Tolong " teriak seorang wanita bercadar itu ketika mulut berlapis cadar itu didekap seorang pria. setelah berhasil menutup pintu itu ia langsung melempar perempuan itu ke sofa.
Pria asing itu membuka paksa cadar perempuan yang menjadi mangsa saat ini. Ia mendekam wanita ini dengan tubuh besarnya.
pria itu mulai mencium leher wanita itu, gadis itu terus saja memberontak dengan memalingkan wajahnya. Ciuman yang sangat begitu kasar dan sangat brutal.
Ia membuka paksa baju panjang yang perempuan ini kenakan. Dan sekarang nampak perempuan ini itu sudah menampakkan tubuh polosnya tanpa busan.
Gadis itu terus saja memberontak, ia mencoba memukul dan semau cara ia lakukan tapi tidak berhasil. Tenaga pria ini lebih kuat dari dirinya.
Gadis itu terus menangis dan meminta pertolongan. tapi tidak ada sama sekali yang datang menolongnya.
" aku mohon jangan lakukan itu " ucapnya dalam tangisnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon limr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tanggung jawab. [ revisi ]
Bab Dua
Selesai membersihkan diri, Aira masih mengenakan kimono mandinya. Tatapannya kosong, dan pikirannya kembali pada malam nahas itu.
Setiap kali ia mengingat kejadian itu, senyum kedua orang tuanya selalu ikut muncul dalam benaknya. Seolah menyatu dengan peristiwa itu, menciptakan rasa bersalah yang menghujam lebih dalam.
Menangis memang tak bisa mengubah apa pun, tak akan mengembalikan semua seperti semula. Tapi setidaknya, dengan menangis, Aira bisa merasa sedikit lebih tenang.
Tangisnya perlahan mereda. Tubuhnya lelah, pikirannya letih. Tak lama kemudian, ia pun tertidur dengan air mata yang masih mengalir di pipi.
---
Di tempat lain, Andre—asisten pribadi dari pria yang telah menghancurkan Aira—sedang menjalankan perintah tuannya.
Kini ia berada di ruang pengawas CCTV apartemen. Awalnya petugas melarangnya masuk, tapi dengan uang, segalanya bisa berubah. Beberapa lembar rupiah cukup untuk membuka akses ke rekaman semalam.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Andre keluar dari ruangan dan melangkah menuju kamar tuannya.
Sementara itu, pria itu—Kenzo—telah membersihkan diri. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian andalannya: kemeja putih, jas hitam, celana panjang berpotongan rapi, dan sepatu pantofel yang mengilap. Penampilannya selalu konsisten—tegas, dingin, berwibawa.
Tak lama, pintu terbuka. Andre masuk dan menghampiri tuannya yang sedang menikmati makan siang di ruang makan.
"Bagaimana?" tanya Kenzo dengan suara datar, tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya.
"Saya sudah menemukannya, Tuan. Wanita yang bersama Anda semalam tinggal di kamar nomor 45," lapor Andre lugas.
Kenzo menghentikan gerak makannya. Ia bangkit dari kursi, mengambil jasnya, dan berkata pelan namun tegas, "Ikut aku sekarang."
Tanpa banyak bicara, Andre mengikuti langkah tuannya. Mereka berjalan menyusuri lorong apartemen, hingga berhenti di depan pintu bertuliskan angka 45.
Kenzo menekan bel. Tidak ada jawaban.
"Kau tidak salah?"
"Tidak, Tuan. Wanita itu masuk ke kamar ini dan tidak keluar lagi setelahnya."
Kenzo kembali menekan bel. Kali ini, pintu terbuka perlahan. Sosok wanita berpakaian serba hitam dan bercadar berdiri di ambang pintu. Meski sebagian besar wajahnya tertutup, pembengkakan di matanya tak bisa disembunyikan.
"Mau apa kamu ke sini?" suara Aira terdengar dingin, namun mengandung getir yang dalam.
Kenzo menatap perempuan di hadapannya. Perempuan yang semalam disentuhnya dalam keadaan yang tak sepenuhnya ia sadari. Perempuan yang kini memandangnya dengan kebencian yang tak bisa disembunyikan.
Andre, yang menangkap ketegangan suasana, mencoba mencairkan keadaan.
"Maaf, Nona. Bisakah kita bicara di dalam? Tidak enak jika terlihat orang di luar."
Aira terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. Ia melangkah ke dalam, membiarkan kedua pria itu duduk di sofa. Ia sendiri duduk di kursi berjarak, jauh dari mereka.
"Ada apa kalian ke sini?" tanyanya datar, namun sorot matanya menusuk.
Kenzo menatap lurus ke arahnya. "Saya akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi," ucapnya tegas.
Aira menegang. Pernyataan itu terlalu asing dari mulut pria seperti Kenzo. Bahkan Andre pun sempat menoleh, terkejut.
"Saya melakukan ini untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan ke depannya," lanjut Kenzo. "Saya tahu, bagi perempuan, kejadian seperti ini bisa menjadi aib. Karena itu saya ingin memperbaiki keadaan sebisa saya."
Aira terdiam. Hatinya bergolak, tapi wajahnya tetap tenang.
"Baik," katanya akhirnya. "Saya menerima tawaranmu. Temuilah kedua orang tuaku setelah wisuda, hari Minggu nanti. Mereka akan datang ke kota ini."
Kenzo mengangguk pelan. "Pilihan yang sangat tepat."
Setelah itu, ia bangkit dan meninggalkan apartemen Aira, diikuti oleh Andre. Senyum tipis menghiasi wajahnya, entah apa maksudnya.
Sementara itu, Aira duduk membeku. Ia tahu, apa pun yang ia lakukan, tak akan menghapus luka itu. Tapi jika ini bisa mencegah kekecewaan di mata Ummi dan Abi, maka ia akan menerimanya.
Lebih baik dianggap janda daripada gadis tak perawan, pikirnya getir.
Setidaknya, sebutan itu masih bisa diterima telinga... dan bisa menyelamatkan kehormatan keluarganya.
Lanjut Thor...