Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Fasya duduk dikursi ruang tamu sambil melihat kearah halaman. Perasaannya tak tenang. Dia benci situasi ini, benci harus menerima kenyataan jika saat ini, suaminya tengah berduaan dengan wanita lain.
Dia mengusap perutnya, andai dia hamil, semua ini tak akan terjadi. Disaat pikirannya tengah kacau karena memikirkan Sabda, ponselnya yang ada diatas meja berdering. Cepat-cepat dia mengambil benda pipih tersebut. Dia harap Sabda yang menelepon, tapi kenyataannya, mamanya yang ada di Singapura yang menghubungi.
"Iya Mah," sahut Fasya dengan suara lemah. Kalau keluarganya yang menelepon, dia yakin yang akan dibahas tak jauh dari uang.
"Bagaimana, kamu sudah mendapatkan uang itu?"
Fasya menghela nafas berat. Dia memijit mijit pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing. "Belum."
"Kenapa lamban sekali. Rumah bisa disita jika kamu tak segera mendapatkan uang itu. Cepat minta pada Sabda."
Fasya tersenyum getir. Mudah sekali mamanya bilang seperti itu. Minta?
"Aku bingung harus mencari alasan apa untuk meminta uang sebanyak itu Mah. Aku tak mau Sabda tahu jika papa bangkrut dan dipenjara. Apalagi ibu mertuaku. Bisa-bisa sikapnya akan berubah 180 derajat jika tahu semua ini." Fasya menyandarkan punggungnya dikursi. Masalah keluarganya sungguh membuat pusing. Uang di rekeningnya sudah habis untuk membayar hutang dan mengawal kasus papanya. Dan sekarang, dia bingung harus mencari uang kemana lagi.
"Kamu jual saja semua perhiasan kamu?"
"Aku rasa itu juga belum cukup untuk menebus rumah Mah."
Terdengar suara helaan nafas dari seberang sana. "Atau kamu curi saja salah satu surat berharga milik Sabda, sertifikat tanah atau apapun. Lalu kamu jual."
"Apa, mencuri?" Pekik Fasya yang kaget dengan ide gila mamanya.
"Siapa yang mencuri?"
Deg
Fasya langsung kalang kabut melihat kedatangan Yulia. Segera dia menutup telepon dan berpura pura tak terjadi apa-apa.
"I, ibu." Jantung Fasya berdegup tak karuan dan wajahnya pias. Dia takut Yulia mendengar obrolannya barusan.
"Kamu kenapa, siapa yang mencuri?" Yulia berjalan mendekatk Fasya.
Fasya bingung, dia memutar otaknya untuk mencari jawaban paling masuk akal. "Ma, mamaku. Mak, maksudku, pembantu dirumah mamaku mencuri. Dia membawa kabur perhiasan dan uang jutaan dolar dibrankar milik papa."
Yulia tampak kaget mendengarnya. Dia duduk disebalah Fasya lalu merangkul bahunya untuk memberi kekuatan. "Kurang ajar sekali orang itu. Apa sudah dilaporkan ke polisi?"
Fasya hanya menjawab dengan anggukan.
"Orang seperti itu tak boleh dilepaskan, harus diusut tuntas kasusnya. Nanti biar Sabda yang bantu."
"Ti, tidak perlu Bu. Papaku bisa mengatasi semuanya. Hanya mungkin, papa butuh sedikit uang."
"Nanti bicarakan dengan Sabda. Oh iya, apa Sabda sudah tahu tentang ini?"
Fasya menggeleng. "Dia belum tahu. Dan sekarang, dia juga belum pulang."
"Apa!" Rahang Yulia seketika mengeras dan telapak tangannya mengepal. Dia pikir, Sabda yang Nuri sudah pulang daritadi. "Pasti wanita miskin itu mengajaknya mampir ketempat lain setelah periksa. Tak mungkin periksa kandungan selama ini."
Pikiran Fasya makin kacau gara gara ucapan Yulia. Benarkan suaminya itu sedang mampir kesuatu tempat? Bersama Nuri, berduaan. Astaga, kepalanya terasa mau pecah.
.
.
.
Selesai makan, Sabda langsung mengajak Nuri pulang. Dia tak mau membuat Fasya menunggu lama. Mobil yang dia kendarai tak bisa melaju kencang karena jalanan yang cukup padat dimalam akhir pekan.
Saat melihat penjual telur gulung dipinggir taman, Nuri tiba-tiba teringin makan jajanan tersebut. Namun dia ragu untuk bilang pada Sabda, apalagi dia tahu jika saat ini, Fasya sedang menunggu dirumah. Tapi semakin dilihat, Nuri semakin teringin, sampai-sampai, dia menelan ludahnya sendiri.
"Bisakah berhenti sebentar," ujar Nuri yang merasa tak bisa menahan keinginannya.
"Ada apa? Apa ada barang yang ketinggalan di restoran?" tanya Sabda sambil menoleh kearah dimana Nuri duduk.
"Tidak."
"Lalu?"
"Aku ingin beli telur gulung." Nuri menoleh, menunjuk penjual telur gulung yang sudah terlewat sedikit.
Sabda tak menyahuti, melainkan langsung menepikan mobilnya lalu berhenti.
Nuri tersenyum, dengan tak sabar dia melepas seatbeltnya. Mungkin ini yang dinamakan ngidam, batinnya.
"Kakak tunggu disini saja, biar aku beli sendiri."
"Aku temani."
Keduanya lalu turun dari mobil. Berjalan beriringan menuju penjual telur gulung yang menggunakan gerobak motor. Tampak beberapa orang sedang mengantri, tapi hal itu tak menyurutkan niat Nuri untuk membeli.
Berbeda dengan Sabda, dia mendadak ragu saat melihat gerobak yang menurutnya kurang higinis. Dia menarik lengan Nuri sedikit menjauh dari gerobak. "Kita beli ditempat lain saja."
"Emang kenapa?"
"Gerobaknya terlihat kotor. Lebih baik kita cari ditempat yang lebih bersih."
Nuri tersenyum mendengar alasan Sabda. "Bersih kok. Tampilan gerobak motor emang rata-rata kayak gini. Gak bisa sebersih stan di mall atau didepan minimarket. Tapi aku jamin, rasanya enak." Nuri mengacungkan jempolnya.
"Jangan hanya memikirkan rasa. Aku takut kau malah sakit perut setelah memakannya."
Nuri makin terkekeh mendengar ucapan Sabda. Dia bisa menarik kesimpulan jika Sabda sangat berbeda dengan Dennis dalam hal memilih makanan. Dennis tak terlalu rewel seperti Sabda.
"Tenang saja, aku sudah biasa beli disini. Dan terbukti, aku tak pernah sakit setelah memakannya."
"Jadi kau sudah sering beli disini?"
Nuri mengangguk. "Ini salah satu makanan favoritku dan Dennis. Biasanya, kami akan membeli beberapa tusuk lalu duduk disana." Nuri menunjuk sebuah bangku panjang yang ada ditaman.
"Jadi, ini tempat kalian berkencan?"
"Bisa dibilang begitu." Tempat ini memang mengingatkan Nuri pada Dennis. Mungkin, jika Dennis tak meninggalkan kesan buruk sebelum pergi, dia akan merasa sangat kehilangan. 7 bulan bersama, banyak momen indah yang mereka lalui bersama. Dulu, sebelum Dennis membuatnya kecewa, Nuri sangat tulus mencintainya.
"Ya sudah, ayo kita beli."
Nuri menyambut suka cita izin dari Sabda. Dengan semangat 45, dia berjalan dulu meninggalkan Sabda menuju tempat penjual. Setelah mengantri sebentar, akhirnya Nuri mendapatkan 10 tusuk telur gulung yang dia idamkan.
Nuri langsung memakannya ditempat meski asap panas terlihat masih mengepul.
"Tunggu dingin dulu," ujar Sabda.
"Gak sabar, ini enak banget," sahut Nuri sambil mengunyah sedikit telur gulung yang ada dimulutnya.
Sabda tersenyum sambil menyentuh puncak kepala Nuri. Dia tak bisa banyak komentar kalau sudah tentang ngidamnya ibu hamil.
"Apa kau ingin duduk dulu disana?" Sabda menunjuk kursi yang tadi ditunjuk Nuri.
"Apa tidak masalah? Bukankah Kak Fasya sudah menunggu kedatangan Kakak?"
"Kurasa 10 menit tidak akan jadi masalah."
Nuri langsung mengangguk. Meski tempat ini mengingatkan dia pada Dennis, tapi dia tetap menyukai tempat ini. Dan entah mengapa, dia teringin duduk disana.
Disebuah kursi panjang, Sabda dan Nuri duduk berdampingan. Taman ini cukup ramai dimalam akhir pekan. Banyak sekali muda mudi pacaran dan orang tua yang datang bersama anak anaknya untuk sekedar cari angin.
"Mau?" Nuri menyodorkan satu tusuk telur gulung kedepan Sabda.
"Tidak usah."
"Takut sakit perut?" sindir Nuri.
"Bukan begitu, ta_"
"Tapi anak ini ingin ayahnya ikut makan."
Sabda terkejut mendengarnya. Seperti inikah keanehan orang ngidam. Tapi Nuri salah paham dengan perubahan raut muka Sabda.
"Maaf," ucap Nuri sambil menunduk. "Tak seharusnya aku menyebutmu ayahnya."
Sabda tersenyum lalu mengambil telur gulung yang tari Nuri sodorkan. "Aku memang ayahnya." Dia langsung melahapnya setelah mengatakan itu.
Nuri mengangkat wajahnya, tersenyum melihat Sabda yang sedang mengunyah telur gulung. Dia lalu mengambil satu tusuk lagi dan memakannya.