"Jika kamu ingin melihat pelangi, kamu harus belajar melihat hujan."
Pernikahan Mario dan Karina sudah berjalan selama delapan tahun, dikaruniai buah hati tentulah hal yang didambakan oleh Mario dan Karina.
Didalam penantian itu, Mario datang dengan membawa seorang anak perempuan bernama Aluna, yang dia adopsi, Karina yang sudah lama mendambakan buah hati menyayangi Aluna dengan setulus hatinya.
Tapi semua harus berubah, saat Karina menyadari ada sikap berbeda dari Mario ke anak angkat mereka, sampai akhirnya Karina mengetahui bahwa Aluna adalah anak haram Mario dengan wanita lain, akankah pernikahan delapan tahun itu kandas karena hubungan gelap Mario dibelakang Karina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
"Silakan kau melapor! Aku tak akan bisa dikasuskan, kecuali ...." Mario menghentikan ucapannya.
"Kecuali apa ...?" tanya Zoya dengan dahi berkerut karena penasaran.
"Kecuali kalau aku sebenarnya bukan ayah kandungnya ...."
Zoya menatap Mario dengan tatapan tajam, mata berapi, dan wajah merah padam. "Kenapa kamu bertanya hal seperti itu?!" suaranya bergetar penuh amarah.
"Kenapa kamu marah? Aku hanya bertanya. Jika Nuna memang anak kandungku, tak ada alasan kamu untuk melarang'ku membawanya pergi!"
Zoya tampak menarik napas dalam. Tak ada kata yang bisa dia ucapkan. Saat Mario akhirnya memutuskan masuk ke mobil, dia hanya bisa memandangi saja. Membiarkan mobil itu melaju meninggalkan halaman rumahnya.
***
Karina terbangun dari tidurnya ketika suara gawainya bergetar di samping bantal. Ia meraba-raba, matanya masih mengantuk, dan akhirnya mengambil ponsel tersebut. Dengan sedikit keraguan, dia melihat nama yang muncul di layar—Rumah Sakit Sehat Selalu. Hatinya berdegup kencang. Mungkin ini saatnya, pikirnya.
Karina sudah hampir lupa dengan tes DNA itu seandainya saja kemarin Mario tak menyinggung tentang Aluna. Dia juga ingin memastikan apakah itu anak kandung suaminya.
“Hallo, selamat pagi, ini Karina?” suara dari ujung telepon itu terdengar tenang, meskipun ada ketegangan yang menyelimuti kata-katanya.
“Iya, ini saya,” jawab Karina dengan suara yang sedikit bergetar.
“Kami dari rumah sakit ingin memberitahukan bahwa hasil tes DNA yang Anda lakukan sudah keluar. Kami memohon Anda untuk datang ke sini secepatnya,” lanjut suara itu.
“Baik, saya akan datang,” jawab Karina singkat. Setelah menutup telepon rasa penasaran dan gugup menyelimuti dirinya. Dia memandangi foto Aluna di meja samping tempat tidurnya. Senyumnya yang ceria seolah menyiratkan kebahagiaan yang jauh dari segala cobaan. Karenanya, ia mantap untuk menyimpan rahasia ini lebih lama.
Setelah mandi dan berpakaian, Karina menemukan Mario sedang duduk di ruang tamu sambil membaca koran.
“Pagi, Mas! Maaf, aku tak sempat buat sarapan. Apa Aluna sudah bangun?" tanya Karina.
"Tak apa, Sayang. Biar bibi saja yang buat. Kamu terlihat rapi, mau kemana?" tanya Mario.
Dia melihat penampilan istrinya itu sudah rapi. Rasa penasaran membuatnya bertanya. Dalam hatinya juga ada rasa cemburu, karena Karina tampak jauh lebih cantik saat ini.
"Aku mau ke rumah Lina sebentar, Mas. Ada keperluan,” ucap Karina sekenanya sambil berusaha menahan kegugupan yang mencuat.
“Oh, ya sudah. Hati-hati ya! Kapan pulangnya? Apa aku antar saja?” tanya Mario sambil tidak memalingkan pandangannya dari tubuh istrinya yang terlihat lebih segar.
“Enggak tahu, mungkin siang,” jawab Karina terburu-buru sambil mengambil tasnya dan berjalan keluar.
"Sayang, apa kamu tak sarapan dulu?" tanya Mario sambil berteriak.
"Aku mau sarapan dengan Lina saja, Mas," jawab Karina dengan berteriak juga. Dia berjalan terburu-buru menuju mobil.
Di dalam mobil, pikiran Karina melayang-layang. Dia mengingat kembali hari ketika dia meminta rumah sakit melakukan tes DNA. Ketika dokter menjelaskan bahwa tes dilakukan untuk memahami lebih jelas mengenai hubungan keduanya, Karina merasa beruntung mendapatkan kesempatan itu. Namun sekarang, hasilnya baru saja ia terima, dan semuanya terasa berbeda.
Sesampainya di rumah sakit, Karina berjalan menuju resepsionis, menahan debar jantungnya. Dia menginformasikan kedatangannya dan tak lama kemudian seorang perawat mendatangi dirinya, membawa masuk ke ruang konsultasi.
“Selamat datang, Ibu Karina. Kami sudah menunggu Anda,” ucap perawat tersebut ramah, meski tidak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya.
“Terima kasih,” jawab Karina. Ia mengamati sekeliling ruangan—dinding berwarna putih bersih, poster tentang kesehatan anak, serta beberapa kursi tunggu yang dipenuhi orang-orang.
Setelah menunggu beberapa menit, dokter yang mengurus dan melakukan tes tersebut masuk ke dalam ruangan. “Selamat pagi, Ibu Karina. Saya Dr. Andi. Mari kita bahas hasilnya.”
Karina mengangguk, dan dokter pun mulai menjelaskan. “Setelah melakukan analisis, kami menemukan bahwa hasil tes DNA menunjukkan bahwa Bapak Mario dan Aluna tidak memiliki hubungan darah. Artinya, Aluna bukan putri kandung Pak Mario.”
Karina terkejut, mata terbuka lebar, wajah pucat. Bibir gemetar, napas terhenti. Rasa bingung dan keheranan menghantui wajahnya.
Dia tak tahu apakah berita ini sangat menyenangkan atau menyedihkan baginya. Menyenangkan karena ini bisa jadi senjata baginya untuk membuat Zoya menjauhi suaminya. Menyedihkan karena membayangkan kesedihan suaminya Mario saat mengetahui anak yang dia sayangi ternyata bukan darah dagingnya.
Kata-kata itu datang seperti petir di siang bolong. Karina merasakan dunia sekitarnya bergetar. Dia membuang pandangan, mencoba memahami semua ini. “Jadi … selama ini, Mario mengira Aluna adalah putrinya. Mario juga sangat menyayangi bocah itu gumamnya pada diri sendiri. Suaranya tak terdengar.
"Apakah hasil ini sudah pasti, Dok? Tidak ada kekeliruan'kan?" tanya Karina. Dia ingin memastikan semua itu.
Dr. Andi mengangguk, “Kami mengerti ini mungkin mengejutkan bagi Anda. Keterikatan emosional bisa jadi lebih kuat daripada hubungan biologis.”
Karina terdiam, berjuang melawan gelombang emosi yang datang. Dia berpikir tentang Mario, tentang bagaimana suaminya itu selalu berusaha tampil sebagai ayah yang baik untuk Aluna. Dan kini, semua ini akan hancur. Wajah Mario yang penuh harapan dan kebahagiaan menggambarkan apa yang akan terjadi ketika kebenaran ini terungkap.
“Apakah ada yang bisa saya bantu lebih lanjut?” tanya dokter dengan nada penuh rasa ingin tahu.
“Saya … mohon agar hasil ini tidak disebarluaskan. Bisakah saya menyimpannya terlebih dahulu? Saya butuh waktu untuk menjelaskan pada suami saya,” jawab Karina dengan suara bergetar.
“Baiklah, Ibu. Hasil ini hanya untuk pribadi Ibu. Kami tidak akan mungkin memberitahukan siapa pun tanpa izin dari Ibu,” kata Dr. Andi, sambil mencatat hal tersebut di dokumen.
Karina merasa sedikit lega. Dia mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi dari ruang dokter itu. Saat langkahnya menginjakkan kaki keluar rumah sakit, beban di pundaknya terasa semakin berat. Dia menyalakan mobil dengan perasaan canggung. Harus ada cara untuk mengatasi semua ini.
Dalam perjalanan pulang, pikirannya terus berputar. Mengetahui bahwa Aluna bukan darah daging Mario adalah fakta yang terlalu sulit untuk diterima, walau tak munafik jika dia bahagia mengetahui kenyataan ini.
Karina memang ingin menggunakan hasil ini sebagai alat untuk menekan Zoya. Dia telah memiliki rencana dengan hasil tes DNA itu.
"Tunggu saja, Zoya. Kamu tak bisa lagi menggunakan Aluna sebagai senjata, aku telah memiliki kartu As," ucap Karina dalam hatinya.
Kamu harus mengatakan kebenaran ini ke Mario , biar bagaimana pun Mario harus tahu kebeneran ini
Dan semoga dgn kabar ini kan mempererat hubungan Karina dan Mario.
laaah lalu anak siapa ayah biologis dari Aluna. Berarti Mario korban dari Zoya