NovelToon NovelToon
Nama Yang Salah Kulangitkan

Nama Yang Salah Kulangitkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Dosen / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ibnu Hanifan

Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Monika Dan Penyesalan Yang Tertahan

Permainan caturku bersama ayah Monika terhenti ketika ponselnya berbunyi. Suaranya sedikit terburu-buru saat berkata, "Alan, bentar ya. Om ada telepon penting."  

"Iya, Om," jawabku sopan.  

Sebelum pergi ke ruang kerjanya, ia sempat berpesan, "Monika, temenin Alan dulu, ya." Suaranya terdengar lantang memanggil Monika, yang mungkin masih di kamarnya.  

Tidak lama, Monika muncul dengan wajah khasnya yang terlihat jutek seperti biasanya. Ia berjalan perlahan dan duduk di sebelahku tanpa sepatah katapun. Tangan kanannya begitu sibuk menggulir layar ponselnya, sementara matanya hanya sesekali melirikku dengan ekspresi yang sulit ditebak.  

"Tadi Papa ngomong apa sama kamu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar namun penuh selidik.  

Aku hanya mengangkat bahu. "Nggak ngomong apa-apa, cuma ngobrol biasa."  

Monika langsung menyipitkan mata, menatapku seolah tidak percaya. "Jangan bohong," katanya tegas.  

Sebelum aku sempat menjawab, dia menunduk ke arah kursi di dekatku dan menarik sesuatu dari celah bantal. Aku tertegun saat melihatnya mengambil sebuah ponsel. Monika dengan cepat menekan layar ponsel, yang ternyata ponsel itu sedang dalam keadaan panggilan aktif. Dia juga menunjukan ponsel yang dia bawa dalam keadaan yang sama .

Monika menatapku dengan senyum penuh kemenangan. "Ketahuan, kan? Jadi, kalian ngobrol apa tadi?"  

Aku hanya bisa melongo, setengah kaget dan setengah bingung. "Monika, kamu... nguping pembicaraan kami?" tanyaku, tidak percaya.  

"Ya, memang. Terus kenapa?" jawabnya santai sambil mematikan panggilan di ponselnya. "Papa tuh sering ngomong hal-hal aneh ke orang lain. Jadi aku cuma mau tahu dia ngomong apa soal aku."  

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Monika, kamu nggak perlu sampai nguping segala. Kalau ada yang mau kamu tahu, kenapa nggak tanya langsung ke ayahmu?"  

Monika mendengus kecil, lalu menatap layar ponselnya seolah tidak peduli. "Tanya langsung? Kamu pikir Papa bakal jawab jujur? Dia selalu bilang aku harus berubah, tapi dia sendiri nggak pernah benar-benar ngertiin aku."  

Aku terdiam sejenak, mencoba memahami. "Monika, Om tadi cuma bilang kalau dia senang kamu mulai berubah sejak bertemu sama aku. Dia hanya ingin kamu lebih terbuka dan bahagia."  

Monika mendongak, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Papa ngomong kayak gitu?"  

"Iya," jawabku jujur. "Dia nggak bilang hal buruk soal kamu. Dia cuma khawatir karena merasa hubungan kalian renggang sejak... kejadian tiga tahun lalu."  

Ekspresi Monika perlahan melunak. Dia menghela napas panjang, lalu bersandar di sandaran kursi. "Aku nggak tahu... mungkin aku terlalu keras sama Papa." 

“Alan, ikut aku,” kata Monika tiba-tiba, sambil menarik tanganku menuju lantai atas ke kamarnya. Aku sempat bingung, tapi mengikutinya tanpa banyak bertanya.

Begitu pintu kamar terbuka, aku tertegun. Kamarnya sangat luas, jauh dari bayanganku. Di satu sisi terdapat lemari kaca besar yang penuh dengan piala. Ada juga rak-rak yang dipenuhi foto-foto Monika saat memenangkan berbagai perlombaan, mulai dari tingkat provinsi hingga nasional.

Aku memperhatikan foto-foto itu dengan seksama. Monika di foto-foto itu sangat berbeda dengan Monika yang ada di depanku sekarang. Di foto, dia tampak seperti gadis lugu yang cantik dengan senyuman polos. Sementara sekarang, Monika lebih modis, sedikit berani, dengan kesan mandiri yang kuat.

Monika mendekat ke lemari kaca dan memandangi piala-piala itu dengan tatapan kosong. “Dulu, aku punya mimpi besar,” katanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan. “Tapi semuanya berubah saat Ibu meninggal.”

Aku tetap diam, memberi Monika waktu untuk melanjutkan.

“Waktu itu, duniaku benar-benar hancur. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu mendukungku di segala hal,” lanjutnya, suaranya bergetar. “Dan Ayah… dia nggak ada di sampingku. Dia ada di luar negeri. Aku merasa benar-benar sendirian.”

Monika terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan nada getir, “Saat itu, cuma ada Rian. Dia satu-satunya orang yang perhatian sama aku. Kami mulai pacaran, dan aku mulai mengikuti dia kemana-mana. Aku pikir dia tempatku berlindung.”

Aku melihat ada kesedihan mendalam di matanya. “Tapi, Rian malah membawaku ke dalam pergaulan yang nggak baik. Aku mulai berubah, jadi orang yang berbeda. Tapi aku masih bersyukur… karena aku masih bisa menjaga diriku. Sehingga membuat Aku nggak terjerumus terlalu jauh dalam pergaulan yang tidak baik itu”

Aku menghela napas, berusaha memahami pergulatan emosionalnya.

Monika memalingkan wajahnya ke arah jendela, matanya berkaca-kaca. “Sampai aku bertemu kamu,” katanya pelan. “Entah kenapa, aku mulai sadar kalau semua yang aku lakukan selama ini salah. Terutama sikapku ke Ayah. Dia memang nggak sempurna, tapi dia sudah berusaha menjadi ayah yang baik dan orang tua tunggal bagiku. Dan aku… aku malah menjauhinya.”

Tanpa bisa menahan airmatanya lagi, Monika mulai menangis. Air matanya jatuh deras, membasahi pipinya. Aku yang berdiri di dekatnya, tanpa berpikir panjang, meraih bahunya dan memeluknya.

“Monika, kamu nggak sendiri. Aku pasti bantu kamu,” kataku dengan suara pelan, mencoba menenangkan. “Kamu bisa perbaiki hubungan kamu dengan Ayahmu. Semua ini masih belum terlambat.”

Monika menangis dalam pelukanku, melepaskan semua emosi yang selama ini ia tahan. Namun, momen itu terputus saat terdengar suara ketukan di pintu.

Kami berdua tersentak dan langsung melepaskan pelukan. Monika buru-buru menghapus air matanya, sementara aku mencoba menenangkan diri.

Ayah Monika menatap kami dengan tatapan heran. Suasana menjadi hening dan sangat canggung. 

"Papa, ada apa. Tadi Mas Alan sedang melihat-lihat foto-foto sama koleksi piala Aku" jelas Monika sambil terbata-bata.

"Oh, Gimana Alan, Monika sebenarnya anak yang pinter kan?" tanya Ayah Monika.

Aku mengangguk sambil tersenyum canggung. “Iya, Om. Tapi ngomong-ngomong kayanya udah terlalu malam, kayanya Saya harus pamit pulang.”

Monika mengantarku ke depan rumah. Saat kami berjalan, suasana menjadi sedikit canggung, tapi tidak terasa berat.

“Mas Alan,” katanya sebelum aku menaiki motorku.

“Terima kasih.” kata Monika sambil mencium pipiku

Aku hanya terdiam tidak menyangka Monika akan menciumku.

Saat aku sedang  dalam lamunan. Monika menepuk pundakku.

"Jangan ngalamun" katanya sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum dan tidak bisa bilang apapun.

"Ya udah aku pulang dulu" kataku sambil menatapnya.

Monika melambaikan tangannya  saat aku mulai menyalakan motorku.

. “Monika, Aku yakin Kamu pasti bisa, Hubunganmu sama ayahmu pasti akan membaik, Yang penting kalian berdua saling percaya.”

Monika mengangguk pelan, matanya penuh rasa percaya diri yang baru. Setelah itu, Melajukan motorku meninggalkan rumah Monika dengan harapan besar bahwa ini akan menjadi awal yang baik untuk hubungan Monika dengan ayahnya.

1
_senpai_kim
Terpancar perasaan cinta penulis terhadap ceritanya.
Phoenix Ikki
Bukan main bagusnya.
Ibnu Hanifan: terima kasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!