--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 14
Waktu sudah ditentukan dan saling menyetujui. Pengobatan kutukan Xavier akan dilakukan setiap minggu akhir, satu jam lewat tengah malam.
Sekarang, Aegle sudah berlalu tanpa mau diantar bahkan hanya sampai halaman. Ditawari menginap juga menolak. Benar-benar wanita aneh.
Xavier terkekeh saat benar-benar sendiri. “Dia itu plin-plan sekali. Sukarelawan yang pada akhir menginginkan uang.”
Apa yang menyebabkan Aegle seperti itu? Tentu saja karena sesuatu.
Karisma seorang Xavier menjadikannya mendadak bodoh dan berakhir plin-plan.
Saat ini di dalam kamarnya, Xavier sudah melupakan kelakuan Aegle yang menggelikan.
Cermin besar memantulkan bayangannya yang tak berbaju. Dia menatap hasil pengobatan malam ini dengan perasaan bercampur. Walaupun kurang sepuluh persen dari seluruh tubuh, dia tetap merasa takjub dengan sebagian kulitnya yang jadi putih---karena ini keajaiban.
“Padahal aku baru saja akan merelakan kenormalan hidup dan menerima sepenuhnya kutukan ini hingga mati. Melihat Ashiana tidak merasa risih dengan baunya saja aku sudah merasa berarti. Tapi kesempatan itu sungguh benar-benar ada. Andai Ashiana sehat, apakah dia akan sebahagia aku?”
Menyentil nama itu, dia jadi ingin melihat keadaan Ashiana sekarang juga.
Gegas membalut tubuhnya dengan kimono lalu melanting keluar menuju kamar sebelah.
Seperti biasa, Xavier tidak akan mengetuk pintu. Respon Ashiana mungkin tak akan baik jika melakukan itu. Setidaknya tidak harus mengganggu istirahat wanita yang bagaimana pun keadaan, tetap adalah istrinya.
Sesuai yang dikatakan Daphne, saat malam kamar itu akan selalu gelap. Ashiana tak suka tidur dengan pendar cahaya yang sangat terang.
Perlahan, tungkak kaki Xavier terayun menuju ranjang di mana istri spesialnya itu terbaring lelap. Ada Daphne di ranjang lain, menemani seperti biasa.
Meski tak terlihat jelas, Xavier bisa merasakan dengkuran halus Ashiana.
Ashiana terbaring menyamping ke arah kanan.
“Posisi tidur yang sangat bagus. Kau cukup sayang paru-paru dan lambungmu." Itu pujian tulus, pria ini sudah berdiri di samping ranjang arah Ashiana menghadap. “Kelak saat semua kutukanku hilang, aku berharap kau juga sudah dalam keadaan sehat. Aku menantikan itu ... Putri Ashiana Philaret.”
Untuk beberapa saat dia menatap wajah itu dalam keterbatasan, lalu berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar.
Esok harinya.
“Ini adalah kabar paling baik yang pernah saya dengar, sama nilainya seperti saat Anda pulang dengan kemenangan dari medan perang, Tuan Muda,” Luhde berkata jujur.
“Terima kasih, Luhde. Tolong rahasiakan ini dari siapa pun. Nona Aegle juga sudah kuminta demikian.”
“Baik, Tuan Muda.”
Tidak ada jadwal pelatihan prajurit di istana, tapi Xavier tetap akan ke sana, membawa serta Ashiana bersamanya.
Bukan tanpa alasan, mereka diundang Kaisar makan siang bersama.
“Mobil sudah siap, Tuan Muda.”
Xavier mengangguk tipis. “Sebentar lagi, Asha masih bersiap.”
Sekali Proka merunduk, lalu undur diri.
Tak lama, Ashiana datang dalam gandengan Daphne dan satu pelayan lain kiri dan kanan.
Sempat sesaat Xavier terpaku, mata merahnya diam di wajah Ashiana yang kian dekat, lalu segera menepis diri.
“Ayo, istriku," ajaknya seraya menjulurkan telapak tangan.
Mata polos Ashiana menatap telapak itu, lalu berjingkrak dan menerima seolah mendapat mainan seru.
Daphne dan teman pelayannya tersenyum senang melihat pemandangan yang bagi mereka begitu langka. Mereka tak ikut serta.
Sekarang Ashiana dibawa Xavier ke arah luar menuju mobil.
“Urusi yang beberapa hari lalu tertunda. Aku mungkin akan pulang sedikit terlambat," pesannya pada Luhde yang sedari tadi mengikuti dari belakang.
“Baik, Tuan Muda.”
Mobil melaju meninggalkan halaman mansion.
Sepanjang perjalanan Ashiana terus bertingkah. Setiap hal menarik yang dilihatnya ditunjuk-tunjuk dengan kegirangan seraya mengguncang-guncang lengan Xavier agar ikut melihat apa yang dia tunjuk, tapi tak bicara seperti biasa.
Bukan terganggu ataupun risih, Xavier justru merasa sedikit iba.
Sejauh apa ketidaktahuannya tentang dunia luar?
Tiang listrik saja dianggapnya seperti penyangga langit. Air mancur kota ditatapnya seperti melihat ratusan angsa terbang membawa selendang. Burung bertengger dia meringsut takut, seolah hewan cantik itu bisa membunuhnya dengan paruh yang begitu kecil.
Ashiana oh Ashiana ... bagaimana bisa hidup seorang putri bisa serumit itu?
Informasi yang didapat Luhde dari telik sandi yang ditaruhnya di istana menyatakan jika Ashiana menjadi seperti itu sejak usia 12 tahun, tak lama setelah kebakaran di galeri istana yang membuatnya kehilangan kakak laki-laki pelindung satu-satunya.
Itu pukulan terakhir sebelum akhirnya Ashiana kecil menyerah. Mentalnya digempur dengan kesedihan dalam satu tahun penuh. Jadi tumbuhlah dia yang seperti sekarang.
Penuh empati, Xavier duduk memepet posisi duduk Ashiana lalu memeluk dari belakang, menunjuk berbagai keindahan dan menjelaskan secara ringan pada wanita itu tentang banyak hal sepanjang jalan. Ashiana terus mengangguk seolah paham dengan mata polosnya.
Adalah pemandangan terindah yang pernah dilihat Proka di dalam mobil selama menjadi supir Xavier, dia sangat terkagum melihat itu.
“Bagaimana Dewa tak sayang Anda, Tuan Muda. Puluhan perang dilalui pun aku yakin Anda tak akan mati semudah itu. Anda begitu hangat. Semoga kebahagiaan merengkuh Anda bersama Tuan Putri yang kuharap ke depan, jiwa beliau pun akan segera sehat.”
Diaminkan oleh penulis.
Jarak terpungkas jauh tanpa terasa.
Mereka tiba di istana kekaisaran.
Langsung menuju taman belakang yang mana diadakan acara makan siang bersama. Sengaja Kaisar memilih tempat itu dengan alasan lebih tenang dengan embusan angin di musim semi.
“Ah, keponakanku dan menantu. Selamat datang kembali di istana. Kalian nampak segar sekali.” Kaisar menyambut dengan wajah sumringah.
“Terima kasih atas sambutan Anda, Yang Mulia. Selamat siang, Yang Mulia Ratu, Putra Mahkota dan Putri Anolla.”
Mereka yang disapa Xavier membalas seadanya, anggukan tipis disertai senyuman samar.
“Ayo silakan duduk,” kata Kaisar seraya menunjuk kursi-kursi kosong untuk Xavier dan Ashiana.
Ashiana dituntun Xavier menempati sebuah kursi lalu dia duduk di sampingnya setelah mengatakan dengan lembut sebuah kalimat kepada istrinya itu. “Duduk tenanglah. Tetap bersikap cantik demi hari yang indah ini." Lalu mengusap lembut pipi halus yang penuh rona.
Respon Ashiana akan selalu seperti itu, aneh sendiri.
Di sana yang paling senang adalah Putri Anolla. Tidak ada kata, hanya seulas senyuman yang memaknai sebuah kesan penuh dukungan.
Berbeda dengan Ratu Jennefit dan Putra Mahkota Arion, begitulah. Tidak banyak minat.
Ashiana menurut seperti kelinci kecil yang senang dielus-elus, karenanya acara makan siang menjadi tenang tanpa gangguan tingkah princess yang sakit itu.
Dilanjutkan dengan obrolan antara Kaisar, Xavier dan Putra Mahkota Arion yang membahas perkara perang, sementara Ashiana ....
“Kami akan membawa Asha jalan-jalan di taman istana. Bahasan para lelaki tidak cocok untuk kami yang lemah lembut.” Ratu Jennefit sudah berdiri dengan Ashiana dalam rangkulan.
“Silakan, Yang Mulia Ratu." Tidak ada alasan Xavier untuk menahan meskipun sedikit merasa berat.
Dan perasaan itu rupanya sudah mengendus sebuah tindakan kotor Ratu Jennefit.
Beberapa saat kemudian ....
“Ibu! Apa yang akan Ibu lakukan pada Asha?!”
“Kau diam saja, Anolla! Ibu hanya ingin tahu apakah Asha dan panglima itu sudah berhubungan badan atau tidak!”
Anolla mendesah kasar. “Bukankah ini sangat keterlaluan, Ibu?!”
“Sudah kubilang diam!" hardik Jennefit. “Kalian! Lakukan dengan cepat!”
“Baik, Yang Mulia Ratu.”
Saat ini mereka berada di sebuah kamar pelayan.
Ada tiga dayang. Dua dari mereka adalah yang dulu biasa mengurusi Ashiana, sedang satu lainnya sudah berumur tua.
Ashiana dipaksa terlentang di atas ranjang. Satu dayang memposisikan diri di bagian atas untuk mengikat kedua tangan Ashiana, sedang satu lainnya membantu melebarkan pasang kaki putri gila itu.
Ekspresi Ashiana tersirat takut. Tapi Ratu Jennefit mengatakan padanya, “Kami tidak akan berbuat jahat padamu, Asha. Hanya memastikan sedikit hal. Kau tenang dan bekerjasama lah.”
Ashiana diam dengan wajah ketakutan seperti bocah.
“Cepat, Berta!”
Dayang tua mengangguki seruan Ratu, gegas dia mendekat ke tengah antara dua kaki Ashiana yang melebar. Satu telapak tangan terjulur ke bagian intim dengan dua jari bersiap.
Putri Anolla membuang wajah dengan perasaan ngilu.
Sampai jeritan Ashiana terdengar, tapi tak cukup keras untuk sampai ke telinga Xavier.
“Bagaiman hasilnya, Berta?” tanya Ratu Jennefit setelah itu.
Mereka menahan Ashiana yang kini berontak dan menggila.
“Sepertinya Putri Asha masih perawan, Yang Mulia.”
Seketika menyenangkan wajah Ratu Jennefit, senyumnya mengembang lebar. “Bagus. Dugaanku benar. Meski tubuhnya berbau busuk, panglima itu tetap memasang harga yang tinggi. Dia tak akan sudi menggauli putri yang gila. Demikian berarti mereka tidak akan pernah memiliki keturunan untuk mengacau pemerintahan kekaisaran.”
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/