Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22, rencana rahasia Tara
Sejak insiden jalan-jalan bersama mamanya, Tara mulai memikirkan sesuatu. Meskipun kecewa, dia sadar bahwa Alya selalu ada untuknya, memberikan perhatian yang bahkan ibunya sendiri tidak pernah lakukan. Tara melihat sesuatu yang berbeda di antara Alya dan ayahnya, meski keduanya tampak terlalu keras kepala untuk menyadarinya.
Di suatu sore, Tara duduk di kamarnya, memainkan pensil di tangannya sambil menggambar skema di sebuah kertas. Ia sudah mengatur strategi agar ayahnya dan Alya bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Tara tahu, untuk menyukseskan rencananya, ia butuh bantuan. Dengan semangat, ia memanggil para asisten rumah tangga ke kamarnya.
Tara melipat tangannya, berdiri di depan para asisten rumah tangga dengan gaya serius. “Oke, semuanya. Aku punya misi penting untuk kalian.”
Bu Sumi, kepala asisten rumah tangga, tersenyum geli. “Misi apa, Non Tara?”
Tara menunjuk kertas di tangannya. “Kita harus membuat Ayah dan Kak Alya lebih sering bersama! Mereka perlu waktu untuk ngobrol, ketawa, dan... ya, jadi lebih dekat. Jadi, aku sudah punya rencana.”
Pak Herman, sopir keluarga, mengerutkan kening. “Tapi, Non Tara, kenapa harus kita yang mengurus itu?”
Tara mendekat, menatapnya dengan penuh keyakinan. “Karena mereka berdua terlalu keras kepala! Kalau kita tidak membantu, kapan mereka bisa saling mengenal lebih baik?”
Bu Sumi mencoba menahan tawa. “Baiklah, apa rencana Non Tara?”
Tara menunjukkan kertasnya. “Pertama, kita harus memastikan Ayah tidak punya alasan untuk bekerja sepanjang waktu. Aku butuh Bu Sumi buat sembunyikan dokumen penting Ayah. Lalu, Alya harus dipanggil ke ruang kerja Ayah dengan alasan mendesak.”
Pak Herman mengangkat tangan. “Kalau Ayah Non marah?”
Tara tersenyum lebar. “Tenang saja. Aku yang akan urus Ayah. Lagipula, kalau mereka berdua sibuk berdebat, itu kan berarti mereka bicara!”
Semua asisten rumah tangga tertawa mendengar jawaban Tara yang polos tapi penuh keyakinan. Mereka pun setuju untuk membantu Tara melaksanakan rencananya.
---
Keesokan harinya, rencana mulai berjalan. Bu Sumi menyimpan dokumen kerja Aditya di tempat yang tidak biasa, sementara Pak Herman memberi alasan pada Alya untuk segera ke ruang kerja Aditya karena ada "masalah penting." Alya yang bingung, akhirnya menurut.
Dan benar saja, saat ini Aditya sedang memeriksa mejanya, kebingungan mencari dokumen yang hilang. Ketika Alya mengetuk pintu, ia menoleh dengan ekspresi frustrasi.
“Ada apa, Alya?” tanya Aditya dengan nada datar.
Alya berdiri canggung di depan pintu. “Pak Herman bilang ada masalah di sini, jadi saya ke sini untuk membantu.”
Aditya mengerutkan kening. “Masalah apa? Saya hanya mencari dokumen yang—”
Ia berhenti, menyadari bahwa ini bisa jadi ulah Tara. “Tunggu... Tara, kan?” gumamnya pelan.
Alya menatapnya bingung. “Tara? Maksud Anda apa?”
Aditya menghela napas panjang, mengusap wajahnya. “Sepertinya anak itu punya rencana aneh lagi. Duduklah, mungkin kita harus membahas ini.”
Alya menurut, duduk di sofa ruang kerja Aditya. “Tara memang sedikit... kreatif. Tapi saya tidak menyangka dia akan melibatkan saya.”
Aditya menatap Alya, tersenyum tipis. “Dia sangat pintar, mungkin terlalu pintar untuk usianya. Saya harus mengakui, dia lebih bahagia sejak kamu ada di sini.”
Alya merasa pipinya memanas mendengar pujian itu. “Saya hanya mencoba yang terbaik untuk membuatnya merasa nyaman.”
Aditya mengangguk pelan, lalu menatap Alya dengan lebih serius. “Tara benar-benar menyukai mu. Kadang, saya bertanya-tanya... apakah saya terlalu bergantung pada mu untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya.”
Alya terkejut mendengar pengakuan itu. “Pak Aditya, Anda seorang ayah yang hebat. Tara tahu itu. Tapi mungkin, dia hanya ingin melihat Anda lebih bahagia juga.”
Percakapan itu berlangsung lebih lama dari yang mereka duga. Dari urusan Tara, mereka beralih membahas kehidupan masing-masing, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Tanpa mereka sadari, Tara mengintip dari balik pintu, tersenyum puas melihat rencananya mulai berhasil.
“Tunggu saja, Ayah. Ini baru permulaan,” gumam Tara pelan sebelum kembali ke kamarnya, menyusun strategi berikutnya.
******
Strategi ke 2
Tara duduk di meja makan pagi itu, mengaduk serealnya dengan sendok sambil melirik ayahnya yang sibuk menatap layar ponselnya. Di seberangnya, Alya sedang menyusun daftar tugas harian di buku catatannya. Sebuah ide brilian melintas di kepala Tara, membuat bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang penuh rencana.
"Ayah," panggil Tara tiba-tiba, membuat Aditya mendongak.
"Hmm? Ada apa?" balas Aditya tanpa mengalihkan pandangannya sepenuhnya dari ponsel.
Tara meletakkan sendoknya dengan dramatis. "Aku bosan makan makanan buatan chef. Aku ingin Ayah masak untukku."
Aditya akhirnya menatap penuh ke arah Tara, ekspresinya campuran antara bingung dan terkejut. "Masak? Ayah nggak bisa masak, Tara. Itu kan tugas chef di rumah ini."
Tara menatap ayahnya dengan tatapan polos yang nyaris mustahil ditolak. "Tapi aku mau makan masakan Ayah. Katanya ayah hebat dalam segala hal. Masa masak saja nggak bisa?"
Alya yang mendengar percakapan itu nyaris tersedak teh yang sedang diminumnya. Ia buru-buru menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan senyumnya.
Aditya menghela napas, menyesali keputusan untuk menyombongkan diri di depan putrinya. "Baiklah, apa maumu? Tapi jangan harap hasilnya sebagus masakan chef."
"Aku punya ide!" Tara berkata dengan semangat, menunjuk Alya. "Alya kan pintar masak. Dia bisa ajarin Ayah!"
---
Aditya berdiri di dapur dengan tampang skeptis, mengenakan apron yang jelas terlalu bersih untuk digunakan memasak. Di sebelahnya, Alya berusaha menahan tawa sambil menunjukkan bahan-bahan sederhana di meja.
"Jadi kita mulai dari yang mudah," kata Alya, menunjuk beberapa telur, bawang, dan roti tawar. "Kita bikin omelet dan roti panggang dulu. Tara pasti suka."
Aditya menatap bahan-bahan itu dengan bingung. "Semudah ini? Kenapa harus belajar kalau cuma masak telur?"
Alya menyipitkan mata, mengangkat satu alis. "Kalau semudah itu, kenapa Anda belum pernah bikin?"
Aditya membuka mulut untuk membalas, tetapi akhirnya hanya menghela napas. "Baiklah, tunjukkan caranya."
Alya mulai menjelaskan langkah demi langkah, dari cara memotong bawang hingga mengocok telur. Saat Aditya mencoba memotong bawang, ia mengerutkan dahi karena irisan bawangnya tidak rapi.
"Tunggu, ini kenapa nggak bisa halus seperti yang kamu lakukan?" tanya Aditya.
"Karena Anda memegang pisaunya salah," jawab Alya dengan sabar, mendekat untuk menunjukkan posisi yang benar. Namun, saat ia memegang tangan Aditya untuk membimbingnya, keduanya saling menyadari jarak yang sangat dekat, membuat mereka sama-sama canggung.
Aditya berdeham pelan. "Oke, saya mengerti. Saya coba sendiri."
Meski sudah mendapat instruksi dengan jelas, Aditya tetap membuat kekacauan. Telur pecah di meja, bawang gorengnya gosong, dan roti panggangnya terlalu matang hingga hampir terbakar.
Tara yang duduk di meja dapur sambil mengamati tak henti-hentinya tertawa. "Ayah, aku nggak tahu masak telur bisa jadi bencana seperti ini!"
Aditya memandang hasil masakannya dengan wajah pasrah. "Tara, kalau kamu tetap memaksa makan ini, kita harus siap panggil ambulans."
Alya tertawa kecil sambil mengambil alih. "Tenang, Pak Aditya. Ini butuh latihan. Semua orang pernah gagal di awal."
Aditya melipat tangannya, menatap Alya dengan nada bercanda. "Termasuk kamu?"
Alya tersenyum penuh percaya diri. "Tidak, saya langsung jago."
Tara tertawa terbahak-bahak, membuat Aditya menggelengkan kepala. "Baiklah, biar saya coba lagi."
Setelah beberapa percobaan, Aditya akhirnya berhasil membuat omelet yang layak dimakan. Tara mencicipi dengan penuh antusias, lalu mengangkat jempolnya.
"Enak, Ayah!" serunya.
Aditya tersenyum kecil, merasa lega. Ia menoleh ke Alya. "Terima kasih untuk bimbingannya. Kalau bukan karena kamu, saya mungkin sudah menyerah."
Alya membalas senyum itu. "Sama-sama. Tapi jangan terlalu cepat puas. Masak untuk anak itu tanggung jawab besar."
Aditya mengangguk pelan, lalu bergumam, "Tanggung jawab yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya."
Alya menangkap nada serius di balik kata-kata Aditya, tetapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Tara menyela.
"Ayah, besok kita masak lagi, ya! Tapi menunya lebih susah!"
Aditya tertawa kecil, sesuatu yang jarang dilakukan di hadapan orang lain. "Kita lihat nanti. Kalau Alya masih sabar jadi guru, mungkin Ayah bisa mencoba."
Alya hanya tersenyum, merasa ada sesuatu yang berubah di antara mereka bertiga. Keakraban kecil ini menjadi awal yang menjanjikan untuk hubungan yang lebih hangat di masa depan.
Bersambung
Happy reading