Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22-Ceroboh
Kejahatan jika dibalas dengan kejahatan juga, pasti tidak akan ada ujungnya. Alangkah bagusnya dibalas dengan kebaikan, agar mendatangkan ketenangan serta kesejahteraan bersama. Itu pula yang dilakukan Mama.
Kejadian buruk di masa lalu tak membuat hatinya diliputi dendam, bahkan beliau menerima dengan tangan terbuka kehadiran Tante Nadia dan juga Mbak Rumi. Tak tanggung-tanggung, Mama pun menawarkan tempat tinggal, agar mereka bisa menetap di bawah lindungan atap yang sama.
Aku benar-benar tak habis pikir sekaligus kagum. Aku tak memiliki hati seluas dan seikhlas beliau dalam menyikapi takdir.
"Pilih aja mau kamar yang mana, mau di lantai atas silakan, di bawah juga gak papa. Ada beberapa kamar kosong," tutur Mama begitu ramah.
Tante Nadia mengangguk singkat. "Makasih banyak, Mbak. Maaf saya jadi merepotkan, saya sudah sangat malu atas kesalahan saya di masa lalu."
Mama tersenyum tulus. "Kita gak bisa mengubah masa lalu, lebih baik menata masa depan agar lebih baik lagi."
Karena terlilit banyak hutang, tempat tinggal yang digadai, alhasil kini Tante Nadia dan juga Mbak Rumi tinggal bersama dengan Mama. Sekarang pun Bang Fariz tengah melunasi semua hutang-hutang keluarga Papanya, dia tidak ingin memberatkan langkah sang ayah di akhirat sana.
Sebetulnya rumah yang digadai bisa kembali menjadi hak milik Tante Nadia jika transaksinya diselesaikan. Tapi, Bang Fariz keberatan jika harus melunasi beserta bunga-bunganya.
Bang Fariz hanya bersedia membayar sebagaimana nominal yang dulu diterima Tante Nadia. Jelas, hal itu tidak bisa. Oleh sebab itulah Bang Fariz meminta Tante Nadia dan juga Mbak Rumi untuk mengikhlaskan rumah tersebut.
"Aku siapkan makan malam dulu, Bi Sri lagi libur, kan, Ma? Tante Nadia sama Mbak Rumi istirahat dulu aja," kataku seraya bangkit.
Mama menahan lenganku agar kembali duduk. "Mama sudah pesan makanan, sebentar lagi juga sampai."
Aku mengangguk dan tersenyum sebagai respons.
"Kamu bersih-bersih dulu aja, istirahat juga. Pasti capek, kan," cetus beliau penuh perhatian.
Sebuah anggukan kembali kuberikan. Sebelum melangkah pergi, aku menyempatkan diri untuk berpamitan pada Tante Nadia dan juga Mbak Rumi. Sepertinya mereka perlu waktu untuk berbincang bersama.
Setibanya di kamar, aku langsung bergegas untuk membersihkan badan yang sudah sangat lengket dan gerah. Tak memerlukan banyak waktu, kegiatan mandiku pun selesai. Tapi, aku lupa membawa pakaian ganti yang memang sengaja disediakan di kamar ini. Sangat ceroboh.
Kepalaku menyembul ke luar pintu, takut ada orang yang masuk tanpa izin. Setelah memastikan tidak ada orang, aku pun memacu langkah secepat yang kubisa untuk menuju lemari. Namun, langkahku terhenti saat mendengar suara kenop pintu yang dibuka.
Aku terperanjat dan bersembunyi di balik lemari untuk menutupi tubuhku yang hanya mengenakan handuk sebatas paha. Tapi, dengan tanpa dosanya Bang Fariz malah merebahkan diri di ranjang. Senyum jahilnya terlihat sangat menyebalkan.
"Keluar dulu, Bang. Aku mau ganti baju," pintaku masih bersembunyi di balik pintu lemari.
Meskipun sudah lama berstatus sebagai suami istri, tetap saja aku tak memiliki keberanian cukup untuk berganti pakaian di hadapannya secara langsung. Malu.
"Abang merem, gak akan ngintip," katanya.
Aku mendengkus kasar. "Gak percaya. Sudah sana keluar dulu, dingin banget ini. Gimana kalau aku masuk angin?"
Bang Fariz bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk bersila menghadap ke arah lemari, di mana aku bersembunyi. "Jangan lebay."
Seenaknya saja dia berujar. Di sini memang sangat dingin, suhu AC yang tinggi, ditambah aku baru saja selesai mandi.
"Jangan usil dong, Bang!"
Bang Fariz malah tertawa puas dan bergerak cepat menghampiriku. Spontan aku pun memegang kuat pintu lemarinya.
"Abang gerah, AC-nya kurang dingin," katanya lantas mengotak-atik remote AC.
"Kalau gerah, MANDI."
"Jangan ketus-ketus gitu dong sama suami," sahutnya dengan memasang wajah super menyebalkan.
Rasanya aku ingin menghilang sekarang juga.
"Abang Suami yang baik hati, dimohon kerjasamanya untuk keluar sebentar, bisa?"
Dia malah menggeleng.
"Aku aduin sama Mama yah, Bang Fariz jahilnya kebangetan."
Bang Fariz malah tertawa dengan begitu puasnya. "Gak malu emang sama Mama? Yang ada kamu diketawain abis-abisan pasti."
Aku mencebik sebal. Tubuhku sudah sangat menggigil kedinginan, tapi Bang Fariz enggan melangkah pergi.
"Tidur di luar, malam ini aku kunciin!"
"Malam ini kita tidur di sini, Abang punya banyak koleksi kunci cadangannya," ujar Bang Fariz begitu angkuh.
ALLAHUAKBAR. Aku benar-benar kehabisan akal.
Secara tiba-tiba Bang Fariz menarik tanganku yang saat itu masih memegang pintu lemari. Dalam sekali hentakan aku berhasil keluar dari persembunyian. Aku tak kuasa untuk menatap ke arahnya, hanya berani menunduk untuk melihat lantai.
Wajahku rasanya sudah sangat panas, seperti tengah dibakar matahari karena saking malunya.
"Selamat berganti pakaian," bisiknya sebelum mendaratkan sebuah kecupan singkat di pipi, lantas melesat pergi.
Dadaku berdegup di luar kendali. Perlakuan Bang Fariz benar-benar membuat jantungku berulah. Rasanya campur aduk, tapi lebih dominan rasa malu.
"Malah bengong, buruan. Abang cuma kasih kamu waktu lima menit."
Aku terperanjat saat melihat Bang Fariz tengah menyembulkan kepala di ambang pintu. Dengan kecepatan seribu langkah aku pun mengambil acak pakaian lantas berlari cepat menuju kamar mandi.
"Awwwsss," ringisku saat tak sengaja menabrak kaki ranjang.
"Ya Allah, Kirania kamu ini ceroboh banget sih. Ibu jari kamu berdarah ini," ungkap Bang Fariz yang entah sejak kapan sudah berjongkok di depanku, seraya menatap lukanya yang mengeluarkan darah.
"Kamu ini, Abang cuma bercanda. Lagi pula kenapa harus malu sih. Kayak pengantin baru aja," imbuhnya yang tanpa izin langsung menggendongku lantas merebahkan tubuhku di atas ranjang.
"Diem di situ, jangan ke mana-mana. Abang ambil P3K dulu."
Aku menurut, tapi berusaha untuk menutupi tubuhku dengan selimut.
Bang Fariz kembali datang dan langsung mengobati lukaku. Aku hanya memperlihatkan kaki sebelah kiriku saja, sisanya masih tertutup rapat hingga ujung kepala.
Mulut Bang Fariz tak henti-henti mengomel dan menceramahi. Aku hanya manggut-manggut saja, tidak ingin banyak berkomentar. Takut salah bicara, malah akan menjadi semakin panjang.
Aku terkejut saat Bang Fariz menarik selimutnya hingga sebatas leher. "Bajunya pakai dulu, bisa sendiri, kan?"
Aku mengangguk cepat. "Bisa, tapi Abang keluar dulu. Aku malu," cicitku.
Bang Fariz mengacak rambutku yang memang sudah acak-acakan. "Makin cantik kamu kalau lagi blushing gitu," gombalnya yang langsung kuhadiahi putaran bola mata malas.
"Udah sana keluar!" usirku.
Bang Fariz mengangguk singkat, tapi dengan jahilnya dia mencubit kedua pipiku terlebih dahulu. Refleks aku pun melemparinya dengan bantal, tapi dengan tidak tahu malunya Bang Fariz malah tertawa terbahak-bahak.