Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Eva III
"Ayo!" Mas Dias kembali menarik tanganku segera berlari. Aku ingat siapa pria yang sekarang mengawasi kami, dia tidak mengejar namun tatapannya membunuh.
"Mas!"
"Mereka sudah tahu kedatang kita tadi." jawab Mas Dias, tak melepaskan tanganku diantara keramaian kota, kami mencari taksi untuk mengantarkan pulang.
"Aku takut Mas." ucapku, pertamakali setelah sekian lama aku menikah, menghindari laki-laki ini. Akhir aku mengadu juga.
Dia menoleh dengan rasa iba.
"Maafkan aku Dek, ini gara-gara aku juga. Andai aku tidak memintamu menikah dengan Seno."
Aku bergeming, menatap jalanan yang ramai, kami duduk berdua di dalam taksi.
"Aku janji, aku tidak akan meninggalkan kamu meskipun kamu sudah menikah sama Seno. Aku akan selalu menjaga mu, melindungi kamu meskipun harus berhadapan dengan Lusia, ibu mertuamu, bahkan Seno sekalipun kalau dia menyakitimu."
Aku menoleh, menatap manik matanya. Entah apa yang sedang ia rasakan, yang pasti aku merasa dia benar-benar serius.
" Mas Seno gak akan menyakitiku Mas, apalagi sekarang ada Seina." jawabku.
Kami saling diam hingga aku sudah tiba di persimpangan gang rumahku. "Dek, nanti sore aku kirim hadiah untuk Seina, kamu terima ya." kata Mas Dias.
"Gak perlu repot Mas, doamu saja aku sudah cukup." kataku, menolak halus.
"Tidak repot." katanya, ia menatapku agak lama, mengamati wajah ku dengan pikiran yang entah, terasa aneh saja merasakan lagi dekat dengan Mas Dias, meskipun aku selalu mengingat status ku, aku sudah bersuami dan punya anak, tidak akan mau terhanyut dengan suasana dosa.
Terlepas dari apa yang baru saja kami ketahui, kami hanyalah sepotong masa lalu yang sudah berakhir. Mas Dias sendiri yang mengakhirinya, meskipun aku tahu cintanya masih selalu ada.
"Kamu hati-hati Dek." katanya lagi, segurat kekhawatiran masih terlihat jelas di wajahnya.
"Kamu juga Mas." jawabku, aku berbalik membuka pintu taksi.
"Kalau ada hal yang aneh, atau ada sesuatu yang penting jangan segan untuk menghubungi aku, aku pasti datang." katanya lagi.
Aku buru-buru keluar meninggalkan taksi yang kami tumpangi, tak ku pedulikan apa yang baru saja dia ucapkan. Tentu jika ada sesuatu, aku akan menghubungi Mas Seno, dia suamiku.
Aku berjalan kaki memasuki gang yang berjarak beberapa rumah saja dengan rumahku. Ingat kalau aku tak membawa oleh-oleh untuk Mbok Yun, aku membeli beberapa sembako, minyak goreng, gula dan roti. Sepertinya ini akan lebih berguna untuk mbok Yun, mengingat dia bukanlah orang berada, hidup hanya mengandalkan kiriman anaknya, sesekali bantu-bantu nyuci dan nyetrika di rumah tetangga. Atau memetik cabai di perkebunan pak RT, itupun agak jauh.
"Assalamualaikum Mbok!" Aku mengetuk pintu dengan sedikit terburu-buru.
Tak lama kemudian, terdengar sahutan dari dalam, pintunya pun terbuka.
"Mbak, kok lama?" tanya mbok Yun.
"Iya Mbok, maaf. Tadi itu ada halangan di jalan, jadinya lambat pulang." kataku. Ternyata Seina sudah tidur pulas di depan televisi, syukurlah.
"Mbok takutnya ada apa-apa." kata mbok Yun tersenyum lega. Lalu ku berikan kantong kresek berisi sembako itu.
"Ini opo?" tanya mbok Yun.
"Tadi niatnya beli kue Mbok, tapi lupa gara-gara_" aku menjeda.
"Gara-gara opo?" tanya Mbok Yun khawatir, terlebih lagi melihat kaki ku kotor.
"Nggak Mbok, ada copet tadi. Tapi Alhamdulillah gak apa-apa, gak sampai hilang." jawabku.
Siang ini aku menghabiskan waktu tidur sampai sore, lelah dan tegang diriku, mengingat apa yang tadi terjadi. Hingga pukul empat sore, pintu rumahku terdengar di ketuk.
Ku intip dari jendela, ternyata seorang kurir.
"Ada apa Mas?" tanyaku, karena seingat ku, aku tak ada belanja online.
"Ini Mbak, ada paket." katanya, menyodorkan kotak berukuran sedang padaku. Langsung saja ku lihat siapa yang mengirimnya, ternyata Mas Dias.
"Berapa?" kataku.
"Sudah di bayar Mbak." jawabnya, memfoto diriku lalu permisi pergi.
"Ada-ada saja, dekat begini pakai kurir segala." kataku, baru saja kotak itu mau ku buka, tapi suara deru motor Mas Seno terdengar sudah ada di depan. Akhirnya aku hanya melepas bungkusnya, ku letakkan lagi kotak itu di lemari penyimpanan barang bekas di belakang.
"Sayang!" panggil Mas seno, dia sudah masuk menenteng helm di tangannya.
"Iya Mas." aku segera menghampiri suamiku itu, wajah lelahnya terlihat semakin tampan di mataku.
Tak memungkiri jika suamiku ini tampan, dan sempurna. Kulitnya kuning agak kecoklatan dengan kumis dan jenggot di sekeliling bibirnya. Hidungnya mancung, matanya hitam pekat dengan alis tebal. Rambutnya rapi, perawakannya tinggi, tegap berisi. Dan yang paling penting dia ini sangat menyayangi kami berdua.
Dia termasuk sosok pria idaman bagi kaum wanita. Walaupun dibandingkan Mas Dias, pria itu lebih bening dengan kulit putih bersih, hidung mancung, rambut lurus dengan mata bulat dan bibir merah. Perawakannya tinggi, sedikit kurus tidak segagah Mas Seno. Namun apabila di sandingkan keduanya sama tampan dengan versinya masing-masing.
Terlepas dari semua itu, perlahan-lahan aku sangat mencintai Mas Seno, tapi juga tidak ingin menjadi perempuan tak tahu balas Budi. Mas Dias adalah pria baik, tidak egois, dia merelakan aku untuk Mas Seno, agar aku bisa menjalani hidup yang sehat, hidup yang lebih baik. Aku tahu betul dia masih menyimpan rasa terhadap diriku.
Pagi itu hari libur, rencananya Mas Seno berkunjung ke rumah ibu, namun dengan segala pikiranku yang kusut, aku malah tidak ingin mas Seno datang ke sana.
"Dek, Mas ke rumah Hanif sebentar. Boleh?" tanya Mas Seno, memeluk diriku erat, setelah ronde ke dua pagi ini, dia baru saja bangun dan mandi di jam delapan pagi.
"Boleh Mas, memangnya ada apa?" tanyaku.
"Anaknya sakit, dia minta Mas antarin ke rumah sakit."
Aku tahu memang istri Hanif itu sudah meninggal. anaknya juga sakit-sakitan. "Gak ke rumah ibu?" tanyaku.
"Gimana ya?" dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Ya udah, biar aku saja ke rumah ibu Mas, lagian sudah lama tidak ke sana." kataku.
"Boleh sih." kata Mas Seno, ragu karena dia tahu ibu tidak menyukai aku.
"Ya sudah, nanti aku ke sana naik ojek saja Mas." aku meyakinkan Mas Seno, karena arah rumah ibu bertentangan dengan rumah hanif.
Akhirnya mas Seno pergi lebih dulu mengantar anaknya Hanif ke rumah sakit. Kasihan juga si Hanif itu, motornya sempat tergadai karena mengobati anaknya.
Setengah jam kemudian aku juga pergi ke rumah ibu mertua palsu ku. Begitulah kira-kira aku menjuluki ibu yang sudah ketahuan liciknya.
Akan tetapi, setibanya di sana aku malah enggan melanjutkan langkah. Tampak Lusia sedang berdiri di depan pintu rumah ibu, memberikan tiga lembar uang merah kepada ibu mertuaku.
"Kok segini Lusia? Kamu Kan banyak duit!" protes ibu, dapat ku dengar dari balik mobil tetangga.
"Ya nanti, aku gak pegang uang cash!" jawabnya, kemudian berlalu meninggalkan ibu.
"Dasar pelit, anak kandung kok lebih medit dari anak tiri!" kesal ibu.
Ya, Memang betul demikian. Mas Seno saja mengirimkan uang untuk ibu delapan ratus ribu, terkadang satu juta kalau lagi gak ada kebutuhan mendadak.
"Bu!" aku memanggil ibu yang baru saja akan berbalik. Seketika wajahnya berubah datar.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya