikit, aku bersiap kerumah sakit.
Sangat kebetulan rumah sakit yang ku tuju adalah rumah sakit dimana mas Alfan di rawat.
Setelah bertanya pada perawat jaga, aku menuju ruangan di mana Wanda di rawat.
Sebelum aku masuk. Emak memanggilku.
"Tari, kenapa kau datang kesini? Sudah puas tidurnya?" aku tergagap mendapat pertanyaan itu.
"Maksud, Emak. Kau pasti capek dengan acara kemarin. karena itu kita tidak membangunkan mu tadi." ralat orang tua itu. Walau dengan halus, aku merasa dia sedang menyindirku.
"Ah, Iya.. Saya minta maaf karena tidak mengetahui kalau Wanda di bawa kesini." jawabku tersipu. Sangat memalukan kenapa bisa sampai terlambat bangun. Pasti dalam pikiran mereka kami sudah melewatkan malam bersama. Padahal, kan tidak ada yang terjadi.
"Tidak apa-apa, kami paham kalau kalian masih pengantin baru..." ucapnya lagi.
Aku semakin tersudut.
Aku minta ijin untuk masuk melihat keadaan Wanda. Tapi wanita itu melarang.
"Di dalam sudah ada Fajar dan Abah. Keadaan Wanda cukup serius. Jadi butuh perhatian ekstra dari orang terdekatnya. sebaiknya kita tunggu disini, dulu ya..!" pintanya setengah memaksa.
Aku duduk di samping wanita itu dengan gelisah. takutnya Fajar dan Wanda mengira aku tidak punya perasaan sampai siang ini belum menjenguk.
Ku keluarkan ponsel untuk menghubungi Fajar. Tapi lagi-lagi wanita di depanku ini menyergap tanganku.
"Mau nelpon Fajar? Sebaiknya jangan. Fajar c sedang sibuk menenangkan Wanda di dalam sana. Kalau kau menelpon pikirannya akan bercabang."
Aku mengangguk. Benar juga ucapannya. akhirnya aku kembali menunggu sambil mendengarkan cerita Emak yang tidak ku tau ujung pangkalnya.
Cukup lama aku menemaninya di sana. Sampai perutku berbunyi.
Aku baru ingat kalau perut belum di isi dari semalam.
"Mak, apa sekarang kita kita sudah masuk kedalam?" tanyaku penuh harap.
Dia terdiam sebentar.
"Kalau kau memaksa ya sudah, ayo..!" dia berdiri dengan enggan.
Kami memasuki ruangan tempat Wanda di rawat. Saat melihatku wajah Fajar langsung berseri.
"Tari, akhirnya kau datang. Sudah sarapan? temani aku sarapan.perut ku lapar sekali. Ayo ikut aku..!" tanpa basa basi dia menggamit tanganku keluar.
"Apa ini tidak berlebihan? aku merasa tidak enak dengan mereka." ucapku saat kami sudah duduk di kantin rumah sakit.
.
Bersambung...! tinggalkan jejak ya say...