NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:857
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.

Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.

Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.

Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12. AJAKAN

...“Ada yang mengatakan setiap pertemuan adalah Takdir....

...Nyatanya, bukan takdir yang mempertemukan kita,...

...melainkan rencana yang kau buat....

...Lalu peran apa yang kau pilihkan untukku?...

...Antagonis? Protagonis? Atau tidak keduanya?”...

Setelah Andre menemukan tempat yang dicarinya dan mengambil gambar yang ia perlukan, kemudian ia mengajakku ke tempat yang tepat untuk tugas dari Mbak Dewi.

Sebuah cafe terbuka.

Kami duduk di bawah di tempat duduk yang berada di pinggir jalan, sehingga banyak sekali pejalan kaki yang terlihat. Kondisi sekitar begitu menyenangkan dengan nuansa warna natural dan tidak menyakiti mata. Duduk di bawah payung besar sebagai kanopi dan bersebrangan dengan Andre, seraya menyesap es kopi yang cocok dengan cuaca hari ini Benar kata Andre kalau di sini adalah tempat yang tepat untuk mencari bahan referensi seperti yang di sebutkan oleh Mbak Dewi. Banyak sekali orang yang berlalu-lalang dengan berbagai mode pakaian kesukaan mereka, sehingga sangat cocok untuk menjadi tempat referensi mode majalah.

Andre terus berceloteh tanpa henti seraya menikmati makanan dan minuman dingin yang telah tersaji di hadapannya. Beberapa kali bahkan ia mengangguku memotret dan setelah itu tertawa senang. Namun, ia justru membantu memilihkan model yang tepat dari orang-orang yang berlalu-lalang. Walau gaya bicaranya semaunya, penilaian Andre cukup bagus, bahkan ucapannya membuatku menganga tidak percaya kalau yang bicara itu seorang Andre.

“Apa lo yakin kalau nggak punya hubungan sama Bos Juna?” tanyanya tiba-tiba.

“Tentu aja nggak. Jangan buat gosip yang nggak-nggak apalagi di kantor, bisa gue pastiin lo nggak akan bisa jalan lagi kalau nyebar kabar nggak bener,” ancamku.

Ia tertawa kecil. “Kalau nggak punya hubungan apa-apa kenapa lo keliatan murung dari tadi abis bertengkar?”

Aku terkejut dengan ucapan dari Andre, tidak tahu kalau aku bersikap seperti itu. “Lo ngomong apa, siapa yang murung?”

“Berkelit nih? Padahal jelas banget kalau lo keliatan senang sebelum bertemu Bos Juna di lobi. Apa mungkin lo suka Bos jadi karena pertengkaran kecil tadi lo langsung berubah kayak dunia bakal berakhir?” tuduhnya yang membuatku semakin terkejut.

“Hah? Ya-yang benar aja, dia itu atasan kita nggak mungkin gue punya perasaan sama dia,” jawabku yang bahkan untukku sendiri tidak terdengar meyakinkan.

“Apa karena alasan itu, karena dia atasan jadi lo nggak bisa suka sama dia? Kalau gue yang bilang suka, lo bakal kayak mana? Gue bukan atasan lo,” Andre berkata dengan pandangan langsung ke mataku. Aku tidak tahu apakah yang ia ucapkan itu hanya candaannya saja atau serius. Tapi, aku tidak terlalu terkejut ketika mendengarnya.

Aku membuang wajah ke samping, rasanya tidak ingin melihat ekspresi Andre saat ini. Mendengar penuturan seperti itu membuatku ... tidak nyaman. Bukan karema Andre, melainkan karena diriku sendiri yang masih sulit untuk menerima hal seperti itu.

"Kenapa tiba-tiba murung begitu? Seenggak suka itu denger gue bilang suka sama lo?" tanyanya tanpa ada nada menyudutkan.

“Bukan, tentu saja bukan. Gue hormati kalau apa yang lo bilang itu serius. Tapi untuk saat ini rasanya berat bagi gue suka seseorang,” ucapku dengan nada sedikit pelan, pikiranku mulai menerawang jauh sekarang.

“Kenapa? Bukannya nggak sulit untuk suka seseorang?” Aku tidak tahu kenapa Andre begitu tertarik dengan topik ini.

“Entahlah. Mungkin karena dulu gue pernah suka banget sama seseorang, tapi akhirnya dia justru sama temen gue, jadinya agak gimana gitu. Padahal awalnya dia yang berusaha untuk deket banget, selalu muncul pas gue butuh. Rasanya kayak gue udah dikhianati setelah dia berhasil mengambil hati gue tapi dia justru malah jadian sama temen gue. Butuh waktu nggak sebentar untuk melupakan perasaan itu, sekitar tujuh tahun, pas gue kuliah gue mulai nggak mikirin dia lagi. Dari itu gue sadar kalau cinta nggak lebih dari sebuah lelucon. Dan kalau omongan lo serius soal suka sama gue, mungkin ada baiknya lo jangan suka sama gue. Karena gue nggak bisa bales perasaan itu,” cerocosku akan masa lalu yang selama ini hanya diketahui oleh dua teman baikku dan kakakku. Pikiranku seakan kembali lagi ke masa itu, membuatku merasa takut.

Bahkan Kak Indra selalu mengingatkanku tentang menaruh hati lagi untuk lawan jenis. Karena Kak Indra bilang kalau aku adalah tipe orang yang kalau udah jatuh cinta bakal terus cinta sampai akhir. Tipe setia katanya. Tapi kutukan untukku jika cinta itu tidak terbalas. Karena perasaan itu akan selalu ada dan menyakitkan ketika mencintai yang tidak bisa dimiliki.

“Terkadang lo harus buka hati lo untuk orang lain, ada orang yang tulus sama lo di luar sana. Cinta itu bukan lelucon, Ayuni. Pikiran lo mungkin bisa bilang begitu, tapi hati lo nggak akan pernah bisa bohong,” kata Andre yang pertama kalinya kulihat keseriusan dalam ucapan dan air mukanya.

“Denger lo serius kayak gitu kok kesel ya,” celetukku.

“Wah, lo bener-bener jahat. Lo udah nolak gue, gue kasih nasehat buat lo, tapi lo malah kayak gitu.” Ia memalingkan wajahnya dariku, ngambekkah ceritanya?

“Hei, gue cuma bercanda aja kok.” Seketika aku merasa bersalah karena celetukan yang kuperuntukan untuk cadaan sepertinya melewati batas.

Ia tetap diam seribu bahasa, sok tidak peduli dengan yang kukatakan padanya. “Maaf deh, gue traktir kayak mana?”

“Oke, gue maafin,” jawabnya langsung.

Entah kenapa reaksinya bisa secepat itu jika menyangkut traktiran dariku. “Gue heran kenapa lo selalu kelaparan, selalu minta traktir.”

“Gue cuma minta traktir sama lo aja, jadi jangan khawatir. Lagipula pria yang hidup sendiri memang selalu terlihat seperti kelaparan, dan mendapatkan makanan dari orang lain itu seperti mendapatkan makanan dari anggota keluarga sendiri,” jawabnya dengan wajah main-main, haruskah aku percaya?

“Memangnya lo tinggal sendirian? Keluarga lo?” tanyaku.

“Mereka di luar kota,” jawabnya singkat dan langsung melahap makanan di hadapannya dengan rakus.

Terkadang aku berpikir Andre memiliki kepribadian ganda. Terkadang bisa bersikap begitu dewasa, namun tiba-tiba kembali seperti toddler tantrum biang kerusuhan.

“Gue rasa dia bukan manusia,” gumamku saat melihat cara ia makan.

Kualihkan pikiranku dan juga padanganku darinya dengan memotret orang-orang yang berlalu-lalang, mencari tugasku yang tersisa. Walau sebenarnya ucapan Andre tadi terus berputar di benakku, mencari kebenaran yang mungkin memang kuhindari selama ini.

Aku memutuskan untuk kembali ke kantor, memaksa Andre yang masih ingin bermain di luar dan makan lagi dan lagi. Kurasa ini alasan ia suka sekali merengek agar dapat kerja lapangan.

Kuberikan foto-foto yang kudapatkan kepada Mbak Dewi setelah memilih yang diperlukan. Keadaan di luar sudah cukup gelap, sepertinya aku terlalu lama menghabiskan waktu di luar dengan Andre. Toh salahkan pria itu juga karena ia menggiringku ke sana-sini dengan alasan mencari gambar untuk artikel padahal hanya untuk membuatnya mulutnya terus mengunyah.

Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku ketika aku kembali ke kantor. Sebuah kertas memo tertempel pada layar komputerku. Tulisannya membuatku tersenyum, membayangkan bagaimana ia mengumpulkan harga diri untuk melakukan hal semacam ini.

Maaf, saya nggak bermaksud buat kamu marah.

Sepertinya bukan hanya aku yang memikirkan pertengkaran siang tadi. Aku tidak menyangka kalau Bos Juna akan melunakkan hatinya untuk meminta maaf walau secara tidak langsung. Ya, kukira dengan ini aku bisa mengatakan kalau kami adalah teman—setidaknya itulah anggapanku. Mencari titik aman untukku sendiri.

Saat aku hendak pulang, aku tidak tahu kemana Dini dan Rini berada. Padahal sudah satu minggu lebih mereka selalu pulang denganku, tapi sekarang aku tidak melihat kehadiran mereka berdua di ruangan ini. Mungkinkah mereka menunggu di luar?

Seraya berjalan ke luar setelah berpamitan dengan yang masih ada di ruangan, aku mengecek handphone-ku untuk melihat apakah ada pesan masuk atau tidak. Aku harus berterima kasih kepada kakakku karena dengan baik hati ia memberikan ponsel baru agar mudah menghubungiku, padahal aku punya tabungan untuk membeli yang baru. Terkadang aku sering merasa tidak enak karena Kak Indra selalu memanjakanku dengan alasan kalau aku adalah adik dan juga satu-satunya anggota keluarga.

Kulihat Dini mengirimiku pesan yang mengatakan kalau mereka berdua pulang lebih dulu dan tidak perlu menunggu.

“Jadi, aku pulang sendiri malam ini?” gumamku setelah membaca pesan yang masuk.

“Tentu saja Mas yang antar pulang.” Suara nan familiar membuatku mendongakan kepala dan melihat dirinya yang entah sejak kapan ada di hadapanku, hanya beberapa langkah saja dariku.

“Bos?”

“Mas," ralatnya. "Sudah saya bilang kalau jangan panggil seperti itu pas di luar pekerjaan,” kata Bos Juna dengan senyum lembut yang membuatku tidak berhenti memandanginya.

“Mas Juna belum pulang?” tanyaku, karena kupikir ia memang sudah pulang.

“Mas nunggu kamu. Mas udah bilang kalau nggak akan biarin kamu pulang sendiri, kan.” Melihat Bos Juna tersenyum begitu ramah membuatku merasa salah tingkah sendiri, apa mungkin susana hatinya sudah kembali bagus?

Tentu aku mengikutinya tanpa bantahan. Aku tidak ingin pertengkaran seperti siang tadi terjadi lagi. Bos Juna sudah mau kembali bersikap seperti sebelumnya saja aku sudah merasa sangat beruntung, karena bagaimana pun juga ia adalah atasanku dan membuatnya marah sudah pasti akan membuatku takut.

Selama perjalanan seperti biasa tidak ada yang bicara di antara kami. Dan karena sudah terbiasa dengan situasi ini, aku bisa menikmati jalanan di luar dengan tenang tanpa rasa canggung. Namun, kali ini pemandangan di sampingku justru menarik perhatianku. Entah sudah berapa kali mataku terus saja melihat ke arah Bos Juna, penasaran akan sesuatu yang tidak kutahu. Sepertinya pertengkaran mengubah sesuatu.

Decitan ban mobil terdengar, mengeluarkanku dari lamunan kecil dan sadar kalau mobil telah berhenti di depan rumahku.

“Kayaknya kamu keliatan capek hari ini, sebaiknya langsung istirahat aja,” kata Bos Juna saat aku melepaskan sabuk pengamanku.

Aku hanya menganggukan kepalaku. “Makasih udah dianterin, Mas.”

“Nggak masalah." Ia tersenyum selembut nada suaranya.

“Sampai ketemu besok," ucapku untuk tetap berusaha terlihat tenang, walau jantung rasanya tidak mau bekerja sama.

“Ayuni?” panggil Bos Juna saat aku hendak membuka pintu mobil, membuatku kembali melihat ke arahnya. “Mas minta maaf atas sikap Mas yang egois siang tadi. Mas hanya nggak mau kalau sesuatu seperti malam itu terjadi lagi sama kamu, jadi mungkin karena khawatir Mas bersikap berlebihan.”

Untuk beberapa detik aku terdiam, berusaha mencerna ucapan atasanku yang terdengar amat tulus terhadap permintaan maafnya. “Saya juga minta maaf karena nggak mendengarkan Mas Juna, padahal Mas Juna atasan saya. Makasih karena udah mau direpotkan oleh saya apalagi sampai mengkhawatirkan saya, saya sungguh menghargainya.”

“Sebagai permintaan maaf, kayak mana kalau kamu temenin Mas nonton minggu nanti? Udah lama Mas nggak ambil waktu libur dan jalan-jalan, tapi kalau sendirian ke tempat ramai itu jadi seperti orang kikuk. Dan Mas juga nggak tahu mau ajak siapa. Jadi bisa?” ajaknya.

“Hah? Sa-saya rasa bisa,” jawabku ragu, tidak percaya dengan ajakan Bos Juna. Otakku masih memeroses ajakan tiba-tiba dari atasanku ini, apakah aku yang salah dengar atau memang ia mengatakannya.

“Oke, kalau gitu kita ketemuan di depan Bioskop XXI minggu jam sebelas," katanya dengan senyum lebar saat mendengar aku setuju.

Aku hanya menganggukkan kepala menyetujui permintaannya.

Rasanya masih berusaha percaya dengan ajakan dari Bos Juna, bahkan saat mobil hitam yang kutumpangi tadi telah menghilang di tikungan. Ajakan mendadak seperti itu adalah hal yang tidak biasa untukku, terutama dari seorang pria terlebih adalah atasanku sendiri.

Namun herannya, entah kenapa walaupun ragu aku merasa antusias atas ajakan itu, hingga aku bergumam, “Aku harus pakai baju apa minggu nanti?”

1
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!