Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Dunia yang Berbeda
Pagi itu, Elyana terbangun dengan perasaan aneh. Langit di luar jendela terlihat seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda di sekitarnya—entah suasana, atau mungkin caranya melihat dunia sekarang.
Setelah percakapan intens dengan Davin semalam, ia merasa lebih yakin bahwa keputusannya untuk mendekati Davin dan mencoba membuka hatinya adalah langkah yang tepat. Namun, ia tidak menyangka bahwa keputusan kecil itu mulai membawa perubahan yang nyata, tidak hanya dalam hubungannya dengan Davin, tetapi juga di dunia di sekitarnya.
Elyana turun ke ruang makan dan melihat Davin sudah duduk di meja, membaca koran sambil minum kopi. Ini pemandangan yang jarang terjadi—biasanya Davin hanya menyelesaikan sarapan dengan cepat dan langsung pergi. Tapi kali ini, ia terlihat santai, bahkan menyapa Elyana dengan anggukan kecil.
“Pagi,” katanya singkat, namun dengan nada yang tidak sedingin biasanya.
Elyana berhenti sejenak, kaget, tetapi ia segera menjawab, “Pagi.”
Ia duduk di kursi di hadapan Davin, memandangi pria itu dengan rasa ingin tahu. Davin menyadarinya dan mengangkat alis. “Ada apa?”
“Tidak ada,” Elyana buru-buru menunduk, merasa malu karena ketahuan memerhatikan. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ini adalah salah satu perubahan kecil yang ia harapkan—Davin mulai membuka diri, meski hanya sedikit.
Saat Elyana pergi ke ruang kerja Davin untuk membereskan dokumen, ia menyadari bahwa sesuatu telah berubah di sana juga. Tumpukan dokumen yang biasanya berantakan kini lebih terorganisir. Di atas meja, ada catatan kecil bertuliskan:
Terima kasih telah membantu membereskan ruang ini. -D
Elyana tersenyum kecil, merasa bahwa usahanya untuk menunjukkan perhatian pada Davin mulai membuahkan hasil.
Namun, perubahan tidak hanya terjadi di rumah. Saat ia berjalan di luar rumah untuk membeli beberapa barang, orang-orang yang biasa ia temui di sekitar lingkungan tampak lebih ramah padanya. Penjaga toko yang biasanya hanya memberikan senyuman sopan kini tampak antusias berbicara dengannya.
“Bu Elyana, hari ini Anda terlihat lebih ceria,” kata penjaga toko itu.
“Benarkah?” Elyana merasa heran. Ia tidak merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Tapi mungkin, pikirnya, perubahan kecil dalam hidupnya mulai memengaruhi cara ia membawa diri di depan orang lain.
Malam itu, Elyana kembali memandangi jam saku yang ia temukan. Ia memutar-mutar benda itu di tangannya, seperti kebiasaannya ketika berpikir. Tiba-tiba, sebuah kilasan masa depan muncul di benaknya.
Namun, berbeda dari sebelumnya, kilasan itu tidak terasa gelap dan penuh duka. Kali ini, ia melihat Davin tersenyum kecil, berdiri di sebuah taman dengan bunga-bunga bermekaran di sekitarnya. Elyana ada di sisinya, dan mereka berbicara tentang sesuatu—suasana di antara mereka terasa hangat dan nyaman.
Kilasan itu menghilang secepat datangnya, tetapi meninggalkan jejak kebahagiaan di hati Elyana.
Elyana tahu bahwa meskipun ia telah melihat perubahan kecil ini, perjalanan mereka masih panjang. Ia tidak tahu seberapa besar dampak dari setiap keputusannya, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan menyerah.
Davin memang belum sepenuhnya terbuka, dan masih banyak rintangan yang harus mereka lewati. Tapi Elyana merasa lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa dunia mereka tidak lagi sama seperti dulu—dunia ini sedang berubah, dan ia adalah bagian dari perubahan itu.
“Dunia yang berbeda, ya?” gumam Elyana sambil tersenyum kecil pada dirinya sendiri. “Aku akan terus berjalan, Davin. Karena kamu layak mendapatkan kebahagiaan itu.”
Elyana kembali ke kamar dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa mengabaikan kilasan masa depan yang baru saja ia lihat—itu terasa begitu nyata, seolah menjadi pengingat bahwa setiap tindakannya memiliki konsekuensi.
Saat ia duduk di tepi tempat tidur, pikirannya melayang pada masa lalu. Apa yang akan terjadi jika ia tetap mengambil keputusan seperti dulu? Apakah senyum hangat Davin dalam kilasan itu benar-benar bisa menjadi kenyataan, atau hanya ilusi yang diberikan waktu untuk mengujinya?
Malam itu, Davin mengetuk pintu kamarnya. Elyana, yang sedang memandangi jam saku di tangannya, sedikit terkejut. Ini adalah pertama kalinya Davin datang ke kamarnya tanpa alasan yang jelas.
“Boleh masuk?” tanya Davin, suaranya datar, tapi ada nada keraguan di sana.
“Tentu,” jawab Elyana, menyembunyikan rasa gugupnya.
Davin melangkah masuk dan duduk di kursi dekat jendela. Untuk sesaat, keheningan menggantung di antara mereka. Elyana menunggu, memberinya ruang untuk berbicara terlebih dahulu.
“Aku melihat kotak itu tadi,” kata Davin akhirnya, matanya tertuju pada jam saku di tangan Elyana. “Aku lupa kalau aku masih menyimpannya.”
“Kenangan dari ibumu, bukan?” Elyana mengangguk kecil. “Aku menemukan suratnya... dia benar-benar menyayangimu.”
Davin terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis—senyum yang jarang Elyana lihat. “Iya, dia adalah orang yang selalu percaya padaku, bahkan ketika aku tidak percaya pada diriku sendiri.”
Elyana merasa hatinya tersentuh. Ia bisa melihat luka yang tersembunyi di balik sikap dingin Davin, luka yang ia coba sembunyikan dari dunia.
“Kamu tahu, Davin, aku ingin membantumu mengingat hal-hal baik seperti itu,” kata Elyana pelan, tapi penuh keyakinan. “Mungkin aku tidak sempurna, tapi aku ingin menjadi bagian dari kebahagiaanmu.”
Davin menatapnya, matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. “Kamu sudah melakukannya, Elyana. Lebih dari yang kamu sadari.”
Percakapan itu menjadi titik balik bagi Elyana. Ia menyadari bahwa meskipun Davin tidak selalu menunjukkan perasaannya secara langsung, ada perubahan kecil dalam caranya berbicara dan bersikap.
Hari-hari berikutnya, Elyana mencoba membuat lebih banyak momen kecil bersama Davin. Ia belajar mendengarkan, memberi ruang bagi Davin untuk berbicara, dan menunjukkan bahwa ia peduli tanpa terlalu memaksa.
Davin, di sisi lain, mulai lebih sering berada di dekat Elyana. Ia tidak lagi menghindar ketika mereka berbincang, bahkan sesekali tersenyum mendengar komentar Elyana yang spontan.
Hubungan mereka perlahan berubah. Bukan dengan cara dramatis, tetapi seperti bunga yang mulai mekar setelah musim dingin yang panjang.
Hari sudah menjelang malam, Elyana kembali memandangi jam saku. Ia merasa bahwa benda itu bukan hanya kenangan dari masa lalu, tetapi juga petunjuk untuk masa depan.
Saat ia menyentuh permukaan jam, ia kembali merasakan kilasan aneh. Kali ini, ia melihat dirinya berdiri di sebuah persimpangan jalan, dengan dua pilihan di depannya. Di satu sisi, ada jalan yang gelap, penuh dengan bayangan dari masa lalu. Di sisi lain, ada jalan yang terang, dengan Davin menunggunya di ujungnya.
Kilasan itu menghilang, meninggalkan Elyana dengan rasa lega sekaligus tanggung jawab besar. Ia tahu bahwa pilihannya akan menentukan segalanya, dan ia tidak bisa mundur lagi.
“Aku akan memilih jalan yang terang, Davin,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Untuk kita berdua.”
...****************...