Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Eva II
"Ini gimana Mas? Mereka itu siapa?" tanyaku dengan suara bergetar, pelan dan setengah berbisik diantara ketegangan yang belum aku mengerti.
"Lari!" ajak Mas Dias, kamipun berlalu menembus rumput liar setinggi dada orang dewasa ini, entah kemana langkah mas Dias akan membawaku, yang pasti kami tidak boleh tertangkap oleh tiga orang itu.
Hingga sampai di gedung yang berdiri diambang tebing.
Mas Dias turun hati-hati, sementara aku tercengang melihat aksinya yang menurutku sangat berbahaya, bila jatuh ke bawah, maka nyawa bisa melayang, atau minimal patah tulang.
"Ayo!" dia mengulurkan kedua tangannya. Ini maksudnya gimana?
"Ngapain Mas?" tanyaku dengan bodohnya.
"Turun! Kita sembunyi di sini." katanya.
Aku berdiri bingung, takut jatuh kebawah, tapi takut juga ketahuan.
"Ayo! Kamu mau ketangkap lalu di_"
Sreett! Mas Dias menggaris lehernya dengan telunjuk melintang. Aku bergidik ngeri dengan isyarat yang dia berikan.
"Iya Mas!" Aku segera turun, berpegangan tangan begitu erat sama Mas Dias, lalu ia memintaku menunduk, bersembunyi di bawah semak di balik tebing.
"Aman gak Mas?" tanyaku, berbisik dengan nada jantung yang berdegup kencang.
Mas Dias mengangguk, meyakinkan aku yang sangat ketakutan. Padahal hanya berhadapan dengan dua wanita licik, kok ya kami berdua seperti sedang berhadapan dengan mafia? ingin aku tertawa. Tapi suara berisik diatas kepala kami membuat kaki kembali menegang.
"Kemana mereka?" tanya seseorang laki-laki yang mengejar kami.
"Gak tahu, cepat sekali larinya." sahut yang lain lagi. "Apa mereka sembunyi?" tanyanya.
"Gak ada, aku udah cek semua." sahut seorang lagi.
"Kata Bos itu menantu Ibunya."
Aku memejamkan mata, ternyata Lusia, aku yakin orang yang mereka sebut bos itu adalah Lusia.
Lama mereka berbincang, hingga berpindah ke tempat lain. Ku rasa kami bisa sedikit bernafas lega Sekarang.
"Kok mereka sebut istrimu Bos, Mas?" aku menoleh Mas Dias yang berada di sampingku, ternyata pria itu malah sibuk memandangi wajahku. Apa dia tidak takut dengan apa yang baru saja itu? Dia tersenyum tipis.
"Karena memang bos mereka." jawabnya.
"Mbak Lusia kerja apa?" tanyaku, karena setahuku mbak Lusia itu hanya ibu rumah tangga, sama seperti aku.
"Dia nggak kerja, tapi punya banyak uang dan orang-orang seperti mereka." kata Mas Dias, menunjuk arah di atas kami.
"Maksudnya?" aku bingung tak mengerti.
Mas Dias menarik nafas berat, lalu menghadap aku dengan serius. "Dengar!"
"Hem?" alisku bertaut heran, tentunya.
"Lusia itu adalah saudari Maria, perempuan yang dulu sempat menemui kita. Dan kau tahu sebab apa aku meninggalkan dia, dia bukanlah orang baik. Dan satu hal lagi, dia yang sudah menghadiahkan aku penyakit ini, penyakit yang membuat kita tidak bisa bersama." ucapnya menunjuk dadanya sendiri.
Ku tatap lekat manik mata hitam pekat itu, kini redup dengan sedikit keruh. Kata orang, penderita penyakit tiga huruf itu memang memiliki salah satu ciri demikian.
Aku terdiam, tak dapat berkomentar apabila sudah menyangkut hubungan masa lalunya dulu, lagipula aku sudah bukan siapa-siapa. Walaupun bibirku ini ingin sekali berkata, 'salahmu sendiri mengapa sampai berhubungan terlalu jauh.'
"Tapi itu dulu, sebelum aku mengenalmu." katanya, pelan dengan senyuman tipis menatapku, seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
"Tak apa Mas." aku melengos.
"Aku tidak seburuk itu Dek, buktinya aku tidak pernah menyentuhmu walaupun aku sangat ingin." katanya lagi, panggilan itu membuatku ingat masa bersamanya.
Ingat ketika dulu kami sering berjalan berdua, dia tak melepaskan tangan ku, menanyai aku maunya apa, kemana, apalagi, ada lagi, makan apa, mau bawa pulang, butuh uang?
Mendadak hatiku nyeri.
"Ayo Mas, kita pulang." ajakku, tak mau terbawa suasana di persembunyian ini. Aku sangat sadar bahwa sekarang aku adalah istri Mas Seno, pria yang selalu berusaha membahagiakan aku, bahkan diatas ranjang pun dia selalu bertanya, apakah aku puas atau tidak.
Tentunya Suamiku selalu ingin aku bahagia, ingin aku mendapatkan segala yang terbaik dari dirinya.
"Tunggu, kita lewat sini." Mas Dias keluar lebih dulu, menginjak tanah yang tampak menggantung. Dia meminta ku agar melangkah setelah ia menemukan pijakan yang aman.
Kamipun melipir dengan hati-hati, takut orang-orang Lusia itu masih ada, kalau ketahuan maka habislah kami, jatuh kebawah sana sudah pasti.
Cukup jauh kami menelusuri tebing, hingga tiba di tempat yang landai dan dekat perkampungan. Akhirnya kami bisa keluar dengan nafas lega, paling tidak sudah sangat jauh dari tempat semula.
"Jauh sekali." gumamku, sesekali memegangi lutut yang teras nyeri.
"Di belakang ini kota Dek, kita keluar saja." ajak Mas Dias.
Benar saja, kami menapak jalan sempit yang licin dan bau, sampah berceceran dimana-mana hingga rasanya mual sekali.
"Ayo!" Mas Dias mengulurkan tangannya, tahu kalau diriku sudah lelah sekali.
Ragu, tapi aku menerimanya juga, toh nafas sudah kembang kempis, suara sudah tak mampu keluar, kering rasanya tenggorokanku.
Mas Dias mengajakku membelah jalanan gang diantara bangunan yang padat, berjalan kaki berdua seperti baru saja pulang dari petualangan.
"Minum Pak!"
Mas Dias duduk di bangku plastik yang tersedia di pinggir jalan, seorang pak tua sedang menata minuman kemasan di bawah payung lebarnya.
"Ini Mas." pak tua itu memberikan mas Dias dua botol minuman dingin.
"Nih Dek, minumlah." Mas Dias memberikan padaku, setelah ia membuka tutupnya.
Begitulah kebiasaan mas Dias. Lalu mengapa Lusia begitu tega kepada Mas dias, sedangkan sikapnya kepada perempuan itu sangat manis, sopan dan tidak pernah marah.
Apakah Lusia tidak luluh? Apakah tidak kasihan? Bukankah dia jadi begini karena Maria adiknya?
Tunggu! Kalau Maria adiknya, apakah Mas Seno tahu tentang Lusia dan Maria?
"Mas, apakah Mas Seno tahu kalau dia punya saudara tiri, bahkan ada dua?" tanyaku.
"Tidak. Seno bahkan tidak tahu kalau ibunya itu adalah ibu tiri."
"Hah!" aku terheran-heran.
Aku juga sebenarnya baru tahu tadi itu, tapi masak Mas Seno tidak tahu?
"Mas tahu darimana?" tanyaku.
"Aku tahu karena aku lebih tua dua tahun dari Seno. Aku ingat waktu ibu mengajakku melayat ke rumah Seno, ibunya meninggal dan ibu mertuamu saat ini adalah baby sitter nya."
Aku tercengang mendengarnya. Kepala ku terasa pusing memikirkan banyak hal yang berkaitan dengan Mas Seno, ibu, Lusia, mas Dias. Segala pertanyaan terasa semerawut mengisi kepalaku hingga rasanya tidak muat.
"Dek, mulai sekarang kamu harus hati-hati. Apalagi sekarang ibu dan Lusia sudah tahu kalau kamu mengintai mereka tadi." kata Mas Dias.
Aku mengangguk, seraya tersenyum tipis meyakinkan Mas Dias kalau aku pun mengerti.
"Satu lagi!" Mas Dias membuatku urung pergi.
"Ya?"
"Bicarakan ini pelan-pelan sama suamimu, dia pasti tidak akan menyangka."
Aku mengangguk, aku bahkan tidak tahu bagaimana menyampaikannya. "Terimakasih Mas." kataku.
Belum lagi langkahku sampai di jalanan, aku menabrak seseorang bertubuh besar. Aku mundur dan mendongak ke atas.
happy writing 🎁🎆
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya