Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berharap Ini Mimpi
"Loe harus ikhlas, Zi biar Pak Bian tenang di sana." ucap Felicia yang turut bersedih.
Mereka berlarut dalam kesedihan. Zizi seperti mentari yang sinarnya redup tertutup mendung. Ia sangat amat terpukul mendengar berita siang ini.
"Aku berharap ini adalah mimpi, dimana aku bangun esok hari dan semuanya baik-baik saja."
Tatapannya kosong. Kedua matanya kemudian terpejam. Ia tak ingat apapun yang sedang terjadi.
"Badannya tiba-tiba demam tinggi. Sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit." ucap Felicia menghampiri Nathan dan Jordy di luar.
"Tunggu di sini, gue ambil mobil dulu." kata Jordy.
"Gue gak bisa bayangin kalo gue jadi Zizi, sedalam inikah dia mencintai Pak Bian?" tanya Rossa.
"Gue sakit, Zi ngeliat loe kaya gini. Andai saja gue bisa gantiin Pak Bian di hati loe.." monoloh Nathan melihat Zizi terbaring lemah.
Akhirnya mereka membawa Zizi ke rumah sakit. Rumah sakit terdekat, dimana dokter Jee praktik. Mengendarai mobil Jordy, akhirnya mereka sampai.
"Sus, tolong kondisinya demam tinggi." desak Nathan pada perawat.
"Sebentar, Zefanya?" tanya dokter Jee menghentikan bed yang tengah membawa Zizi. "Lakukan pertolongan segera! Siapa penanggung jawab di sini?"
"Saya dok, kami semua teman kampus Zizi." jawab Nathan.
"Ikut saya!"
Nathan mengikuti dokter Jee memasuki ruangannya. Nathan bertanya-tanya mengenai hubungan dokter Jee dengan Zizi. Pasalnya dokter Jee adalah seorang psikiater.
"Ceritakan apa yang terjadi?"
Nathan terdiam.
"Saya dokternya Zizi. Dia rutin bertemu saya setiap bulan. Mungkin Zizi tak pernah cerita ke siapapun. Apa ada hubungannya dengan Bian, dosen kalian?"
"Bagaimana dokter bisa tau?"
Sudah kuduga. Apa dia sudah berangkat hari ini?
"Coba ceritakan, dengan detail." pinta dokter Jee.
Nathan menceritakan semua kejadian yang terjadi di kampus tadi. Dokter Jee bahkan tak percaya tentang apa yang dikatakan Nathan. Dia hanya teringat pesan Bian pada dirinya.
Saya akan bertolak ke Berlin. Tolong, jaga Zizi selama saya gak di sini. Seluruh konsultasinya, saya yang tanggung. Bebankan semua biaya atas nama saya.
Tentu bukan ini, kan yang kamu maksud kan Bian? Dokter Jee bermonolog.
"Dia sangat terpukul mengenai kepergian Pak Bian."
"Saya tau hal itu memang tak mudah. Oke. Makasih Nathan sudah bersedia menceritakannya ke saya."
"Baik, Dok. Saya permisi."
"Dasar pria brengsek! Kamu hidup aja Zizi mengalami mimpi buruk setiap hari, apalagi kamu meninggalkannya. Kamu sungguh brengsek, Bian!" Monolog Dokter Jee di ruangannya.
Nathan menatap pilu Zizi yang masih tak sadarkan diri. Entah apa yang merasuki pikirannya hingga ia turut menyalahkan dirinya sendiri.
Andai saja, hati berpihak kepadaku. Pasti tak akan ada kejadian seperti ini? Aku tak akan melihatmu seperti ini kan, Zi? Sayangnya, orang itu bukan aku.
"Gue udah hubungin Ibunya Zizi, malam ini mereka berangkat dari Bandung." ucap Felicia.
"Gue yang akan nunggu Zizi malam ini, kalian pulanglah." ucap Nathan.
Teman-temannya pun akhirnya pulang meninggalkannya bersama Zizi. Tak lama setelahnya, ponsel Zizi berdering. Kak Jeff. Nathan memberanikan diri menerima telepon dari Kak Jeff.
--- Ya! Bocil kenapa loe gak hubungin gue sih? Kemana aja loe? ---
Betapa terkejut Jeff mendengar penuturan dari Nathan. Ia tak menyangka, patah hati membuat adiknya berakhir di rumah sakit. Hal ini tentu membuatnya geram. Namun, ia hanya mampu menahannya mengingat Zizi terbaring lemah di rumah sakit.
Tak lupa Jeff pun meminta foto Bian pada Nathan. Ia ingin mengetahui seperti apa sosok Bian yang mampu membuat adiknya rapuh seperti ini.
"Dia tampak keren. Tak heran Zizi sedalam itu mencintainya. Kenapa loe ninggalin Zizi secepat itu? Bahkan sebelum gue restui hubungan kalian?"
Kali ini Jeff tampak merasa bersalah pada Zizi. Ia tak percaya semua akan berakhir seperti ini.
***
"Ternyata loe dalang dibalik semua ini?" tanya Bian penuh amarah.
"Bian, gue gak tau kalau bakal berakhir seperti ini, gue juga gak niat celakain bokap loe." ucap Catherine penuh penyesalan.
"Loe nyesel, setelah semua kejadian ini? Beruntung bokap gue gak mati, kalau saja bokap gue mati loe adalah orang yang pertama gue cari!"
"Bian, tunggu gue bisa jel..."
"Dan satu lagi, kalo loe sampai berani nampar Zizi lagi, gue pastikan loe juga rasain yang lebih dari itu!"
Bian meninggalkan Catherine. Saat ia hendak menelpon Zizi, tiba-tiba Catherine memeluknya dari belakang. Sontak ponsel yang dipegangnya pun terjatuh. Bukan terjatuh ke jalan, melainkan terjatuh ke dasar sungai. Mereka memang tak sengaja bertemu di dekat jembatan kota.
"Yash! Apa yang loe lakuin? Itu ponsel gue satu-satunya Catherine! Loe emang..... aaargggh!!" Bian marah bukan kepalang.
"So-so-sorry, Bian. Gue gak bermak..."
"Stop ikutin gue! Jangan pernah muncul di hadapan gue lagi!"
"Bian, bian stop. Maafin gue, Bian!"
Catherine mencoba mengejar mobil Bian yang melaju. Bian benar-benar pergi meninggalkan Catherine yang tengah menangis.
"Aaaaaaaaa!!! Kenapa jadi seperti ini?!"
Catherine teriak dan menangis histeris di pinggir jalan. Tak peduli banyak pasang mata melihatnya. Hanya terpikir Bian di otaknya.
Sementara itu, Bian melaju dengan kencang menuju rumahnya. Ia tersadar jadwal penerbangannya sebentar lagi. Pikirannya kacau dan berantakan saat itu juga.
Bagaimana dengan Zizi? Pasti dia mikir sesuatu telah terjadi sama gue. Dia mengusap wajahnya gusar.
"Loe darimana aja sih? Penerbangan loe sebentar lagi!" ucap Dirga.
"Bian, apa sesuatu terjadi?" tanya papanya.
"Berikan ponsel barumu. Akan kuganti uangnya setelah ini. Segera antar aku setelah ini."
Bian berlari ke kamarnya di lantai dua. Dia telihat sangat terburu-buru dan penuh amarah. Menuruni tangga dengan setengah berlari dan menghampiri papa, mama dan kakak iparnya yang terlihat bingung dengan Bian.
"Apa yang sebenarnya terjadi Bian?"
"Papa, Bian gak punya banyak waktu, akan ku ceritakan nanti. Bian berangkat dulu."
Bian bergegas ke dalam mobil dan meminta kakaknya tancap gas. Di perjalanan Bian mencoba mengutak-atik ponsel baru milik Dirga. Dirga hanya menghela napas melihat tingkah adiknya.
"Shit! Memulihkan whatsapp di ponsel lain gak bisa ya kalau ponsel lama gak ada?"
"Gak bisa lah. Loe butuh kode yang dikirim ke ponsel lama. Lagian kenapa sih loe?!"
"Semua gara-gara Catherine. Ponsel gue jatuh ke sungai gara-gara dia." ucapnya penuh amarah.
"Catherine?"