Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Karina dipaksa menikah dengan pria bernama Victor Stuart. Anak dari sahabat kakeknya. Pria dingin yang selalu berusaha mengekangnya.
Selama pernikahan, Karina tidak pernah merasa jika Victor mencintainya. Pria itu seperti bersikap layaknya seseorang yang mendapat titipan agar selalu menjaganya, tanpa menyentuhnya. Karina merasa bosan, sehingga ia mengajukan perceraian secara berulang. Namun, Victor selalu menolak dengan tegas permintaannya.
"Sampai kapan pun, kita tidak akan bercerai, Karina. Hak untuk bercerai ada di tanganku, dan aku tidak akan pernah menjatuhkannya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lilylovesss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teka-Teki
****
Edward kembali mendatangi rumah Clara saat perempuan itu sedang berada di rumah bersama kekasihnya, Robbin. Saat Clara membuka pintu rumahnya dan menemukan Edward di hadapannya, perempuan itu sedikit terkejut.
Clara sudah tahu apa yang akan Edward tanyakan padanya hari ini.
"Edward?"
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan lagi padamu, Clara."
Clara belum sempat menganggukkan kepalanya, karena Robbin mendadak mendekat ke arah mereka. Raut wajah Robbin nampak terkejut saat melihat Edward sedang berdiri di hadapan Clara. Pasalnya, pria itu tahu jika Edward adalah pria hidung belang.
"Edward? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Robbin, mengingat pria itu memang memiliki ketegasan yang kuat pada siapa pun yang Clara temui.
"Ada hal yang ingin aku tanyakan pada Clara mengenai Karina. Boleh kah aku membicarakan ini dengan Clara saja? Aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi, selain Clara."
Clara menoleh ke arah Robbin, kemudian perempuan itu memberikan tatapan seolah Robbin harus mempercayai dirinya jika Edward memang memiliki urusan dengannya soal Karina, bukan karena hal lain.
Tanpa menunggu lama, Robbin mengizinkan. Clara dan Edward lantas berjalan ke arah halaman rumah. Di ambang pintu, Robbin memperhatikan kekasihnya dengan kedua tangan yang menyilang di atas dada. Sementara tubuhnya bersandar pada bingkai pintu.
"Kau tahu, bukan bagaimana posesifnya seorang Robbin? Aku mengatakan ini padamu, karena aku takut jika sewaktu-waktu dia akan menghabisimu, Edward," ujar Clara sembari menolehkan kepalanya sekilas pada Robbin yang masih setia mengawasinya.
"Apakah Karina memiliki pria lain? Aku penasaran dengan ini karena perasaanku berkata demikian."
Clara mulai memperlihatkan sikap tidak tenangnya. Padahal ia sudah berpesan pada Karina jika ia sama sekali tidak ingin terlibat dalam permasalahan antara Edward dan juga dirinya. Namun, semua seolah percuma karena lagi-lagi Edward memilih menghampiri dirinya di banding dengan Natty.
"Aku hanya berteman dengannya, Edward. Untuk urusan pribadi, aku sama sekali tidak tahu-menahu."
"Ternyata benar."
"Maksudmu?"
"Jawabanmu memperjelas apa yang sedang kau sembunyikan, Clara."
"Aku tidak mengatakan jika Karina memiliki pria lain, Edward."
"Tapi, jawabanmu seolah menyembunyikan faktanya."
Mulut Clara mendadak bungkam. Tertutup rapat, seolah kesulitan untuk membela dirinya sendiri. Kemudian, tanpa menanyakan apa pun lagi, Edward menarik diri dari hadapan Clara. Pria itu melambaikan tangannya pada Robbin sebagai tanda jika ia akan segera meninggalkan rumah kekasihnya.
"Kau sudah memberiku teka-teki secara tidak langsung, Clara. Jadi, akan aku pastikan kebenaran itu akan aku temukan. Sehingga kau tidak perlu kerepotan untuk menyembunyikannya."
Edward memutar balik tubuhnya, kemudian bergegas meninggalkan rumah Clara lagi. Perempuan itu mematung dalam posisinya, kemudian tak lama Robbin berjalan setengah berlari ke arahnya. Bertanya apa yang baru saja terjadi pada Clara sehingga membuat kekasihnya tersebut mendadak diam mematung.
****
Karina tengah duduk di paha Victor saat pria itu sibuk membaca dokumen di dalam komputernya. Cukup lama sehingga membuat Karina merasa tak tenang, karena ia sudah yakin jika Victor tidak akan melepaskan dirinya di sana.
Tadi, saat Karina sibuk menonton televisi, Victor mendadak meminta perempuan itu masuk ke dalam ruangan kerjanya membawakan buah sebagai cemilan. Karina lantas datang dan kemudian Victor meminta perempuan itu menemaninya hingga Victor menyelesaikan pekerjaannya. Padahal, Karina masih setia memakai piyama tidurnya. Sama sekali belum membersihkan diri.
"A-apakah belum selesai?" tanya Karina yang hanya dijawab dehaman kecil oleh Victor.
"A-aku belum mandi hari ini. Sebentar lagu kita makan siang. Aku tidak nyaman dengan tubuhku. Tubuhku juga pasti sangat bau."
"Tidak. Tubuhmu masih wangi. Aku masih bisa mencium wangi tubuhmu, meskipun kita tidak berpelukan."
"Tapi, aku ingin mandi."
"Tunggu aku. Sebentar lagi akan selesai."
"Kenapa aku harus menunggumu?"
"Untuk mandi bersamamu."
"A-apa?"
Karina melirik Victor dengan ujung matanya. Sial, pria itu bahkan masih bersikap tenang dengan kedua mata yang masih setia menatap layar komputer di hadapannya. Sedang Karina, wajahnya terasa panas dengan jantung yang mulai berpacu lebih cepat.
Karina ingin sekali menolak, tetapi mulutnya mendadak sulit untuk berbicara. Kepalanya sama sekali tidak mendapatkan ide untuk alasan yang bisa ia berikan pada Victor. Karina yakin, pria itu pasti mengira jika Karina sudah pasti menerima ajakannya.
"Kenapa kau harus segugup itu di samping suamimu? Bukankah tidak memakai pakaian secara bersama-sama adalah hal yang sudah wajar sekarang untuk kita?"
"Kenapa otakmu tidak berubah?"
"Justru ini adalah otakku yang asli."
"Kenapa semua fantasi pria sama saja?"
Pertanyaan tersebut berhasil membuat Victor mengalihkan tatapannya dari layar komputer. Wajahnya menoleh pada Karina dan dalam detik itu juga Karina menoleh ke arah wajah Victor sehingga wajah mereka hampir bertabrakan.
"A-apa? Apakah aku salah?"
"Apakah si brengsek itu pernah mengatakan hal yang sama denganku?"
"Edward? Tidak juga."
"Lalu, dari mana kau mendengar perkataan itu?"
"Darimu."
"Kau menyebut semua pria, dan di dunia ini ... pria sudah tentu bukan hanya aku saja."
Karina terdiam. Ia tidak menyangka jika perkataannya justru memancing pertanyaan Victor yang lainnya. Di mana hal tersebut membuat perempuan itu sedikit terancam.
"Aku yakin dia pernah mengatakannya. Benar?"
"Y-ya."
"Kau meresponnya? Dengan mengatakan iya?"
Kedua alis Karina mengernyit. "Tidak juga. Memangnya aku perempuan murahan?"
"Kalau begitu, jadikan aku pria pertamamu."
****
tapi Karina bukan sbg wanita pertama baginya 😌😌😌
Oh iya mampir yuk dikarya baruku judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏.
💗