"Karena kamu yang menggagalkan acara pernikahan ini, maka kamu harus bertanggung jawab!" ucap pria sepuh didepannya.
"Bertanggung jawab!"
"Kamu harus menggantikan mempelai wanitanya!"
"APA?"
****
Bagaimana jadinya kalau seorang siswi yang terkenal akan kenalan dan kebar-barannya menjadi istri seorang guru agama di sekolah?!?
Yah dia adalah Liora Putri Mega. Siswi SMA Taruna Bangsa, yang terkenal dengan sikap bar-barnya, dan suka tawuran. Anaknya sih cantik & manis, sayangnya karena selalu dimanja dan disayang-sayang kedua orang tuanya, membuat Liora menjadi gadis yang super aktif. Bahkan kegiatan membolos pun sangatlah aktif.
Kalau ditanya alasan kenapa dia sering bolos. Jawabnya cuma satu. Dia bolos karena kesetiakawanannya pada teman-teman yang juga pada bolos. Guru BK pusing. Orang tua juga ikut pusing.
Ditambah sikapnya yang seenak jidatnya, menggagalkan pernikahan orang lain. Membuat dia harus bertanggung jawab menggantikan posisi mempelai wanita.
Gimana ceritanya?!!?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cahyaning fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Bukannya Itu Liora dan Pak Agam????
"Lo doyan apa laper sih, To? Makan kayak orang kesurupan?" tanya Liora menatap sahabatnya yang sedang makan. Mirip orang satu bulan nggak makan.
Padahal yang Liora tau, kedua orang tua Tito cukup berada loh. Tapi ia heran kenapa sahabatnya itu sampai kelaparan.
"Gue lapel, Li!" katanya, mulutnya penuh makanan.
"Nyam. Nyam. Nambah satu porsi lagi boleh nggak, Li?"
"Idih, Buset. Perut Lo kayak sepiteng. Udah dua porsi,. masih kurang. Emang tadi pagi nggak sarapan?" Liora menatap heran.
"Nggak. Gue banguuun keciangan. Ah, panassss.....!" ujarnya mengipasi mulutnya yang kepanasan gara-gara nelen pentol yang masih kebul-kebul.
"Nggak cempet sarapan" katanya, "Ini cemua tuh gala-gala si Topan. Pagi siang malam, ngomelin gue nggak capek dia.....!" keluhnya. Menghibah papanya sendiri.
Mendengar itu Liora terkekeh. Ternyata nasibnya nggak beda jauh dengan Tito. Sama-sama diomeli gara-gara kejadian perkelahian di lapangan basket.
"Nanti kalau gue dah ditransfer uang sama Kunyit asam, gue bayar hutang ke Lo!" ujarnya, mulutnya megap-megap.
"Idih, sok-sokan Lo! Gue iklhas.....! Kalem, Pren!" ujar Liora menepuk punggung sahabatnya.. Hampir aja Tito keselek pentol bunting.
"Thanks, Li. Lo sahabat gue ter-the best!"
"Stop. Nggak usah muji gue. Nggak cocok blass!" kekeh Liora.
Pulang sekolah, Liora melesat cepat ke parkiran. Baru saja dia mendapat pesan dari Agam, kalau suaminya itu sudah menunggu di parkiran.
Takut kepergok siswa lain, dengan mengendap-endap Liora berjalan ke arah tempat tersebut.
Nafasnya ngos-ngosan. Benar-benar seperti pencuri dia.
"Kenapa nggak menunggu di tempat biasa sih, Aa!" protes Liora saat dirinya masuk ke mobil sambil manyun.
"Kelamaan;" jawab Agam. Bibir Liora mengerucut lucu.
"Tadi bunda telepon. Bunda nyuruh Aa mampir ke supermarket!" kata Agam.
"Eh, bunda sudah pulang?"
"Iya. Pulang jam 10. Tapi sampai di rumah, terus buka kulkas, persediaan sayur-sayuran dan buah-buahan kosong. Makanya bunda telepon Aa, nyuruh kita mampir ke supermarket!"
"Oh, gitu. Kalau begitu ayo berangkat sekarang!" Liora terlihat begitu senang.
Agam melajukan mobilnya meninggalkan area sekolah. Untung sebagian anak-anak sudah pada pulang. Dan sebagiannya lagi sedang latihan lomba di aula. Jadi tidak ada yang melihat Liora masuk ke mobil suaminya.
Agam memandu mobilnya dengan kecepatan stabil, rute yang sudah hafal di luar kepala membawanya berbelok menuju supermarket. Liora yang duduk di sebelahnya, mata berbinar menatap ke luar jendela, penuh antisipasi. Begitu mobil berhenti, ia langsung melompat keluar tanpa menunggu Agam mematikan mesin. Langkahnya cepat mengarah ke kumpulan trolly yang bersusun rapi, tanda bahwa petualangan belanja mereka sebentar lagi dimulai.
"Kita mau beli apa dulu Aa?" tanya gadis itu dengan semangat sambil mendorong trolly.
"Langsung ke tempat sayuran!" jawab Agam mengecek ponselnya. Karena di sana dia mencatat apa-apa saja yang harus ia beli.
"Wortel. Kobis. Daun bawang!" ucap Agam membaca rentetan catatan itu.
"Ish, Liora. Ini bukan daun bawang. Ini kucai, Liora!"
"Oh, salah ya." Beo gadis itu, "Hehe, sorry, aku nggak tau mana daun bawang dan mana kucai!" gelaknya.
"Ck, kau ini taunya tawuran!" Agam menyentil pelan dahi istrinya. Liora nyengir lebar.
"Makanya belajar sama bunda. Biar kamu tau dan bisa membedakan mana daun bawang dan kucai. Eh, jangan-jangan kamu juga nggak tau mana garam dan mana yang gula?" tebak suaminya.
"Tau. Tinggal rasain aja kan? Mana yang manis dan mana yang asin?"
"Hehe, kirain nggak tau," cicit Agam sambil berlalu mencari sayuran yang lain.
Di trolly, Agam melihat tumpukan sayur, buah, bumbu, daging, ayam, dan ikan sudah rapi.
Napasnya berat, mencerminkan rasa cemas yang melanda hatinya saat dia menyadari bahwa istrinya tak ada di sisi. Matanya celingukan, mencari bayangan istrinya itu.
Dengan gerak cepat, tangan yang kasar itu mendorong trolly, menyusuri setiap sudut. Dan, di ujung lorong, ia menemukannya. Sang istri dengan santainya memilih berbagai macam cemilan. Lalu tanpa merasa bersalah, ia memasukkan cemilan-cemilan yang ditentengnya ke dalam trolly.
"Dari tadi Aa cariin ternyata sibuk cari cemilan!" omel Agam.
"Hehehe. Iya, Maaf. Mumpung lagi disini!" ujarnya tanpa merasa sungkan. Toh dia adalah suaminya sendiri.
Agam juga bukanlah suami yang pelit. Dia tidak akan mempermasalahkan apa yang diambil istrinya. Bahkan pria itu dengan hangat menawari Liora untuk mengambil apapun yang dia inginkan dan butuhkan.
Liora pun tanpa malu dan canggung mengambil yang dia inginkan, lalu memasukkannya ke troli.
"Sudah?" tanya Agam.
"Sudah!" Liora mengangguk cepat.
"Ayo kita bayar ke kasir!" ajak sang suami seraya mendorong troli menuju kasir.
Semua barang-barang sudah tertata rapi di bagasi. Liora, dengan senyum kecil di bibirnya, sudah duduk di dalam mobil, sambil memakan Snack yang tadi dibelinya. Tak lama, Agam menyusul, menutup pintu dengan pelan dan menghidupkan mesin mobil dengan gerakan yang hampir tak terdengar.
Di kejauhan, Tito yang baru saja turun dari boncengan motor Galang, menatap mereka dari kejauhan. Detik-detik itu terasa aneh baginya saat ia melihat Liora dan Agam yang tampak begitu akrab, hampir seperti pasangan. Namun sebelum ia sempat mendekat, mobil itu telah melaju pergi, meninggalkan aroma bensin dan tanda tanya besar yang mendalam dalam hati Tito.
Wajahnya tampak bingung dan penuh tanda tanya.
"Bukannya itu Liora? Kok bisa sama Pak Agam?” gumamnya dalam hati.
"Tapi yakin gue, itu Liora dan pak Agam!"
Mata dan jidatnya mengerut, berusaha mencari jawaban yang masuk akal dari segala kemungkinan yang melayang di benaknya.
"Bunda!" teriak Liora begitu sampai di rumah.
"Li, salam dulu!" tegur Agam, mengerucut sebal.
"Hehe. Lupa, Aa!" kekeh gadis itu.
Nurma tersenyum melihat pasangan suami istri pulang menenteng banyak barang-barang belanjaan. Apalagi melihat tingkah menantunya yang lucu dan konyol itu.
"Assalamualaikum!"
"Walaikumsalam!" jawab Nurma tersenyum manis.
"Bunda pulang kok nggak ngabarin Liora? Kalau ngabarin kan, nanti biar Aa dan Liora jemput, Bunda!"
"Nggak perlu. Ayah kan bawa mobil sendiri. Ngapain dijemput? Tinggal ambil diparkiran bandara!"
"Ih, padahal kan Liora pengen ke bandara. Mau foto-foto gitu. Biar Liora keliatan keren!" kekeh gadis itu. Bunda Nurma pun ikut terkekeh geli. Menantunya ini ada-ada saja.
"Ck, modus. Kalau kamu mau, kita bepergian sendiri, ke luar kota pake pesawat. Kamu mau kemana? Bali? Raja Ampat? Anyer atau ke luar negeri? Kita bisa bepergian berdua!"
"Serius, Aa?" terlihat manik Liora berbinar-binar mendengar kata bepergian. Apa artinya Agam mengajaknya liburan????
"Hem!" sahut Agam menahan senyum, "Untuk bulan madu!" lanjutnya.
Liora langsung terdiam. Ia mencerna ucapan suaminya itu.
"Bulan madu? Berarti kita......!"
Nurma terkekeh sambil menabok pelan lengan putranya itu. Walau Liora sudah menjadi hak Agam, Nurma juga selalu mewanti-wanti putranya agar tidak memaksakan kehendaknya pada Liora.
Biarlah Liora yang memintanya sendiri, tanpa harus dipaksa dan ditekan.
"Sudah, jangan dengarkan kata suamimu. Dia hanya bercanda." Gelak mama mertuanya.
"Kamu pasti capek. Mandi. Nanti makan siang sama-sama ya!"
"Iya, Bunda!" jawab Liora menggigit bibir bawahnya sendiri. Gadis itu pun berjalan menuju lantai dua, kamarnya
"Gam, apa kalian sudah melakukan itu?" tanya Nurma pada putranya begitu Liora tak terlihat lagi.
"Belum, Bun. Kan bunda yang mengatakan. Jangan memaksakan kehendak kalau Liora belum siap. Lagipula mana tega Agam melakukan itu. Dia aja masih sekolah dan kekanak-kanakan gitu?" jawab sang putra terdengar bijak. Nurma menghela nafasnya panjang. Lalu mendadak ia merasa kasian dengan nasib putranya itu.
Bagaimanapun, Agam pria dewasa. Pria normal. Nggak mungkin kan, putranya tidak mau dan tidak ingin menyentuh istrinya yang jelas-jelas sudah halal dan menjadi hak-nya. Tapi mau bagaimana. Liora sendiri masih takut dan belum bisa menjalani kewajibannya sebagai seorang istri. Masa iya, Agam harus memaksa kalau si perempuan belum mau.
"Kamu sabar ya, Gam. Maklumi aja. Yang kamu nikahi masih bocah.....!"
Bersambung....
Komen dong Sayang.....