NovelToon NovelToon
Ambil Saja Suamiku

Ambil Saja Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Pelakor / Mengubah Takdir / Wanita Karir / Penyesalan Suami
Popularitas:48.8k
Nilai: 5
Nama Author: Lily Dekranasda

Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.

Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.

Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.

Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.

Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.

Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.

Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ambil Saja Beserta Ampas nya

Setelah puas berbelanja ponsel, skincare, dan kosmetik, Desi merasa perutnya mulai keroncongan. Ia memutuskan untuk mencari restoran yang menyajikan makanan favoritnya. Ketika matanya menangkap papan nama restoran mewah dengan interior klasik yang mengingatkannya pada kebiasaan lamanya sebagai Gendis, tanpa ragu ia melangkah masuk.

Pelayan restoran menyambutnya dengan ramah.

“Selamat siang, Nona. Selamat datang di La Cuisine. Anda ingin meja untuk berapa orang?” tanya pelayan pria muda dengan sopan.

Desi menatap pelayan itu. “Untuk satu orang saja. Aku ingin meja yang nyaman di dekat jendela,” ucapnya tegas.

Pelayan itu segera mengantar Desi ke meja yang diminta. Begitu duduk, Desi membuka menu dan mulai memilih makanan favoritnya.

“Apakah Anda sudah siap memesan, Nona?” tanya pelayan yang sama.

“Ya. Aku mau beef steak medium rare, dengan mashed potato, side salad, dan mushroom sauce. Untuk minumnya, jus anggur merah segar tanpa gula,” kata Desi tanpa ragu.

Pelayan mencatat pesanan Desi dengan cekatan. “Baik, Nona. Mohon tunggu sebentar, pesanan Anda akan segera kami siapkan.”

Namun, saat Desi menunggu, tiba-tiba terdengar suara keributan dari meja lain. Seorang pelanggan wanita muda dengan pakaian sederhana sedang berdebat dengan seorang pelayan.

“Maaf, Bu. Tapi jika Anda tidak memesan apa-apa, kami tidak bisa mengizinkan Anda duduk di sini terlalu lama,” kata pelayan dengan nada sedikit ketus.

“Tapi aku hanya ingin menunggu teman sebentar. Dia yang akan memesan nanti,” jawab wanita itu dengan suara memohon.

Pelayan tampak tidak sabar. “Aturannya tetap aturan, Bu. Kalau Anda tidak memesan, kami harus meminta Anda pergi.”

Desi yang mendengar percakapan itu mulai merasa geram. Ia tidak suka melihat seseorang diperlakukan seperti itu, terutama karena ia tahu bagaimana rasanya diremehkan. Dengan sigap, ia berdiri dan berjalan ke meja wanita tersebut.

“Ada masalah di sini?” tanya Desi dengan nada dingin, membuat pelayan yang tadi bertengkar langsung kaget.

“Ah, tidak ada, Nona. Kami hanya menjelaskan aturan restoran kepada pelanggan ini,” jawab pelayan itu sambil tersenyum kaku.

Desi menatap tajam. “Aturan apa yang membuat kalian tidak bisa bersikap sopan kepada pelanggan? Wanita ini bilang dia menunggu temannya, kan? Apa itu salah?”

“Bukan begitu, Nona. Tapi restoran kami memiliki aturan minimum order untuk semua pelanggan yang duduk,” jawab pelayan itu dengan canggung.

Desi menghela napas panjang. “Dengar, aku tidak suka melihat seseorang diperlakukan seperti ini. Kalau masalahnya adalah minimum order, tambahkan apa pun yang dia pesan nanti ke tagihanku. Aku yang bayar.”

Wanita yang tadinya duduk di meja itu terkejut. “Nona, tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkan—”

Desi mengangkat tangan, menghentikan wanita itu berbicara. “Aku tidak peduli soal uang. Yang penting, kamu bisa duduk dengan tenang dan menunggu temanmu tanpa diganggu.”

Pelayan itu tampak bingung dan sedikit malu. “Baik, Nona. Kalau begitu, kami akan mengizinkan pelanggan ini tetap di sini. Terima kasih atas pengertiannya.”

Desi kembali ke mejanya, tetapi keributan kecil tadi membuat suasana hatinya sedikit buruk. Pelayan lain segera menghampiri untuk mengantarkan pesanan.

“Maaf atas ketidaknyamanan tadi, Nona. Kami akan memastikan layanan Anda tetap prima,” ujar pelayan itu dengan nada penuh penyesalan.

“Bagus kalau begitu. Ingat, jangan sampai ada pelanggan lain yang diperlakukan tidak adil seperti itu lagi. Pelanggan kalian membayar untuk pengalaman makan yang nyaman, bukan untuk dihakimi,” balas Desi tegas.

Pelayan itu hanya mengangguk dan segera pergi.

Setelah beberapa saat, makanan Desi datang. Steak yang empuk dengan saus jamur menggugah selera, dan jus anggur merah segar terlihat sempurna di meja. Namun, sebelum Desi sempat mencicipi makanannya, wanita yang tadi ia bantu tiba-tiba datang menghampiri.

“Maaf, Nona. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas bantuannya tadi. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana kalau kamu tidak ikut campur,” katanya dengan suara pelan.

Desi tersenyum kecil. “Tidak perlu terima kasih. Aku hanya tidak suka melihat seseorang diperlakukan seperti itu. Duduklah dan nikmati waktumu di sini.”

Wanita itu mengangguk malu-malu sebelum kembali ke mejanya.

Desi akhirnya menikmati makanannya dengan tenang. Sambil makan, ia memperhatikan suasana restoran yang mulai kembali normal. Namun, ia tahu bahwa tindakannya tadi telah meninggalkan kesan mendalam, tidak hanya pada wanita yang ia bantu, tetapi juga pada para pelayan yang melihatnya.

Setelah selesai makan, Desi membayar tagihan dengan kartu hitamnya. Sama seperti di toko ponsel dan skincare sebelumnya, reaksi para pelayan membuatnya ingin tertawa.

“Kartu hitam? Nona ini siapa sebenarnya?” bisik salah satu pelayan.

“Mungkin dia anak sultan. Tapi gayanya sederhana banget, ya?”

Desi tidak mempedulikan bisik-bisik itu. Setelah semua tagihan selesai, ia melangkah keluar dari restoran dengan kepala tegak. Baginya, membantu orang lain adalah hal kecil yang bisa membuat dunia ini sedikit lebih baik, dan ia tidak perlu pujian untuk itu.

Sementara itu, para pelayan di restoran itu berbisik-bisik tentang Desi.

“Nona itu luar biasa, ya. Bukan hanya kaya, tapi juga peduli sama orang lain.”

“Iya. Kalau semua pelanggan kaya seperti dia, pasti restoran ini lebih damai.”

Hari itu, Desi tidak hanya memanjakan dirinya, tetapi juga memberi pelajaran berharga kepada orang-orang di sekitarnya tentang bagaimana bersikap kepada sesama.

Desi melangkah dengan percaya diri memasuki toko pakaian branded yang selama ini menjadi favoritnya. Ia tidak hanya membeli barang-barang berkualitas tinggi, tetapi juga mengagumi koleksi-koleksi terbaru yang dipajang dengan rapi di rak. Dengan cermat, ia memilih berbagai pakaian, mulai dari jaket kulit mahal hingga gaun malam yang mewah.

Pelayan toko yang melihatnya langsung mengarahkan langkahnya untuk membantu memilihkan barang, mengambilkan ukuran yang sesuai, dan mengemas pakaian-pakaian tersebut. Setelah beberapa menit, Desi selesai memilih barang-barang yang diinginkannya dan mulai berjalan menuju kasir dengan pelayan yang membawakan tumpukan pakaian.

Namun, ketika ia melangkah melewati bagian depan toko, langkahnya terhenti sejenak. Seorang wanita yang tampak agak kikuk, Maya, berdiri tidak jauh darinya dengan seorang anak laki-laki kecil yang tampaknya berusia sekitar lima tahun, yang sedang menggenggam tangan Maya. Maya melihat Desi dan menyapanya dengan senyum yang sedikit canggung.

"Oh, Mbak Desi, benar kan?" Maya berkata, mencoba memastikan nama Desi.

Desi melirik Maya dengan tatapan datar dan sedikit bingung, seolah tidak mengenalnya. "Mbak mbak, aku ini anak tunggal, gak punya adik. Apakah saya mengenalmu?" jawab Desi dengan suara datar dan dingin.

Maya terlihat sedikit kikuk mendengar ucapan itu, jelas sekali bahwa ia tidak menduga akan mendapat respon seperti itu. Namun, Maya berusaha tetap tenang dan tersenyum. "Perkenalkan, aku Maya, dan ini anakku, Abas. Teman Mas Bima," ujar Maya sambil menunjuk ke anak kecil yang ada di sampingnya.

Desi mengamati mereka sejenak tanpa menjawab. Saat Maya mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Desi hanya menatap tangan itu sejenak, lalu beralih membuka tasnya dengan pelan, seakan tidak tertarik untuk menjabat tangan Maya. Namun, sebelum ia sempat berbicara lebih lanjut, Maya melanjutkan perkataannya dengan nada yang sedikit lebih menyindir.

"Kamu pasti senang banget, ya, dimanja Mas Bima? Membeli macam-macam barang branded seperti ini," Maya berkata sambil melirik tas-tas belanjaan yang bergelimang merek ternama. Maya tampaknya menganggap bahwa Desi pasti menikmati hidup dengan kemewahan yang diberikan oleh Bima.

Desi menyadari arah percakapan Maya yang semakin menjurus. Ia tersenyum tipis, namun tatapannya tetap tajam. Dalam hatinya, ia mulai berpikir, "Apa dia mendekati Bima karena menganggapnya kaya hanya karena menjadi kapten pemadam kebakaran? Mana ada begitu. Hmm, aku ingin coba mainkan dia sedikit. Penasaran banget dengan si pelakor ini."

Desi lalu menatap Maya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, lalu bergantian menatap anak Maya, Abas, yang tampaknya tidak terlalu mengerti situasi tersebut. Setelah beberapa detik yang tegang, Desi akhirnya berkata dengan suara yang begitu tenang, "Tentu saja, harus dimanjakan istrinya. Ya kali, manjain wanita lain yang nggak tahu diri di luar sana."

Maya terdiam, tidak tahu harus berkata apa, dan dalam sekejap, suasana di sekitar mereka menjadi sangat tegang. Semua orang di sekitar mereka mulai memperhatikan percakapan yang sedang berlangsung, termasuk para karyawan yang berbisik-bisik melihat keributan yang tiba-tiba terjadi.

Maya berusaha menjaga sikapnya, meskipun jelas ia mulai terganggu. "Bukankah kamu sedang hamil, Desi? Tapi kok perutmu sudah nggak buncit lagi. Apa kamu sudah melahirkan

Desi menarik napas dalam-dalam. Ia merasa amarahnya mendidih, tapi tetap memasang ekspresi tenang. "Ah, iya. Sudah lahiran," ucapnya dengan senyum sarkastik. Dalam hati, ia mengumpat, "Sudah lahiran tapi bayi itu nggak selamat bahkan ibunya juga meninggal, gara-gara kamu juga, pelakor."

Maya tersentak kaget mendengar jawaban itu. Wajahnya berubah cemas, namun ia berusaha tetap tenang. "Oh, begitu… Bukankah kamu masih tujuh bulan waktu itu?" Tanya Maya, mencoba menyelidik lebih jauh.

Desi memperhatikan Maya dengan tajam, matanya menyempit, jelas merasa tidak suka dengan pernyataan itu. "Kamu tahu banyak ya. Apa, si bekicot itu, eh, maksudku Bima, bercerita tentang aku?" Tanya Desi dengan nada yang menusuk.

Maya terkejut mendengar kata "bekicot" yang keluar dari mulut Desi, namun ia berusaha untuk tersenyum. "Oh, ya. Mas Bima sering bercerita tentangmu, Desi. Tentang bagaimana kamu hebat dan kuat. Dia sangat peduli padamu," jawab Maya, mencoba mengalihkan percakapan.

Desi terkekeh kecil, lalu mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Maya. "Oh, begitu? Apa dia juga cerita kalau aku nggak suka pelakor?"

Maya terdiam sejenak. Ia merasa terpojok oleh pertanyaan Desi yang semakin tajam. Namun, ia berusaha tetap tegar. "Aku? Tidak. Aku hanya teman lama Mas Bima. Aku—" Maya terpotong oleh Desi yang segera menyambung.

Abas hanya menatap mereka berdua dengan bingung. Abas, yang tidak tahu apa-apa tentang percakapan ini, dengan polos bertanya. "Pelakor itu apa, Ma?"

Desi tanpa ragu menjawab dengan nada datar, "Pelakor itu perebut laki orang, nak. Yah, mirip-mirip siapa ya?" Desi menatap Maya dengan tajam, memberikan perasaan yang sangat menyakitkan bagi wanita itu.

Suasana di sekitar mereka semakin tegang. Para karyawan dan pelanggan mulai memperhatikan dengan cemas. Bisikan mulai terdengar di antara mereka. Mereka menyaksikan pertengkaran yang semakin memanas antara Desi dan Maya, namun Maya tidak tahu harus berbuat apa selain merasa malu.

"Apa maksudmu, Mbak Desi? Apa kamu menyindirku? Aku bukan pelakor, ya!" Maya membalas, kini nada suaranya penuh kemarahan.

Desi tertawa pelan, melirik para karyawan yang menonton dari jauh. Dengan suara lantang, ia bertanya, "Hah, apakah aku menyebut namamu sebagai pelakor? Apakah iya, Mbak-Mbak di sini, apa kalian mendengar aku menyebut nama wanita ini, Maya sebagai pelakor?"

Para karyawan yang sedari tadi mengamati percakapan menggelengkan kepala serempak, wajah mereka menunjukkan ekspresi penuh rasa penasaran dan keterkejutan.

Desi mengangguk puas, menatap Maya lagi. "Nah, kau sudah dengar jawabannya. Kecuali... kau memang mau mengakuinya sendiri, sih."

Maya tampak marah besar, wajahnya memerah, dan tangannya mengepal erat. "Desi! Akan aku adukan ini pada Mas Bima!" seru Maya dengan suara tinggi, lalu menggandeng Abas dan bergegas pergi.

Namun, sebelum Maya benar-benar meninggalkan toko, Desi berteriak lantang, "Ih, takut banget aku! Adukan saja, sana!"

Maya berhenti sejenak, menoleh dengan wajah kesal, tetapi Desi tidak peduli. Ia malah melanjutkan, suaranya semakin frontal. "Ambil aja Bekecot itu, sekalian ambil semua ampas-ampasnya! Orang kere juga diributin. Aku mah nggak peduli."

Para pelanggan dan karyawan di toko itu ternganga, tidak percaya dengan ucapan Desi yang begitu blak-blakan. Suasana toko menjadi semakin riuh dengan bisikan orang-orang yang membicarakan apa yang baru saja terjadi.

Desi sadar bahwa ia menjadi pusat perhatian, tetapi ia tetap santai. Dengan tenang, ia mengeluarkan kartu hitamnya dan menyerahkannya pada kasir, seolah menunjukkan bahwa semua ini tidak ada artinya baginya.

Kasir yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi hanya bisa menerima kartu itu dengan tangan gemetar. Para karyawan lainnya tampak saling berbisik, membicarakan keberanian Desi yang melontarkan ucapan tanpa filter.

Setelah membayar, Desi berjalan keluar toko dengan kepala tegak, meninggalkan jejak percakapan yang akan menjadi bahan gosip selama berminggu-minggu di tempat itu. "Kalau dia pikir bisa mengalahkanku, dia salah besar," gumam Desi sambil tersenyum sinis.

1
awesome moment
desi, pergi jauh. buang laki2 kek gitu
Uthie
bersiap aja Maya... yg ada kamu akan selalu diperbudak oleh mereka semua nya 😜😏😏
Ayu Septiani
mantab Desi... tinggalkan keluarga tosix itu
Nadira ST
gak tau aja Lo Maya kamu dijadikan menantu buat jadi tukang masak
ika yanti naibaho
semoga cepat dapat karma nya ya thor itu sekeluarga
ika yanti naibaho
jadi laki kok plin plan/CoolGuy/
ika yanti naibaho
calon bucin nih/CoolGuy//CoolGuy/
Diah Susanti
thor bikin mereka terusir dari rumah itu, aku jadi penasaran😁😁😁
Uthie
sukurin aja....inget kalakuan kamu sendiri Bima 😝😡
Uthie
jodoh itu mahhhh 😂👍
Uthie
Hahahaa... sukurin 😝🤣
Aisarah Silma
Luar biasa
anna
💕💕💕
Mutiara Nisak
kulit tubuh mu itu tau ,klo desi itu wanita yg baik dan bersih,makanya penyakit aneh mu tdk beraksi saat kulit tubuh menyentuh kulit desi,mungkin si desi bkln jd jodohmu om tamvan.....wanita yg unik....
Uthie
yg ditunggu sedari pagiiii 🤩🤩
Ari Peny
gk sabar thor
lily
lanjut
Erni Nofiyanti
ko aku bingung y,td Desi di luar
skg d kmr.
msh sama yg banting pintu
Lily of The Valley: beda POV kak. coba Kaka baca dari sudut pandang lain.. Desi diluar masuk kamar dah didalam. nah lalu sudut pandang bima yang di luar bercerita..
total 1 replies
Etty Rohaeti
terima kasih Thor
R@3f@d lov3😘
Desi itu jodohmu om... Gabriel 🤭😂
R@3f@d lov3😘: Amiiiiin
Lily of The Valley: Aminin aja dulu...
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!