Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Semua Demi Kebaikan Kamu, Mas
"Ke mana istrimu, kenapa belum muncul-muncul dari dapur? Bukankah tadi hanya membantu Bi Rona membereskan piring yang kotor di meja? Coba panggilkan Ais, kakak iparmu," suruh Bu Fajarani pada Aisyah.
Aisyah berdiri dari kursi. Akan tetapi Halwa tiba-tiba muncul dengan wajah yang berseri. Sisa tangis yang tadi berhasil dia lepaskan, sudah tidak terlihat lagi.
"Ini orangnya datang. Kita sudah nunggu kamu lho Mbak." Meskipun Aisyah dua tahun lebih tua dari Halwa, Aisyah tetap memanggil Halwa dengan panggilan Mbak, sebagai bentuk penghargaan untuk istri kakaknya.
"Terimakasih Ais. Maafkan Halwa, Bu, Pak. Tadi Halwa tiba-tiba kebelet dan lama di kamar mandi." Halwa memberi alasan.
"Baiklah. Duduklah Nak. Kita ngobrol sejenak sebelum kami meninggalkan kalian berdua di rumah ini. Kalian mulai sekarang akan tinggal di sini, di rumah Cakar yang dulu pernah ditempati bersama almarhumah istrinya." Ucapan Bu Fajarani mendapat tatapan dari Pak Diki, Pak Diki merasa tidak enak atas ucapan istrinya yang menyinggung almarhumah istri Cakar.
"Maaf, ibu tidak bermaksud mengingatkan kamu tentang almarhumah istri Cakar."
"Tidak apa-apa, Bu." Halwa membalas dengan wajah yang tetap menunduk.
"Cakar, sekarang kamu sudah memiliki pendamping. Perlakukan istrimu dengan baik. Jangan sakiti dia. Jika dia melakukan kesalahan dan perbuatannya tidak mengena di hati kamu, maka bapak harap kamu bisa memberitahunya dan mengajarinya dengan baik." Pak Diki memberi nasihat pada Cakar yang sejak tadi duduk menghadap kedua orang tuanya.
"Pergauli istrimu dengan baik. Berikan haknya dan tunjukkan kewajibannya, supaya hubungan rumah tangga kalian selalu diberikan kelancaran dan keharmonisan," lanjut Pak Diki mewanti-wanti.
"Lalu Nak Halwa sebagai istri dan sebagai orang yang lebih muda dari Cakar, harus bisa menjaga marwah suami di manapun suami berada. Turuti apapun perintahnya selama itu baik. Jika ada masalah, maka bicarakan terlebih dahulu dari hati ke hati. Kalian tentu sudah dewasa, jadi selesaikan semua masalah secara dewasa dan kepala dingin." Bu Fajarani kini yang memberi nasihat untuk Halwa.
"Bagaimana apakah kalian sudah siap menjalaninya? Dan yang terpenting, kalian berdua harus saling terbuka satu sama lain. Jangan ada hal yang disembunyikan. Intinya kalian harus saling hormat menghormati pasangan. Maka hubungan rumah tangga kalian, insya Allah akan bertahan lama serta melahirkan keturunan-keturunan yang saleh dan saleha," sambung Pak Diki sangat adem didengar.
"Insya Allah siap, Pak." Halwa menjawab, sementara Cakar hanya diam saja.
"Oh iya, apakah kalian butuh asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah?" tanya Bu Fajarani menatap Cakar dan Halwa bergantian.
"Sepertinya tidak perlulah, Bu. Si Halwa pasti sudah terbiasa mengurus rumah yang tidak terlalu luas ini. Lagipula dia bisa membersihkan ruang ke ruangnya tidak harus setiap hari dan sekaligus selesai dalam satu hari. Bukankah begitu Halwa?" Cakar melemparkan pertanyaan terhadap Halwa.
"I~iya, Mas. Tentu saja," balas Halwa sedikit gugup.
"Tidak maksud ibu, kalau memang kalian tidak butuh pembantu tiap hari, setidaknya dua minggu sekali biarkan Bi Rona dan Mang Dani datang ke sini untuk beberesih. Biarkan mereka jadi urusan ibu, kalian tidak usah memikirkan kehadiran mereka di sini saat melakukan tugasnya," ujar Bu Fajarani lagi.
"Baiklah terserah Ibu saja," ujar Cakar menyerahkan semua kepada ibunya.
"Baiklah kalau begitu, sepertinya tugas kami sudah selesai menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan terhadap kalian. Kami harap kalian dapat menjalankan rumah tangga ini dengan sebaik-baiknya. Yang terpenting, jaga rumah tangga kalian dari sebuah perdebatan yang akan mengeruhkan hubungan rumah tangga. Kamu Cakar sebagai yang lebih tua dan sebagai suami, harus banyak mengalah dan mengayomi. Kamu harus siap, hindarkan setiap kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun kamu sebagai anggota, tapi kamu harus perlakukan istrimu dengan baik dan lembut," ujar Pak Diki lagi sedikit mengulas ucapannya yang tadi.
Pak Diki mulai bangkit untuk kembali pulang, diikuti Cakar dan yang lain. Pak Diki menuju pintu keluar duluan, sementara Bu Fajarani masih bertahan di ruang keluarga. Dia justru mendekati Halwa dan berbicara empat mata dengan menantunya.
"Halwa, kalau sikap Cakar sedikit keras, ibu mohon kamu sabar dan kuat, ya. Dia memang sedikit keras kepala. Namun, dia bisa melunak jika kamu terus memberi perhatian dan memberi kelembutan untuknya," tutur bu Fajarani saat ruang keluarga hanya tinggal mereka berdua saja.
"Dan jangan lupa, kamu harus janji dan bisa mencuri hati Cakar. Buat dia jatuh cinta sama kamu. Sepertinya kamu memang gadis yang tulus, ibu yakin kamu bisa menaklukan hati Cakar. Perjuangkan, ya." Bu Fajarani untuk yang terakhir kalinya memberi nasihat untuk Halwa.
"Iya, Bu. Terima kasih atas nasihat dan perhatiannya. Halwa akan berusaha mejadi istri yang baik bagi Mas Cakar," ujar Halwa bertekad.
Bu Fajarani tersenyum senang, dia mengusap bahu gadis didekatnya dengan penuh berbagai harapan.
Setelah berbicara empat mata dengan Halwa, Bu Fajarani berpamitan untuk pulang.
Setelah kedua orang tua Cakar dan beberapa kerabat dari Cakar pulang, kini rumah itu sepi.
"Ayolah, ikuti aku. Kamu masih mau bengong di sudut ruang tengah dengan segala kebingungan kamu?" tegur Cakar mengagetkan Halwa.
Halwa membalikkan badan, lalu meraih koper bawaannya tadi dan dibawa menaiki tangga mengikuti Cakar.
Tiba di loteng rumah, Cakar melangkahkan kaki pada sebuah kamar yang berada di paling ujung ruangan ini. Ada dua kamar di loteng ini, ada balkon juga ruang keluarga.
"Masuklah, jangan mematung terus di situ. Meskipun aku tidak mencintai kamu, tapi aku tetap membawamu satu kamar denganku. Tapi ingat, jangan harap kamu bisa mendapatkan nafkah batin dariku, sebab aku sama sekali tidak tertarik dengan gadis caper seperti kamu," tandasnya lagi penuh tekanan.
Halwa hanya mengangguk dan mengikuti kamar milik Cakar yang kini sudah menjadi miliknya juga.
Kamar ini tidak terlalu sempit atau luas. Namun, terlihat sangat tertata rapi dan bersih. Sepertinya Cakar memang rajin membersihkan rumah ini termasuk kamarnya.
"Kamu boleh tidur di ranjang itu. Tapi tidak perlu mengutak-atik letak benda apapun di kamar ini, sebab itu adalah privasi aku. Ingat itu!" tegasnya lagi.
"Iya, Mas," sahutnya pendek.
"Oh ya. Aku patut berterimakasih sama kamu, karena dengan lihainya, hari ini kamu mampu mengarang dengan sempurna. Kamu bakat jadi pengarang yang handal."
Halwa paham maksud Cakar, dia sejak di Daisy Hotel sudah beberapa kali berbohong demi Cakar. Dan tadi di rumah ini, dia kembali berbohong. Semua itu demi kebaikan Cakar.
"Iya Mas, sama-sama. Semua itu untuk kebaikan Mas Cakar juga." Jawaban Halwa mampu membalikan tubuh Cakar yang tadinya sudah melangkah keluar kamar.