Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
"Mbak, bagi duit dong," Sinta mendekat dan dengan semangat meminta uang saku pada kakak iparnya, Tari.
Mendengar permintaan itu, wajah Tari langsung berubah masam. Rasanya, seakan-akan darahnya mendidih mendengar kata "duit". "Duit? Gak ada duit! Minta aja sama abangmu yang pelit itu, coba! Jangan sama aku!" jawab Tari dengan nada kesal. Sifat pelit Teguh yang sering membuatnya frustrasi kembali terlintas di pikirannya. Bayangkan, hanya untuk meminta uang 30 ribu saja, Teguh malah menolak mentah-mentah. Sungguh membuat Tari marah luar biasa.
Sinta hanya melongo mendengar jawaban tajam dari Tari. Namun, hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa dia tetap ingin mendapatkan uang tambahan.
Tari, yang sudah kesal dengan semua sikap suaminya yang selalu pelit, terus berujar dalam hati, "Semoga saja dia nanti pas di jalan kena jambret, atau bahkan kesempret mobil! Bahkan, kalau bisa modyar sekalian!" Sebuah sumpah serapah yang terucap dari dalam hatinya karena ia tak tahan lagi dengan sifat pelit Tari yang sudah semakin menjadi-jadi. Rasa kesal yang sudah bertahun-tahun tertahan kini seperti meledak begitu saja.
Tentu saja, sumpah serapah itu tak terucap dengan harapan yang sebenarnya, tetapi lebih sebagai luapan frustrasi. Tari merasa seperti terperangkap dalam hubungan yang tidak memberikan kebahagiaan. Hanya saja, dia sadar bahwa dia tidak bisa mengubah semuanya begitu saja. Bahkan ketika berbicara tentang uang, Teguh seolah tak peduli dengan kebutuhan istrinya.
Begitulah, kebanyakan istri. Ketika hati mereka bahagia, segala doa baik akan terucap dengan tulus. Tetapi jika hati mereka terluka, maka yang keluar dari mulut mereka bukanlah doa kebaikan, melainkan sumpah serapah. Seperti yang dialami Tari, yang saat itu lebih memilih untuk mendoakan keburukan bagi suaminya yang ia anggap seperti Fir'aun—sangat egois dan tak peduli.
"Ck, mbak Tari ini selalu pelit kalau dimintai duit! Padahal duit mas-ku malah yang habisin!" gerutu Sinta dengan nada kesal, seolah-olah tidak sadar akan kata-katanya yang semakin memicu kemarahan.
Mendengar tuduhan itu, Tari langsung menatap Sinta dengan tajam. "Apa kamu bilang? Duit masmu aku yang habisin?!" Tari berteriak, matanya melotot penuh amarah. Tidak seperti menantu lain yang akan diam saja jika dihina atau ditindas, Tari bukan tipe orang yang bisa dibuli begitu saja. Ketika diperlakukan tidak adil, dia akan melawan, meskipun tetap dengan cara yang sopan—tentu saja, sopan menurut versinya sendiri.
Sinta, yang merasa telah benar dalam tuduhannya, mendengus dan menjawab, "Bukankah memang begitu? Mbak kan istrinya!" dengan nada yang menantang.
Tari menghela napas panjang sebelum menjawab, suaranya dipenuhi ketegasan. "Ck! Memang benar aku istri masmu, tapi malangnya nasibku punya suami yang pelit dan medit kayak masmu itu. Denger ya, Sinta, aku ini gak pernah tuh diberi nafkah dengan layak oleh masmu itu!" Ia menyuarakan kekecewaannya dengan jelas, tanpa ada rasa takut atau ragu. Tari benar-benar tidak menutupi perasaannya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah luapan kekecewaan atas sikap Teguh yang selalu pelit, bahkan untuk kebutuhan dasar seorang istri.
Memang, itulah kenyataannya. Tari tidak bisa lagi berpura-pura atau menutupi perasaan kecewanya. Semuanya sudah jelas, Teguh adalah suami yang sangat pelit, dan itu adalah kenyataan pahit yang harus dihadapinya setiap hari.
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar, Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di kepala Tari.
"Eh, sembarangan kalau ngomong! Bilang lagi kalau anakku nggak beri nafkah ke kamu? Terus kamu masih hidup sampai sekarang karena siapa? Anakku yang kasih makan!"
Semangat thor