seorang wanita cantik yang bertemu dengan Laki-Laki tampan membuat diri nya jatuh hati, Namun sangat di sayangkan mereka memiliki perbedaan yang sulit untuk mereka bersatu selama nya. apakah cinta mereka akan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fallenzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 1
Erfana Nabillah Azealia Karim, yang biasa dipanggil Nabillah, adalah seorang perempuan yang baik hati dan selalu ceria. Ia banyak disukai oleh orang-orang, terutama kaum orang tua. Bahkan, ada beberapa yang berharap agar Nabillah menjadi calon menantu mereka.
Nabillah memiliki tubuh yang agak berisi dengan kulit putih langsat dan mata yang indah karena memiliki bulu mata lentik serta alis yang tebal.
Setahun setelah bekerja di tempat kesehatan, Nabillah merasa dirinya mendapatkan banyak pengetahuan yang sangat bermanfaat. Saat ini, Nabillah sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Setelah selesai, ia berangkat, diantar oleh sang ayah. Dalam perjalanan, Nabillah hanya tersenyum dan selalu berdoa agar pekerjaan hari itu berjalan lancar.
Beberapa menit kemudian, Nabillah tiba di tempat kerjanya dan disambut oleh para orang tua yang ada di sana.
"Selamat pagi," sapa Nabillah.
"Eh, cantiknya calon menantu mama," jawab salah satu ibu-ibu.
"Masya Allah, Amin," ucap Nabillah dengan nada lembut.
Setelah bersalaman satu per satu dengan bapak dan ibu yang ada di sana, Nabillah izin kepada salah satu ibu-ibu untuk membuka gerbang tempat terapi, lalu mengabsen tamu yang datang satu per satu tanpa ada yang tertinggal.
Hari ini, Nabillah ditugaskan untuk menginput nama tamu atau pasien yang baru datang untuk berobat. Ia sangat menyukai tugas ini karena, dengan begitu, ia bisa lebih dekat dengan tamu atau pasien baru.
Waktu terus berjalan, dan pada pukul 2 siang, antrean untuk terapi mulai berkurang. Nabillah merentangkan tangannya karena merasa pegal, lalu meminta izin kepada atasannya untuk membeli minum di luar. Saat melewati ruang terapi, ia melihat seorang pemuda yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Pemuda itu juga melihat dirinya, lalu berdiri dan bertanya kepada Nabillah.
"Permisi, maaf, Mbak, saya mau tanya," kata pemuda itu.
Nabillah sedikit terkejut mendengar dirinya dipanggil "Mbak", namun segera tersenyum ramah.
"Iya, Kak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Nabillah.
"Saya Delvin, saya di sini mau... maksud saya, apakah pasien yang sedang terapi di sini sudah pulang semua?" tanya Delvin sambil memperkenalkan diri dengan nada gugup.
"Apakah Kakak anak dari salah satu pasien yang terapi di sini?" tanya Nabillah.
"Iya, Mbak," jawab Delvin.
"Kalau boleh tahu, nama ibu atau ayah Kakak siapa?" tanya Nabillah.
"Mama Ey, Mbak," jawab Delvin
"Oh, Mama Ey. Beliau sedang terapi, Kak, baru saja masuk ke ruangannya. Kakak kenapa nggak ikut terapi?" tanya Nabillah.
Delvin menggelengkan kepala. "Saya masih muda, Mbak, jadi nggak perlu terapi."
"Eh, jangan salah, Kak. Justru karena masih muda, Kakak harus jaga kesehatan. Ayo, Kak, terapi, biar saya yang melayani," ajak Nabillah.
"Baik deh, Mbak. Badan saya juga pegal-pegal, sepertinya enak kalau saya terapi di sini," jawab Delvin.
Nabillah tersenyum karena akhirnya Delvin setuju untuk terapi. Senang karena tamu baru bertambah. Delvin mengikuti Nabillah ke ruang terapi, meskipun kebanyakan pasien yang datang adalah orang tua, ada beberapa anak muda yang memang membutuhkan terapi karena kondisi fisik tertentu.
"Silakan berbaring, Kak," ujar Nabillah sambil mempersilakan Delvin untuk berbaring.
Karena Delvin tidak membawa perlengkapan terapi, Nabillah meminjamkan selimut kesayangannya.
"Saya nyalakan alatnya, Kak. Kalau Kakak merasa sakit, tahan saja. Sakitnya hanya sebentar kok," ucap Nabillah, dan Delvin mengangguk setuju.
Setelah menyalakan alat terapi, Nabillah kembali ke ruang depan untuk mengambil buku data pasien baru, melupakan rencananya untuk membeli minum.
"Siapa laki-laki itu?" tanya tiba-tiba salah satu teman Nabillah.
"Anaknya pasien baru, Pita, kenapa?" jawab Nabillah.
Pita menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Enggak apa-apa, cuma ganteng, Bill," ucap Pita, membuat Nabillah menggelengkan kepala. Ia sudah tahu bagaimana respons teman kerjanya itu.
"Emang ganteng, kan dia cowok," jawab Nabillah.
"Iya sih, tapi kan maksud gue, dia ganteng, Bill. Lo nggak tertarik sama dia?" tanya Pita dengan nada menggoda.
"Aduh, udah ah, gue mau kerja lagi, masih banyak data yang harus dicatat," jawab Nabillah, sedikit malas menjawab pertanyaan Pita yang tidak penting.
Pita hanya cengengesan, senang menggoda Nabillah, karena ia tahu kalau Nabillah suka atau tidak dengan seseorang bisa terlihat dari raut wajahnya.
Nabillah kembali ke ruang terapi untuk membuat kartu absen untuk Delvin Duduk di samping alat terapi yang dipakai oleh Delvin, ia memperhatikan Delvin yang tampaknya sangat menikmati terapi tersebut.
"Maaf mengganggu, Kak," ucap Nabillah yang merasa agak tidak enak. Ini adalah kali pertama ia merasa deg-degan saat berada di dekat Delvin.
"Enggak kok, Mbak, santai saja," jawab Delvin sambil menikmati gerakan alat terapi yang memijat pundaknya.
"Perkenalkan, Kak, nama saya Nabillah, saya staff di sini. Maaf, tadi nama Kakak siapa?" tanya Nabillah sambil mencatat data.
"Delvin Laksamana Harefa," jawab Delvin sambil melirik Nabillah yang sedang mencatat.
"Kalau umur Kakak berapa? Sepertinya Kakak masih muda," tanya Nabillah, sambil menoleh ke arah Delvin.
"Umur saya 23, Mbak," jawab Delvin.
Nabillah mengangguk. "Kak, bisa nggak panggil saya tanpa embel-embel 'Mbak'? Panggil nama saja, boleh?"
Delvin tersenyum, "Oke, Billa."
Beberapa menit kemudian, Nabillah masih duduk menunggu Delvin selesai terapi. Ia merasa khawatir kalau Delvin merasa kesakitan, padahal Delvin malah merasa sangat nyaman dan tubuhnya terasa lebih ringan.
"Gimana, Kak, rasanya terapi di sini?" tanya Nabillah, sambil meletakkan tangan di dagunya.
"Awalnya sakit, tapi lama-lama enak," jawab Delvin dengan jujur.
"Memang seperti itu, Kak. Semoga dengan rasa enak ini, Kakak bisa terapi setiap hari bersama Mama Ey juga," ucap Nabillah, sambil mematikan alat terapi karena waktunya sudah selesai, lalu melipatkan selimut yang dipakai Delvin.
"Terima kasih, Billa," ucap Delvin.
"Sama-sama, Kak," jawab Nabillah dengan lembut.
Setelah mengucapkan terima kasih, Nabillah melangkahkan kaki ke pintu untuk membuka pintu ruangan terapi, memberi kesempatan kepada tamu atau pasien yang telah selesai terapi untuk keluar.
"Terima kasih, Mama Ey, besok datang lagi ya!" ujar Nabillah dengan nada ramah. Mama Ey hanya menunduk dan mengangguk sebagai jawabannya.
Nabillah tersenyum lalu mengangkat jari kelingkingnya. "Janji dulu sama Nabillah," ujarnya. Mereka saling kaitkan jari kelingking, yang membuat orang di belakang Mama Ey tersenyum hangat.
Setelah itu, Nabillah beralih ke Delvin. "Terima kasih banyak, Kak, sudah mempercayakan kesehatan di sini. Semoga Mama Kakak cepat sembuh dan cocok berobat di tempat kami," ujar Nabillah, lalu bersalaman dengan Delvin.
"Sama-sama, Bill. Saya yang berterima kasih kepada staff di sini," jawab Delvin dengan ramah.
"Yasudah, saya pamit dulu, Bill," lanjut Delvin.
Nabillah mengangguk dan tersenyum. "Iya, Kak, hati-hati di jalan, sampai ketemu lagi," ucap Nabillah.
Delvin dan Mama Ey pun pergi menuju rumah mereka, sementara Nabillah menutup pintu ruang terapi dan mengecek alat terapi satu per satu sambil menunggu sesi berikutnya. Tempat ini buka hingga jam 5 sore, dan kadang bisa menerima 300 hingga 500 orang dalam sehari, dengan satu sesi melayani 20 orang lebih.
TBC...