Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26~ AKU YANG AKAN MENGGANTIKAN TUGASMU
Vano baru saja akan memejamkan mata kala ponsel Cinta berdering. Ia melirik istrinya yang telah tertidur sekitar satu jam lalu bersama Laura.
"Honey, ada yang telepon." Ia menepuk-nepuk pundak istrinya untuk membangunkan. Barangkali ada telpon penting mengingat sekarang sudah cukup larut.
Cinta hanya menggeliat ketika merasakan sentuhan di pundaknya. Ia yang semula tidur miring menghadap suaminya, mengubah posisi jadi membelakangi.
"Honey, ada telepon, kali aja penting." Vano mencoba sekali lagi membangunkan Istrinya. Namun, Cinta hanya bergumam tidak jelas. Sepertinya cukup kelelahan dan sangat mengantuk.
Justru Laura yang terbangun karena suara dering ponsel itu. Vano dengan sigap menepuk-nepuk pelan punggung dan mengelus-elus kepala putrinya. Beruntung ponsel Cinta berhenti berdering sehingga balita cantik itu tertidur kembali.
Vano pun membenarkan posisi berbaringnya. Namun, ia kembali membuka mata yang baru saja terpejam saat ponsel Cinta berdering lagi. Ia pun dengan cepat turun dari tempat tidur untuk mengambil ponsel itu sebelum tidur Laura terganggu.
Ia segera membawa ponsel itu menuju balkon sebab tak mungkin mematikannya. Keningnya mengkerut melihat nama penelpon di layar ponsel.
"Mbok Darmi, mau apa dia telepon malam-malam begini?" gumamnya. Ia pun lantas menjawab panggilan itu.
"Halo, Non, maaf ganggu malam-malam. Ada yang mau si Mbok sampaikan. Ini tentang Tuan."
Vano yang baru saja akan bertanya 'ada apa' kembali menutup mulutnya begitu mbok Darmi lebih dulu berbicara. Ia pun memilih diam dan mendengarkan apa yang akan dikatakannya.
"Non, tadi si Mbok dengar kalau Tuan akan kembali ke perusahaan mulai besok. Mbok bingung, ini kabar baik atau kabar buruk?"
Kedua alis tebal Vano hampir menyatu mendengar apa yang dikatakan mbok Darmi. Bukankah itu bagus jika pak Haris yang kembali memimpin perusahaannya sendiri, juga bagus untuknya sebab ia tidak perlu bertemu Indri lagi setiap ada pertemuan. Namun, kenapa mbok Darmi justru merasa cemas akan hal tersebut.
Vano melirik ke dalam kamar, memastikan istrinya tidak terbangun. "Mbok, ini Saya Vano. Cinta sudah tidur."
Di sana, mbok Darmi seketika terkejut. Ia sampai menutup mulutnya karena sudah tidak berhati-hati, seharusnya sebelum berbicara ia memastikan lebih dulu bahwa Cinta yang menjawab telpon.
"Maaf, Den. Si Mbok pikir tadi Non Cinta yang angkat teleponnya. Kalau begitu, Mbok tutup teleponnya dulu." Suara mbok Darmi sampai terbata-bata.
"Tunggu dulu," cegah Vano. "Mbok, memangnya kenapa kalau Pak Haris yang kembali memimpin perusahaannya? Bukankah itu bagus, tapi kenapa kedengarannya Mbok cemas begitu?"
Mbok Darmi diam selama beberapa saat. Tidak mungkin ia memberitahu Vano sebab ini hanya rahasianya bersama Cinta. "Em, gak apa-apa, Den. Tuan cuma lagi kurang sehat aja, dikhawatirkan kondisinya drop kalau kelelahan," jawabnya.
Vano menghela nafas. Ia tahu mbok Darmi berbohong, terlebih nada suaranya yang terdengar gugup. "Mbok, sekarang saya sudah menjadi suaminya Cinta. Apapun yang berhubungan dengan istri saya itu juga sudah menjadi urusan saya. Apapun kesulitan dan masalah yang sedang dihadapinya, bukankah saya wajib membantunya?"
Mbok Darmi refleks mengangguk, yang dikatakan Vano benar. Namun, ia tidak mungkin berbicara jujur pada Vano sebab Cinta sudah memintanya untuk merahasiakannya dari siapapun.
"Jadi, maukah Mbok Darmi memberitahukan padaku?"
Mbok Darmi menjadi bingung, ia berpikir sesaat. Mungkin ada baiknya, jika seseorang bisa membantu ia dan Cinta untuk mengawasi pak Haris.
"Tapi Den Vano janji ya, tidak akan memberitahu siapa-siapa. Soalnya ini berbahaya kalau Non Indri sampai tahu."
"Mbok tenang saja, percayakan pada saya. Sekarang, beritahu ada apa sebenarnya?"
"Non Indri dan Mamanya berniat mencelakai Tuan agar bisa menguasai seluruh asetnya. Tapi mereka mengurungkan niatnya karena tahu bahwa Tuan tidak benar-benar mencoret nama Non Cinta dari hak waris. Selama ini si Mbok selalu memantau Tuan di rumah dari niat jahat mereka, tapi kalau di luar sana bagaimana Mbok bisa menjaga Tuan seperti pesan Non Cinta."
Vano menghela nafas berat, ia terlihat geram mendengar penuturan mbok Darmi. Ternyata sejahat itu Indri dan mamanya. "Tapi Cinta tahu darimana kalau namanya tidak dicoret dari hak waris?"
"Si Mbok yang kasih tahu, Den. Waktu itu Mbok gak sengaja dengar pembicaraan Non Indri dan Mamanya, kalau ternyata di surat wasiat Tuan masih tertulis nama non Cinta sebagai satu-satunya pewaris. Mereka berdua juga tahu itu karena menguping pembicaraan Tuan Haris dengan pengacaranya. Tuan hanya ingin memberi efek jera pada Cinta karena sudah membuatnya malu."
"Baik, Mbok, percayakan pada saya. Pak Haris adalah Papa mertua saya, dan sudah kewajiban saya juga untuk melindunginya. Oh ya, masalah ini jangan sampai Cinta tahu kalau Mbok sudah memberitahuku. Mulai sekarang, apapun yang Mbok ketahui langsung beritahu saya saja. Biarkan Cinta bahagia dengan keluarga barunya, dia cukup mendengar kabar yang baik-baik saja tentang Papanya."
"Baik, Den, si Mbok mengerti. Sekali lagi terima kasih karena sudah mau menerima Non Cinta dan Laura dengan tulus. Si Mbok sayang sekali pada mereka berdua dan sudah seperti anak dan cucu."
"Andai Mbok tahu kalau Laura adalah putri kandungku," gumam Vano dalam hati.
Setelah panggilan berakhir. Vano kembali ke kamar, meletakkan ponsel Cinta ditempatnya semula, kemudian bersimpuh di sisi istrinya. Ia tersenyum menatap sang istri, yang semakin terlihat cantik saat tidur.
"Honey, ternyata Papamu tidak seburuk yang aku kira. Sekarang, biarkan aku yang akan menggantikan tugasmu untuk menjaganya dari dua wanita ular itu."
.
.
.
Pagi hari...
Papa Haris telah rapi dan bersiap berangkat ke kantor. .
"Pa, apa gak sebaiknya Papa di rumah aja, biar Indri yang mengelola perusahaan." Mama Ratih berusaha membujuk suaminya.
"Papa sudah bicarakan tentang ini semalam dengan Indri dan dia sudah setuju. Papa juga sudah menyarankan untuk dia berlibur, kemana saja yang dia mau. Kalau mau, silahkan Mama ikut dengannya," ucap papa Haris sembari memeriksa kembali isi tas kerjanya.
"Papa itu sudah seharusnya pensiun. Jadi biarkan Indri yang mengelola perusahaan, karena gak mungkin Cinta lagi, kan? Papa sudah mencoret namanya dari hak waris," ucap mama Ratih. Ada kekesalan dalam hatinya saat mengatakan itu, sebab tahu suaminya telah membohonginya. Namun, ia juga harus berpura-pura tidak tahu.
"Iya, Ma. Tapi untuk sekarang biarkan Papa dulu, kalau nanti Papa sudah merasa tidak sanggup lagi mengurus perusahaan, maka Indri lah yang akan mengambil alih menggantikan Papa. Sudah ya, Papa berangkat dulu." Ia mengecup kening istrinya kemudian bergegas pergi.
Di sisi lain...
Cinta dan Vano juga bersiap-siap untuk pergi ke butik. Hari ini mereka harus fitting pakaian pengantin. Beberapa hari ke depan mereka akan disibukan dengan persiapan resepsi yang akan digelar kurang dari dua minggu lagi.
tp semoga ceritanya lain dari yg lain..semoga prediksi ku meleset soalnya sudah banyak cerita novel tg seperti itu.....lanjuuut semangat thor..
awas kl kena jebakan ular 🐍🐍🐍🐍indri
dan sudah ketahuan sama mbok Darmi biar Vani terselamatkan dari rencana licik getuk lindri