WARNING : CERITA INI ITU TIPE ADULT ROMANCE DENGAN VERSI ROMANCE SLOWBURN !!!
[ROMACE TIPIS-TIPIS YANG BIKIN JANTUNGAN DAN TAHAN NAPAS]
---
Lima tahun yang lalu, Damien dan Amara menandatangani perjanjian pernikahan demi menunjang keberlangsungan bisnis keluarga mereka. Tidak pernah ada cinta diantara mereka, mereka tinggal bersama tetapi selalu hidup dalam dunia masing-masing.
Semua berjalan dengan lancar hingga Amara yang tiba-tiba menyodorkan sebuah surat cerai kepadanya, disitulah dunia Damien mendadak runtuh. Amara yang selama ini Damien pikir adalah gadis lugu dan penurut, ternyata berbanding terbalik sejak hari itu.
---
“Ayo kita bercerai Damien,” ujar Amara dengan raut seriusnya.
Damien menaikkan alis kanannya sebelum berujar dengan suara beratnya, “Dengan satu syarat baby.”
“Syarat?” tanya Amara masih bersikeras.
Damien mengeluarkan senyum miringnya dan berujar, “Buat aku tergila kepadamu, lalu kita bercerai setelah itu.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redwinee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 22
Amara menghabiskan waktu makan siangnya di kafe dekat kantornya lagi hari ini. Amara butuh kopi untuk membangunkan fokusnya di tengah pekerjaannya yang menumpuk.
“Kantung matamu terlihat sangat jelas Amara,” ujar Bastian melirik ke arah kantung mata Amara yang tampak gelap seperti wanita itu habis tidak tidur semalaman.
Amara membuka kamera pada ponselnya untuk mengecek penampilannya itu. Memang benar apa yang dikatakan Bastian, Amara tidak bisa tidur dengan tenang kemarin dan semua gara-gara Damien.
Dan untuk panggilan Bastian kepadanya itu, sebab Amara sudah menanggap mereka seperti teman dekat, Amara menyuruh Bastian untuk memanggilnya dengan nama saja, lagian usia mereka juga sama.
“Iya, belakangan ini pekerjaanku sangat banyak,” ujar Amara yang sepenuhnya tidak berbohong. Ia bergadang karena pekerjaan dan memikirkan Damien.
“Bastian,” panggil Amara membuat pria itu yang sedang mempersiapkan kopi pesanan Amara ikut menoleh.
Amara duduk pada meja bar yang berbatasan langsung dengan area barista dalam pembuatan pesanan di kafe jadi memudahkan Amara untuk berbicara dengan Bastian sembari menikmati kopinya.
“Kenapa?” tanya Bastian.
Amara memainkan kuku jarinya, tampak berpikir sejenak sebelum berujar, “Aku mempunyai seorang teman wanita.”
Bastian hanya berdehem sebagai respon, sembari membuat pesanan Amara, ia turut mendengar cerita wanita itu.
“Jadi, temanku ini meminta saranku atas masalahnya,” ujar Amara lagi.
“Masalah apa memangnya?”
Amara membasahi bibir keringnya kemudian berujar kembali, “Temanku ini belakangan tidak bisa tidur karena terus kepikiran akan ciumannya dengan seorang pria.”
Bastian menoleh, “Ciuman? Dengan pacarnya?” tanya Bastian, mulai penasaran dengan cerita Amara.
“Bisa dibilang begitu,” balas Amara.
“Lalu apa yang aneh tentang itu?” Bastian heran, lagian dengan pacar sendiri, di zaman modern seperti ini melakukan skinship seperti itu sudah biasa. Bahkan ada banyak pasangan di laur sana yang lebih parah daripada hanya sekedar melakukan tautan bibir semata.
“Masalahnya, temanku ini membenci pacar prianya itu. Mereka berhubungan tetapi hanya berpura-pura, intinya hubungan mereka rumit. Mereka bersama tetapi saling membenci dan ciuman itu terjadi secara tidak sengaja,” jelas Amra panjang lebar lagi.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Amara seolah meminta Bastian untuk mengeluarkan pendapatnya tentang hal ini.
Amara ingin sekali bertanya kepada sekertarisnya di kantor, tetapi sekertarisnya itu tahu betul kalau Amara tidak memiliki teman sama sekali sebab dunia Amara hanya berputar pada pekerjaannya di kantor. Amara pasti akan langsung ketahuan berbohong ketika ia curhat kepada sekertarisnya itu.
“Jantungnya berdebar kencang saat ciuman itu berlangsung?” tanya Bastian dan Amara menangguk.
“Berarti temanmu itu menyukai pacar prianya itu,” Bastian akhirnya mengambil kesimpulan singkat, namun Amara menggeleng kuat, pertanda tidak setuju.
“Mereka saling membenci Bastian,” ujar Amara.
“Perasaan benci juga bisa membuat berdebar, sebab terlalu besar perasaan bencinya, maka tubuhnya bereaksi seperti itu saat mereka bersama. Saking bencinya, dia selalu berdebar saat mereka bertemu atau bahkan berdebar memikirkan cara apa untuk membunuh orang yang dibencinya itu,” ujar Bastian lagi yang membuat Amara terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Benarkah?”
“Wait,” Bastian tiba-tiba menyela lagi, ia kemudian menatap serius ke arah Amara.
“Jangan bilang itu adalah first kiss dari temanmu?” tanya Bastian dan detik itu juga bahu Amara menegang.
Kedua bola matanya sukses membulat, salah satu kebiasaan Amara ketika ia gugup.
Amara memang menikah di usia yang terbilang cukup muda dengan Damien yaitu pada usia ke dua puluh dan setelah lima tahun berlalu, Amara sudah dua puluh lima tahun sekarang. Ia tumbuh dewasa dengan satu-satunya pria yang disampingnya hanyalah Damien, tidak ada yang lain.
Hanya pria brengsek itu.
Jika dipikir-pikir, Damien merupakan satu-satunya pria yang paling banyak berinteraksi dengan Amara dan bahkan merebut first-kissnya itu. Amara selama ini benar-benar terlalu fokus mengembangkan bisnisnya sehingga untuk hubungan percintaan seperti ini, Amara sangat bodoh.
“Amara, ini bukan cerita tentang dirimu kan?” terka Bastian kemudian detik selanjutnya ia tertawa hebat.
Amara yang meilihat gelak tawa Bastian akhirnya merasa kesal dan tersinggung, memangnya kalau itu benar cerita tentang dirinya, apa yang lucu dari sana?
“Hubunganku dengan Damien baik-baik saja,” ujar Amara polos untuk membela diri.
“Benarkah?” tanya Bastian seolah tidak percaya.
Amara menangguk keras dan pasti, “Kau tidak lihat berita yang kemarin,” tambah Amara lagi.
Bastian berusaha meredakan tawanya sembari menangguk, “Aku melihatnya, kalian adalah pasangan terpanas versi para wartawan tahun ini.”
Dan yang terjadi selanjutnya adalah Amara yang tersipu malu, ia mengusap leher belakangnya dan dengan segera menyeruput kopinya cepat karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.
“Jadi aku menunggu kabar baik darimu Amara,” lanjut Bastian lagi yang berniat untuk terus menggoda Amara. Sebab jarang-jarang Bastian dapat melihat Amara yang tersipu malu seperti ini.
Amara yang dikenal orang-orang adalah sosok ambisius yang gila kerja. Dijuluki wanita independen sebab Amara sudah suskes dengan bisnisnya di usia yang muda. Amara tidak perlu pria untuk membiayahi kehidupan mewahnya.
“Kabar baik?” tanya Amara bingung.
“Benar,” ujar Bastian kemudian tanpa bisa Amar duga, pria itu menunjuk ke arah perut Amara menggunakan dagunya dengan tangannya yang mengelus perutnya sendiri.
Amara melebarkan matanya, “Bastian, diamlah.”
“Loh, kenapa? Toh kalian adalah sepasang suami istri,” uajr Bastian lagi.
“Dilihat dari sifatnya, Damien apsti merupakan tipe suami yang siap menerkam istrinya setiap malam. Apalagi secantik dirimu Mrs. Amara,” ujar Bastian lagi yang membuat pipi Amara semakin merona.
Bastian berhasil membangkitkan fantasi yang tidak pernah terpikirkan oleh Amara sebelumnya.
“Aku tidak tahu kau adalah pria yang mesum,” decak Amara.
Melainkan tersinggung, Bastian hanya menanggapi dengan senyum mempesonannya.
“Aku tidak sebaik dan sepolos yang kau pikirkan Amara,” ujar Bastian kemudian menaik turunkan alisnya membuat Amara ingin menyirami wajah menyeballkan pria itu dengan kopi sisanya.
Di sisi lain, di sebuah ruangan yang gelap dan terkesan pengap serta lembap, hanya sedikit cahaya remang dari bohlam tua yang berkeding-kedip menggantung di atas loteng. Asap rokoknya terkepul kuat melayang di udara, membuat siapa saja yang berada di ruangan itu pasti bisa mencium asap rokoknya yang terasa sesak.
Bau amis darah begitu menyengat, bercampur dengan aroma tembakau dari rokoknya. Lantai semen pada ruangan itu penuh dengan noda darah yang masih belum kering sepenuhnya. Dinding-dinding disana terkelupas hebat dan banyak bercak darah yang menghiasi dinding tersebut dengan pola abstrak.
Di sudut ruangan terdapat seorang pria yang duduk pada sebuah kursi kayu yang hampir keropos bagian kakinya, ia membuang puntung rokoknya ke bawah, menginjaknya kemudian bangkit berdiri dari duduknya sembari memegang sebuah kembaran foto seorang wanita cantik yang tampak mengobrol di sebuah kafe sembari menikmati kopinya.
Pria itu kemudian tersenyum miring penuh arti, “Kau sangat cantik sayang,” ujarnya sembari membuka mulutnya sedikit guna mengeluarkan lidahnya dan berakhir menjilati lembaran foto, membasahinya dengan air liurnya.