Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Katakan padaku, Ayah. Ayah gunakan untuk apa uang-uang itu? Kenapa rentenir itu masih datang dan mengejar ku?! Dan kemana saja Ayah selama ini? Kenapa tidak menemani Ibu di rumah sakit?"
Pertanyaan bertubi-tubi mengalun dari bibir indah Lily. Seluruh pertanyaan yang semalaman ini sudah bercokol di kepalanya. Ditambah lagi sang ayah tiri juga terlihat begitu santai.
Sang ayah sedang merokok di sofa ruang tamu. Seolah pria itu juga sengaja menunggu kedatangan putri tirinya. Anthony berusaha bersikap tenang.
Anthony diam-diam sudah menyiapkan alasan. Dia tidak mau Lily tahu kalau uangnya sudah habis untuk berjudi sekaligus membayar hutang akibat judi.
Sebagian lagi juga Anthony gunakan untuk membeli rumah baru yang lebih layak. Namun, pria paruh baya itu sama sekali tidak gentar, karena dia punya kabar baik yang disimpannya rapat.
Sisa uang pembayaran sepenuhnya telah dilunasi oleh orang yang sudah membeli anak gadisnya itu dengan satu syarat yang sudah dia sepakati juga adalah membuat Lily menyerahkan diri tanpa paksaan. Tentu saja, demi uang tiga ratus ribu dolar yang sudah ada di rekeningnya, dia akan melakukan apa saja agar membuat putrinya itu kembali pada pria kaya raya itu.
Kalau sampai Anthony gagal melakukannya, jelas hidupnya akan berakhir di tangan pria yang pastinya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sangat besar itu.
Sedangkan di lain sisi, Lily hanya ingin uangnya dikembalikan agar dia bisa memutuskan kontrak segera dengan pria arogan yang selalu memperlakukannya semena-mena.
"Kenapa ayah diam saja? Jawab aku, Ayah! Aku ingin mengembalikan semua uang itu pada pemiliknya. Aku benar-benar tidak ingin berurusan lagi dengan pria itu. Dia sudah menghinaku dan sama sekali tidak bisa menghargai ku! Aku ingin mengakhiri semuanya. Aku ingin membatalkan pernikahan.
Mendengar ungkapan terakhir Lily, membuat dada Anthony bergemuruh. Pria paruh baya itu buru-buru membuang puntung rokok ke dalam asbak dan berdiri untuk menjambak rambut belakang Lily.
"Apa maksudmu ingin membatalkan pernikahan itu, Gadis Bodoh! Bukankah pria itu sudah sah menjadi suamimu?! Bukankah kau sudah tahu kalau hutang kita bukan hanya pada satu rentenir? Bagaimana bisa kau berpikir kalau aku sudah membayar Brandon?!" sentak sang ayah sengit.
"T-tapi bukankan jumlah itu sangat besar? Dua ratus dolar bukan uang yang sedikit, Ayah! Setidaknya kita bisa melunasi sebagaian," ucap Lily ketakutan.
"Bunga untuk satu rentenir saja jumlahnya sudah sangat tinggi. Dan asal kau tahu, mereka semua meminta kita untuk membayar bunganya sekaligus! Aku hanya melunasi tiga rentenir saja dari total tujuh rentenir itu! Apa kau lupa, kalau ibumu itu juga harus membayar hutang almarhum ayahmu yang ada di bank? Ya! Hutang ibumu itu benar-benar sangat banyak jumlahnya. Bahkan aku sampai sakit kepala setiap memikirkannya! Sudah bagus selama ini aku mau menampung kalian untuk tetap hidup dan tinggal di sini! Kalau tidak, kalian sudah pasti menjadi gelandangan!"
Lily menggeleng kuat sebagai tanda tidak percaya. Dia memang tahu kalau mendiang ayahnya meninggalkan banyak hutang, tapi tampaknya sang ibu belum melunasinya, apalagi dengan meminjam dari rentenir.
Seingat Lily, semua hutang itu muncul akibat sang ayah tiri yang meminjam pada lintah darat untuk biaya pengobatan sang ibu dan tidak ada sangkut pautnya dengan sang ayah.
"Ibuku tidak mungkin berhutang pada rentenir-rentenir itu, Ayah! Ayah jangan berbohong padaku!" teriak Lily tidak terima.
"Dasar gadis tidak tahu diri !" teriak Anthony lalu menghempaskan tubuh Lily ke lantai.
Namun rupanya dorongan itu terlalu kuat hingga kepala Lily menabrak ujung meja yang membuat dahinya berdarah. Sedangkan, gadis itu hanya bisa merasakan pening di kepalanya.
Lily rasanya sudah jengah. Baginya semua pria sama saja. Mereka tidak memiliki perasaan. Hanya bisa menyakiti perempuan. Saking marahnya, Lily bahkan tidak menyadari kalau dahinya berdarah.
"Jangan banyak tingkah, Lily! Kau tidak boleh seenaknya saja membatalkan semua perjanjian kontrak itu. Kamu pikir bisa semudah itu lepas dari orang yang telah membayar mahal atas semua hidupmu?! Apa kamu ingin ibumu mati tanpa pertolongan? Kenapa otak kecilmu itu tidak bisa berpikir dengan benar!" Anthony sama sekali tidak merasa bersalah.
"Sekarang berdiri! Aku akan mengantarkan mu ke rumah pria itu! Ini bukan rumahmu lagi. Rumahmu adalah di tempat suamimu!"
Lily berdiri susah payah, tapi tentu bukan untuk menuruti keinginan Anthony. Dia dengan berani menatap sang ayah yang balik menatapnya jengkel.
"Tidak, Ayah! Pergilah kalau Ayah ingin pergi! Aku akan tetap di sini!" Lily bersikeras.
"Benar-benar anak tidak tahu diri!" geram Anthony.
Pria paruh baya itu sudah mengangkat tangannya ke udara dan hampir saja melayangkannya tepat di wajah Lily. Namun, tindakannya terhenti saat setelah mengingat pesan dari pria misterius itu.
Dia tidak boleh menyakiti Lily sedikit saja. Sedangkan sekarang saja dahi gadis itu sudah terluka karenanya. Entah bagaimana nanti ia akan menjelaskannya pada pria itu.
"Kenapa berhenti? Ayo tampar aku? Bukankah Ayah sudah sangat sering melakukannya?" Lily justru menantang "
Arrrrghhh! Kau benar-benar-"
Drrrtttt... drrtttt... drrtttt
Kata-kata Anthony terhenti kala melihat Lily buru-buru meraih ponselnya yang bergetar di dalam tas selempangnya. Anthony sigap memperhatikan siapakah yang sedang menelepon.
"R-rumah sakit," gumam Lily.
Lily sempat membeku sesaat setiap melihat nama rumah sakit terpampang di layar ponselnya. Dia selalu ketakutan akan mendengar kabar buruk tentang ibunya.
Walau ragu untuk mengangkat, tapi gadis itu menggulir juga tombolnya untuk menerima panggilan tersebut. "Y-ya?"
"Nona Lily. Kondisi Ibu Anda kembali tidak stabil. Operasi ini tidak bisa ditunda lagi, Nona. Tolong segera urus semuanya paling lambat besok pagi kalau memang Nona ingin melihat ibu Anda selamat. Dokter akan segera mengambil tindakan agar nyawa ibu anda bisa tertolong."
Bagai petir di siang bolong, ketakutannya pun terjadi. Lily jatuh lemas di lantai bersamaan dengan ponsel yang meluncur dari tangannya. Kalut, hanya itu yang dia rasakan kini.
Melihat Lily mendadak ambruk, Anthony pun bertanya. Pria paruh baya itu meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh dari tempat putrinya berada dan langsung bicara pada si penelpon.
"Halo, ini dengan Anthony. Ayahnya Lily. Apa yang terjadi ?"
Lily tidak mempedulikan apapun yang sedang ayah bicarakan dengan staf rumah sakit tersebut. Dia sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya saat itu.
Lily membutuhkan biaya sebesar delapan ratus ribu dolar untuk seluruh biaya operasi. Tentu dia tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu kemana di malam hari seperti itu.
Lily hanya bisa menangis karena mengira itulah akhir hidup ibunya. Setelah perjuangan yang sang ibu lakukan dengan semangat hidup yang selalu menyala.
Gadis itu sangat ingin melihat sang ibu sembuh dan kembali hidup seperti sedia kala. Apakah itu keinginan yang terlalu berlebihan bagi keduanya? Hingga sulit sekali menemukan cara.
"Lihatlah! Apa kau tidak ingin menyelamatkan ibumu?! Ya, Tuhan! Yang benar saja. Biaya operasinya saja sampai enam ratus ribu dolar. Kemana kau akan mencari malam-malam begini, Lily!?"
Geram Anthony.
Tentu itu bukan ujar kepedulian. Itu hanya cara Anthony meyakinkan Lily, dengan tujuan akhir adalah untuk menyelamatkan diri sendiri. Gadis itu tidak boleh mengetahui niat busuknya itu.
"Hanya pria itu yang bisa menyelamatkan nyawa ibumu, Anak Bodoh. Suamimu itu bukan orang sembarangan. Uang sebanyak itu bukan apa-apa baginya. Mintalah sisa pembayaranmu atas perjanjian itu! Dan selamatkan ibumu!" Anthony coba merayu.
"Setidaknya kau harus tahu balas budi. Ibumu telah banyak berkorban untukmu. Ibumu sudah susah payah membesarkan mu dalam kesusahan. Setidaknya balas lah sedikit dengan membuat kesehatannya kembali seperti sedia kala." Anthony masih coba mengompori.
"Jadilah anak berbakti! Kau akan menyesal kalau tidak menyelamatkannya sekarang,Lily! Apa yang kamu pikirkan? Harga diri? Apa harga dirimu lebih penting dari pada nyawa ibumu? Ckckck! Memang benar kata pepatah. Seorang ibu akan sanggup berkorban untuk anaknya dan bahkan rela memberikan nyawanya sekalipun, tapi lihatlah dirimu!" Anthony men cebik getir.
"Begitu tidak tahu diri! Masih sempat memikirkan harga diri padahal ibumu sedang sekarat di sana! Hey, Lily. Gunakanlah akalmu itu dengan benar! Bahkan ibumu mendonorkan darahnya untukmu saat ia pun kekurangan darah!" Anthony coba mengulik masa lalu.
"Apa kau tidak ingat saat kau kecil sedang sekarat dan terbaring di rumah sakit?! Ibumu yang memaksa dokter untuk mengambil darahnya saja karena saat ini golongan darahmu itu stoknya sedang tidak ada di mana-mana. Di antara kesakitannya, ibumu tidak peduli kalau darahnya harus habis sekalipun untuk diberikan padamu. Tapi lihat dirimu! Tega-teganya-"
"Cukup, Ayah!" potong Lily cepat.
Susah payah gadis itu menyokong tubuhnya sendiri. Dia kemudian meraih secepat kilat ponsel yang berada di tangan Anthony lalu menekan nomor seseorang di sana. "
H-halo, Dario. B-bisakah kamu menjemput ku? Ada hal penting yang harus aku bicarakan. Ini tentang atasanmu, Dario."
"Baiklah, aku akan segera mengirimkan lokasi alamatku sekarang. Terima kasih, Dario."
**
HAPPY NEW YEAR GUYSS